Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya
Semua orang sedang senang. Besok baru genap seminggu KRL tersambung ke kota kami. Stasiun yang dulu cuma dijadikan patokan untuk menunjuk wilayah di antara Polsek, Pasar Lama, dan Tepekong ini, kini betul-betul berfungsi. Dulu bisa dihitung berapa orang yang betul-betul menggantungkan mobilitasnya pada kereta-kereta yang berhenti di stasiun ini. Selama ini saya cuma kenal satu orang komuter Jakarta-Cikarang yang melakukan itu. Tapi lihat sekarang: stasiun megah, kereta listrik cepat yang akan semakin diperbanyak jadwal operasinya, dan banyak stasiun-stasiun baru di sepanjang jalur Cikarang-Bekasi. Sungguh nggak ada alasan buat nggak senang.
Saya pribadi sebetulnya menyayangkan. Kalau saja stasiun ini selesai setahun lebih cepat, saya nggak perlu menempuh perjalanan 5 jam dengan bis ke Arsip Nasional di Pasar Minggu yang capeknya luar biasa. Terlebih lagi, sejak proyek dimulai 2014 lalu, banyak desas-desus harapan palsu yang bilang kalau ia akan berfungsi awal tahun 2017. Tapi ya sudahlah. Setidaknya, kendatipun terlambat, ia akhirnya difungsikan juga. Sekarang saya 300-an kilometer jauhnya dari rumah dan merasa sayang betul tak bisa jadi saksi-saksi pertama berfungsinya stasiun ini.
Pembaharuan by detik.com |
Berkat tampilan dan performa barunya yang aduhai, stasiun ini sepertinya jadi cukup populer. Baru ketik ‘Stasiun C-‘ di Google, Stasiun Cikarang langsung muncul. Banyak sekali berita, baik tentang difungsikannya jalur KRL di sini maupun update perkembangan pembangunannya sejak bertahun-tahun lalu. Kendatipun banyak informasi kekinian tentang tempat ini, sayang, tidak ada yang tahu sepertinya, sejauh pencarian maya saya, soal cerita tentangnya yang lebih jauh ke belakang. Buat seorang yang hobi melihat ke belakang seperti saya, ini agak disayangkan. Tempat ini stasiun lho, salah satu titik penting dari sebuah kota. Khawatir saja kalau ‘replacement’ ini cuma akan terjadi sebagaimana renovasi rumah tetangga, satu dua tahun atau bahkan bulan setelahnya, nggak akan ada lagi yang mengingat bagaimana bentuknya yang dulu. Kita pernah kehilangan terminal teman-teman. Waktu entah bagaimana caranya ia ratakan dengan tanah lalu diganti dengan SGC sekitar tahun 2006 lalu. Tahun 2013, ketika saya buat makalah kecil soal Cikarang, setnegah mati saya cari foto terminal itu yang ketemu cuma satu, dan resolusinya amat sangat kecil, mungkin 120x200 piksel.
The Brand New Modernity by news.detik.com |
Berdasarkan perasaan takut kehilangan tersebut, kalau-kalau ketika nanti sudah mengecap rasanya turun di stasiun ini saya terpana lalu lupa semua yang pernah saya lalui dengan bentuknya yang lama, saya memutuskan untuk mengisi waktu libur dengan menulis ini.
Sejarah perjalanan kereta api dalam hidup saya berawal di stasiun ini. Kali pertama saya menginjakan kaki di stasiun ini adalah kali pertama juga saya naik kereta. Tapi ini bukan stasiun pertama yang saya sambangi, karena waktu itu, saya naik kereta malam dari stasiun Tugu. Kemungkinan besar, momennya waktu itu lebaran. Saya naik kereta dalam rangka bertolak dari rumah Mbah di Jogja. Lupa saya persisnya kapan, tapi sepertinya waktu itu saya berusia sekitar 6 atau 7 tahun. Niatnya, dari Jogja kami akan turun di Subang. Mampir ke tempat bulek saya yang waktu itu berbagi perjalanan dengan kami. Di perjalanan waktu itu ada bulek saya, pakde saya, anak mereka, ibu saya, dan saya.
