Not that reliable
Pertama-tama, mari kembali ke masa ketika dunia yang tak bisa kau genggam itu alam metafisik, bukan internet. Kita punya sekotak barang berharga. Bukan perhiasan, tapi lebih ke setiap cuilan dari memori-memori yang ingin kita kenang. Atau boleh juga sebenarnya perhiasan karena deifinisi tiap orang atas keberhargaan kan beda-beda. Pokoknya benda berharga itu kita letakkan di dalam kotak. Kotak itu selalu berada di dekat kita dan kita buka setiap hari. Berapa besar kemungkinannya untuk hilang?
Pada era berikutnya, ketika kita mulai berpijak pada dunia fisik dan digital, kita mengenal digitalisasi. Menjaga agar sesuatu tidak hilang bukan berarti hanya merawat fisiknya, tetapi membuat salinannya dan menyimpannya dalam relung-relung maya yang ukurannya belum seberapa. Perasaan kita jadi agak lega. Akhirnya lebih mudah untuk menjaga sesuatu agar tidak hilang.
Pada era berikutnya, sekarang ini, ketika mungkin 70% hidup kita berlangsung di internet, terjadi semacam keserakahan memori. Aku pernah merenungkannya di sebuah tulisan yang judulnya Random Access Memory. Dulu, sebelum ada seincipun kita bersentuhan dengan dunia digital, mempreservasi memori adalah pekerjaan melelahkan. Pada masa ketika mempertahankan hal-hal berbentuk fisik sulit itu, kita bersandar banyak pada alam pikir kita. Tidak ada kepastian apakah suatu ingatan terdistorsi atau berasal dari tanggal berapa di tahun berapa, tetapi ia tersimpan dengan begitu kaya. Kepala kita ternyata menyimpan bukan hanya gambar atau suara, tetapi juga aroma, tekstur, dan kesan yang masih belum bisa diabadikan oleh perangkat kita hingga hari ini. Ketika kita mulai mengenal digitalisasi dan pekerjaan simpan-menyimpan memori menjadi begitu mudah, kita menjadi serakah. Kita tidak terlalu berpikir tentang kualitas jejak yang kita abadikan. Kita ditunggangi oleh modal yang menggiring definisi kita atas memori yang berharga, seperti ketika kita percaya kalau kualitas memori itu ditentukan oleh seberapa cemerlang gambar dan suara yang diambil, seberapa stabil videonya, atau seberapa banyak kita bisa mengambil gambar. Kita membackupnya di mana-mana, tapi saking banyaknya kita tak ingat semua yang kita back up. Ingatan yang betul-betul terjaga masihlah yang ada di kepala kita, yang terdistorsi, yang tidak jelas gambarnya, yang warna-warnanya ditentukan oleh suasana hati, tapi begitu kaya.
Diantara semua folder backup yang kupunya sejak bertahun-tahun lalu, yang pada akhirnya hilang satu dua ketika aku berganti perangkat tanpa disadari, aku punya satu kotak memori berharga yang begitu kujaga. Ia kuperlakukan seperti kotak mustika pada dua abad lalu, setiap hari kubuka dan kulihat-lihat. Apa yang ada di dalamnya memberi begitu banyak manfaat. Kadang mereka begitu menghibur hingga menumpulkan syaraf-syaraf yang bertugas merasakan pedih perih kehidupan yang sedang mampir. Kadang mereka juga menghibur secara genuine misalnya dengan mempertemukanku dengan orang-orang yang membuatku bahagia. Ia melahirkan begitu banyak persahabatan dan persaudaraan. Tapi begitupun aku menyayanginya, aku melupakan sesuatu, kalau meski kuperlakukan ia sebagai sesuatu yang berharga, sebagai temanku sendiri yang kupercaya, ia hanya seperangkat kode di dunia maya. Suatu saat, seperti yang bisa terjadi pada semua hal di dunia ini, dalam sekedipan mata ia menghilang.
Apa yang membuat kita begitu bersemangat menjaga memori? Mungkinkah kita sedang melawan salah satu takdir yang paling kuat, bahwa keberlangsungan yang abadi adalah kemustahilan? Atau takdir terkuat kedua, bahwa kita harus selalu bergerak maju dan tidak bisa berhenti di suatu masa, betapapun kita menikmati dan mencintainya dengan sepenuh-penuhnya jiwa?
Apakah ini yang dimaksud "melawan arus" dalam kalimat "hidup harus melawan arus"? Apakah aku akan kalah kalau aku hanya mengalir dan melupakan semuanya, terlebih sekarang, ketika aku sudah kehilangan apa yang selama ini kujaga?
Perasaanku masih perlu ditata. Ini bukan kehilangan yang mudah. Aku merasa dikecewakan, meski mungkin sebenarnya itu salahku sendiri. Seperti kesalahan yang sering kulakukan, aku terlalu serius menganggap hal-hal sepele.
Ketika sudah lebih tertata, aku akan meninjaunya kembali. Sekarang kadang aku ingin melakukan hal-hal di luar nalar untuk membuatnya kembali. Tapi kalau dipikir ulang, aku tidak kehilangan begitu banyak hal. Hal terpenting dari kotak memori itu adalah pertemanan yang kubangun dengan orang-orang yang kutemui disana. Karena aku begitu menikmati relasi itu, mungkin mereka juga menikmatinya sebagaimana aku, sehingga jika suatu saat aku kembali, atau bertemu dengan mereka pada tempat dan kesempatan lain, mereka akan tetap mengingatku. Aku masih punya backup foto-foto yang kuletakkan di sana dan sebetulnya hanya satu atau dua saja dari semua foto itu sudah bisa menghidupkan film yang lebih kaya di kepalaku soal apa yang aku ingat tentang hari itu. Caption-captionnya mungkin hilang, tapi banyak diantaranya telah jadi buah-buah pikiran yang lebih matang di tempat lain. Aku ternyata masih memiliki banyak hal.
Hal-hal yang sudah hilang, mungkin memang saatnya diikhlaskan. Ini agak sulit karena diantaranya adalah nasihat sahabat yang sangat kusayangi dan tidak bisa kutemui lagi. Tapi kesan yang ia tinggalkan begitu mendalam. Aku masih punya keluarganya dan teman-teman kami yang lain untuk diajak sesaat duduk dan mengenang dirinya. Suatu saat, kalau aku sudah sangat pikun, tua, dan lupa hampir semua hal tentangmu yang harus kulepas ketika begitu muda, aku tidak keberatan mengunjungi pusaramu sebagai tugas rutin tanpa imbalan kenangan apa-apa, karena itu bahkan belum menghabiskan token kebaikan yang kau tabung di masa-masa yang kita habiskan bersama.
Komentar
Posting Komentar