Dalam sejarah perkereta apian kita, terutama sejarahnya ketika sudah menjadi KAI, kita mengenal seorang revolusioner bernama Ignasius Jonan. Selama menjabat sebagai dirut PT. KAI tahun 2009-2014, ia berhasil mengubah wajah transportasi ini. Sekarang kita kenal kereta api sebagai transportasi jarak jauh yang bukan hanya nyaman, tapi juga berkelas. Di kelas bisnis-eksekutif yang pelayanannya lumayan, harga tiketnya bisa menyamai harga pesawat. Untungnya, revolusi Jonan yang lebih berat di sistem dan bukan sekedar tampilan ini merata. Jadi meskipun kelas ekonomi harga tiketnya murah, kita tetap bisa menikmati kereta yang tepat waktu dan cukup nyaman.
Lain sekarang lain dulu bos. Pengalaman pertama saya naik kereta api yang berakhir di stasiun Cikarang adalah pengalaman buruk luar biasa. Pertama, kereta api waktu itu sangat tidak nyaman. Ingatan saya tentang peristiwa itu tinggal samar, tapi nuansanya stasiun Tugu waktu kami naik mirip nuansa stasiun itu pas adegan evakuasi di film Soegija. Di dalam nggak ada lampu. Pemberhentian nggak menentu. Ingat sekali waktu itu Pakde saya bilang dia sudah menyogok masinis dengan uang sepuluh ribu supaya mau berhenti di stasiun Sadang. Tapi lain berhenti, kereta cuma melambat ketika mendekati stasiun. Penumpang yang ‘pro’ nggak punya masalah dengan itu dan dengan mudahnya melompat turun, tapi ketika kami hampir siap untuk lompat, pinggiran rel tiba-tiba bermuka-muka dengan parit yang cukup besar. Urung lah niat kami dan hanguslah sogokan sepuluh ribu itu.
Kami menghabiskan sepanjang dini hari hingga pagi di dekat pintu karena dua alasan. Pertama, tempat kami jelas sudah diambil orang dan kedua kami sudah susah payah buat mencapai pintu dengan melangkahi (bahkan menginjak) banyak orang yang enak-enakan tidur bertikar-tikar di gang gerbong. Kesempatan terakhir kami buat turun tanpa harus berlelah-lelah menempuh perjalanan tahap dua dengan bis yang jaraknya cukup jauh adalah Stasiun Cikarang. Rencana liburan ekstensi di Subang terpaksa harus ditanggalkan. Namun sedihnya, kereta juga nggak berhenti di Cikarang. Mereka bilang sampai di stasiun Cikarang lewat pengeras suara, tapi lain ngerem maksimal sampai tidak ada satu roda pun yang masih nggelinding, kereta ini cuma memperlambat lajunya. Karena kesempatan terakhir, hari sudah cukup terang, dan tidak dihadapkan dengan parit lagi, kami akhirnya memberanikan diri buat turun. Kami lompat.
Waktu itu, saya kecewa bukan cuma sama kereta, tapi juga sama orang-orang dewasa yang seperjalanan dengan saya. Sepupu saya, cowok, satu tahun lebih muda dari saya, digendong bapaknya jadi selamat jiwa raga. Memang sih, pertama badannya kecil susah makan dan kedua di situ ada bapaknya. Sementara itu, saya yang badannya lebih besar dan bapaknya lagi kerja nggak ikut pulang kampung karena nggak dapet cuti, juga nggak bisa maksa buat minta gendong ibu saya yang lagi bawa tas, harus lompat sendiri. Kereta itu pelan teman-teman, tapi yang namanya pelan dari dalam kereta sama pelan ketika kita diam di peron itu beda skalanya. Sama seperti kencangnya naik sepeda dan kencangnya naik motor yang beda angka. Setelah dengkul menyentuh tanah, saya terguling di kerikil. Alhasil beberapa bagian tubuh besut dan yang paling mengenaskan, kulit sebundaran permukaan lutut kanan saya habis dilibas kerikil. Nangis lah!
Itu pertama kalinya saya pakai obat merah. Kami biasanya lebih loyal sama betadine yang brandingnya terlihat lebih ‘medis’ dibanding obat merah andalan seluruh umat. Waktu itu, karena di warung stasiun adanya cuma obat merah, saya akhirnya menyerahkan diri kepadanya. Saya masih ingat bentuk botolnya mirip tip-ex dengan perut gendut pipih dan kepala kecil tinggi. Sesuai namanya, warnanya merah dari ujung sampai ujung. Si lutut yang bonyok itu, setelah disiram sebotol obat merah bukan main, bukan main perihnya dan bukan main makin seram bentuknya. Sejak kejadian itu saya bersumpah nggak mau naik kereta lagi.
Beberapa tahun berselang, saya sudah berdamai dengan masa lalu saya. Awalnya masih parno sama kereta. Apalagi ibu saya adalah orang paling jago sedunia dalam hal menakut-nakuti. Saya sering sekali diwanti-wanti buat nggak dekat-dekat dengan rel kereta. Waktu SD, untungnya saya cukup bandel. Mulai kelas 3-4, jam sekolah mulai lama dan saya mulai nggak diantar-jemput lagi. Kehidupan sekolah dan teman-teman pun mulai memainkan peran lebih penting di kehidupan saya daripada sebelumnya. Puncak kenakalan saya terjadi di kelas lima. Waktu itu saya sering menghabiskan waktu pulang sekolah atau akhir pekan di daerah stasiun karena teman saya banyak yang rumahnya di sekitar situ. Persebaran rumah teman-teman saya dimulai di jalan Gatot Subroto seberang BCA, Asrama Polisi, Kampung Baru, sampai Kampung Bulak dan pelosok Gang Hj. Sarbat. Terlebih lagi, waktu itu ada sebuah tempat bermain baru yang super ‘in’: Sentra Grosir Cikarang dengan KFC dan paket Attack 6500-nya. Untuk mencapai SGC dari Kampung Baru atau dari sekolah kami, rel kereta harus dilalui, begitupun untuk pulang dari SGC. Di masa-masa itu lah perdamaian dengan masa lalu itu terjadi.
Namun teman-teman, benar adanya jika kata-kata ibu itu bertuah nan ajaib. Kalau dibilang jangan suka main dekat-dekat rel kereta, maka jangan lah. Kejadian berikutnya yang berhubungan dengan kereta dan ingin saya ceritakan adalah kejadian di mana saya kena tuah tersebut. Waktu itu, lain misi-misi konyol buat naik bebek-bebekan koin di Time Zone atau ngejar paket Attack KFC jam 3 sore, kami berangkat menunaikan misi suci: beli bahan-bahan buat tugas bikin taplak meja di pasar. Dari SGC kami bergerak ke barat, ke pasar bawah Ramayana, tetap dengan harus menyeberangi rel kereta untuk bertolak dari basecamp di rumah Nopi. Sepertinya itu kali pertama saya pergi ke pasar tanpa orang dewasa. Waktu itu kalau nggak salah kami berempat atau berlima. Saya, Nopi, Hafsah, Siti, sama Ayu.
Saya lupa waktu itu izin orang tua atau nggak, yang jelas kami izin mamanya Nopi. Iyalah orang saya inget saya juga pinjem baju dia. Perjalanan berangkat mulus seperti biasanya. Toh ingat, kami sudah jago soal seberang-menyeberang rel kereta. Tinggal tengok kanan kiri, pasang mata telinga betul untuk mendengar kalau ada bunyi “tilulilu” di kejauhan. Belanja di pasar pun berlangsung dengan lancer. Semua bahan dari mulai kain, renda, sampai emblem gambar bunga untuk disematkan di tiap dekat sudut taplak berhasil dibeli. Pulang lah kami dengan bahagia, sampai sesuatu yang mengubah hidup kami terjadi di perjalanan pulang.
Buat saya yang sekarang sudah 21 tahun, keadaan waktu itu masih terasa buruk. Kami hampir terlibas kereta. Waktu itu kereta lewat di jalur tiga. Sebelum menyeberang kami sudah diperingatkan petugas peron untuk hati-hati. Proses penyeberangan dimulai oleh Hafsah yang pemberani. Dia waktu itu jalan sama Ayu. Majulah mereka dengan yakin, menyeberangi rel demi rel hingga hampir selesai menyeberangi 4 rel. Setelah itu disusul sama Nopi. Saya sama Siti belakangan. Saya agak lupa, tapi sepertinya waktu itu saya cemen seperti biasa, dan Siti maksa saya buat segera nyeberang. Akhirnya terprovokasi saya ngikut nyeberang. Baru lewat jalur satu, tiba-tiba ada orang teriak kalau ada kereta. Kami semua panik dan berusaha kembali ke titik aman di stasiun. Konyolnya, waktu itu Hafsah sama Ayu yang sudah hampir sampai di seberang malah ikut balik ke stasiun. Dan lebih paranhnya, kayaknya rok salah satu dari kami ada yang nyangkut di jalur 1. Untung waktu itu kereta lewat di jalur tiga. Setelah berhasil selamat semua, kami dimarahi sama petugas peron. Kejam sekali, padahal tanpa diomeli pun waktu itu jiwa kami sudah terguncang. Sesampainya di rumah Nopi kami semua duduk melingkar dan saling terdiam. Kami saling bersumpah untuk nggak menceritakan ini pada siapapun. Bisa kena marah habis-habisan dan kena kurung sampai nikah kalau kejadian ini sampai ketahuan orang tua. Selepas itu, saya trauma lagi sama kereta.
Saya memang penakut dan hobi sekali trauma. Setelah sempat keserempet ninja pas kelas lima, saya trauma nyeberang jalan sampai kelas dua SMP. Sejak nonton berita kecelakaan Taufik Safalas, setiap mau naik mobil jarak jauh perasaan saya selalu seperti jadi tentara yang mau berangkat perang. Dengan nelangsa saya kemudian melihat satu-satu wajah orang-orang yang saya sayangi, lekat-lekat, seolah akan sulit untuk melihat mereka lagi. Sementara itu, orang-orang yang saya lihat membalas pandangan itu dengan muka heran. Astaga, Ibu Bapak saya pasti orang-orang hebat. Mereka sanggup membesarkan makhluk macam ini.
Mereka juga mengajari saya bahwa tumbuh juga berarti lebih bisa mengendalikan ketakutan-ketakutan. Cara mengajarinya dengan memaksa saya berangkat sekolah sendiri supaya bisa nyeberang, dan lain sebagainya. Saya ingat pertama-tama saya berangkat sekolah sendiri, ibu saya mengantar saya sampai depan gang lalu menyeberangkan saya. Lama-lama, berkat menonton demonstrasi itu setiap pagi, pengertian antara saya dan jalan raya mulai terbentuk. Saya mulai bisa nyeberang sendiri.
Ketakutan dengan kereta pun sama halnya. Waktu SMP, bude saya yang tadinya tinggal di Cibitung, pindah ke Jatinegara. Oleh karena Jakarta seolah adalah tempat lain Planet kalau perjalanan menuju dirinya ditempuh dengan bis, kami mulai mencoba naik kereta kalau berkunjung ke sana. Kami biasa naik kereta Purwakartaan, sore atau pagi hari. Awalnya saya gugup luar biasa. Kereta itu padat. Ibu saya sering wanti-wanti soal copet ganas di kereta. Karena wanti-wanti itu, pandangan saya terus berpatroli selama kereta berjalan. Menuduh orang demi orang yang keliatan sangar sebagai penjahat yang patut diwaspadai. Alhamdulillah, kekhawatiran saya memang selalu bukan main overdosisnya, kami selamat dari copet-copet ganas itu sampai hari ini.
Waktu itu, Ignasius Jonan belum jadi Dirut Kereta Api. Kereta Api masih padat, acak-acakan, penuh sesak, dan banjir asap rokok. Namun semakin sering kami menggunakan kereta, mulai lah kami temukan sisi-sisi menyenangkan dari perjalanan dengan moda transportasi ini. Pertama, tukang dagang yang ada di kereta ini keragaman komoditinya luar biasa. Kadang kita bisa lupa sedang ada di kereta atau di pasar. Seorang stand-up comedian yang maaf sekali saya lupa siapa, pernah mengeluarkan joke yang sangat saya ingat. “Kalo di kereta itu ye, ada yang teriak ‘sayang anak-sayang anak’, pas kita nengok eh, racun tikus!” Berkat komoditas dagang yang beragam ini sering kali kita menemukan barang-barang aneh khas tukang jualan di atas kendaraan dan jarang ditemukan di luaran seperti senter korek, garukan punggung, permen jahe dan sebagainya.
Pedagang di Kereta by cahaya.co |
Tukang dagang yang saya tunggu-tunggu ketika di kereta, tak lain dan tak bukan adalah kerupuk kulit! Kalau kita naik kereta pagi dari Stasiun Cikarang, biasanya kita bisa berangkat bareng si tukang kerupuk ini. Kerupuknya maaf kata, buluk, nggak putih mulus imut-imut kaya kerupuk kulit di warung yang seribu cuma isi lima butir itu. Kerupuk kulit kereta ini kalau nggak salah harganya 2500 tapi isinya lumayan banyak. Dan meskipun buluk, saya cinta kerupuk kulit ini 7 kali lipat dibanding kerupuk kulit putih mulus imut-imut. Kerupuk kulit ini nggak alot, renyah banget. Udah gitu, ketebalannya dan teksturnya bervariasi. Bentuknya bervariasi juga sih, sampai nggak estetis kelihatannya. Tapi berkat bentuk, ketebalan, dan tekstur yang bervariasi itu kita bisa menemukan kerupuk yang keras dan padat, renyah dan berongga, tanpa kita tahu sebelum kita gigit. Ibarat kehidupan yang penuh kejutan *halah*. Yang jelas kerupuk itu surga!
Ngomong-ngomong soal surga. Di saat-saat yang berdekatan dengan kegandrungan saya terhadap kerupuk kereta tersebut, saya malah menemukan praduga kalau kerupuk itu bisa menjauhkan saya dari surga. Berdasarkan liputan Reportase Investigasi, banyak kerupuk kulit yang beredar bebas di pasaran bahan bakunya berasal dari kulit celeng. Ciri-cirinya warnanya kusam, tidak terang, dan sering kali lebih padat kalau digoreng jika dibandingkan dengan kerupuk kulit sapi. Semenjak itu, tukang kerupuk kulit kereta idola jarang terlihat lagi. Kami juga jarang naik kereta lagi semenjak pakde saya pension, lalu mereka sekeluarga pindah dari Jatinegara ke Jogja. Kerupuk kulit itu dari kulit apa? Masih misteri.
Yang juga nggak bisa saya lupa soal kereta dan Stasiun Cikarang adalah, kendaraan ini mengantar saya kembali ke Cikarang dari petualangan ‘ngebolang’ di Jakarta pertama kali waktu SMA. Suatu ketika saya dengar cerita dari teman saya, kalau bapaknya, tempo hari ketika SMA, ngebolang sama teman-temannya, tanpa bawa uang, cukup hanya numpang-numpang, tapi sampai di Bali. Saya, SMA juga, 30 tahunan sejak masa pembolangan bapaknya teman saya itu, bayar penuh dan taat aturan, ngebolang juga, tapi Cuma sampai Jakarta. Bagaimanapun payah dan cupunya, waktu itu ia betul-betul pengalaman yang luar biasa.
Kami datang ke AFA pertama di Indonesia. Berangkat sekitar jam 8 pagi pakai bis. Kami naik Mayasari jurusan Senen, naik Kopaja entah nomer berapa dari Senen, lalu turun di sebuah persimpangan yang sepertinya jalur cepat karena nggak ada pejalan kaki lain, tukang dagang pinggir jalan, atau kendaraan yang berhenti di sepanjang jalan, jalan sekitar setengah jam, lalu sampai di PRJ. Di dalam saya bosan. Tapi beruntung setelah kami meninggalkan lokasi yang semakin menggila, kami berkeliling Jakarta buat cari jalan pulang. Dari sana kami naik angkot entah nomer berapa untuk entah menuju ke mana. Yang jelas kami berhenti di dekat sebuah halte busway. Di sana, karena waktu itu sudah Ashar dan dibelakang halte ada masjid, kami numpang solat dulu. Selesai solat, kami naik busway, entah berapa kali turun naik, nomer berapa, dan ke arah mana juga bodo amat, pokoknya saya lihat Monas, lihat Jalan Gajah Mada, dan akhirnya berhenti di halte depan Stasiun Besar Kota Tua. Dari sana kami naik kereta purwakartaan untuk sampai ke Cikarang. Berhubung naik dari stasiun pertama, di kereta setan super padat itu kami bisa dapat tempat duduk! Yay!
Sampai di stasiun Cikarang, karena tak kuasa menahan lapar, bukannya langsung pulang kami malah mampir KFC sayang dulu. Sayangnya, KFC sayang sudah tidak punya paket Attack. Remah-remah uang kami yang tersisa dari petualangan hari itu pun akhirnya berlabuh di KFC. Muka linglung dan otak yang menciut terpapar panasnya matahari Jakarta seharian membuat kami berhasil dibodohi mbak KFC untuk beli paket dengan hadiah CD Armada dan Slank yang nggak pernah kami inginkan. Sampai saya lulus SMA, CD yang entah kenapa ada di saya itu masih perawan. Masih plastikan rapi.
Disamping momen-momen besar tadi, masih banyak momen kecil lainnya yang terjadi di kawasan ini. Waktu saya kelas lima, saya dapat gitar sebagai hadiah ulang tahun dari Bapak saya. Bapak saya adalah orang kecil dengan banyak impian besar. Kalau menyesal karena satu dan lainnya dalam hidupnya menghambatnya untuk meraih impiannya sehingga akhirnya gagal, beliau tipe orang yang akan berjuang buat menyediakan akses-akses itu dan meminimalisir hambatan bagi orang yang dia sayangi. Karena dari dulu pengen banget bisa main gitar, bapak saya belikan saya gitar yang nggak pernah dia miliki. Waktu itu saya cukup senang karena memang suka musik, tapi tidak cukup senang karena saya sebetulnya lebih menginginkan biola. Biola harganya 600 ribu, dan gitar itu kalau tidak salah 250 ribu. Dengan keadaan keluarga kami saat itu, sebetulnya dua hal ini sama-sama tidak masuk akal, tapi tentu biola jauh lebih tidak masuk akal. Ternyata selain penakut, saya ini egois pula. Dengan alasan nggak ada yang ngajari, padahal dendam pengen biola, gitar itu saya angguri sampai tahun lalu. Padahal waktu itu bapak saya sudah membelikan lengkap dengan case dan buku ‘Pandai Bermain Gitar’.
Sepulang dari toko musik yang terletak di pasar lama itu, ban motor kami bocor. Kami menambal ban di belakang stasiun, di bawah pohon besar yang disebelahnya ada bangunan tua. Di bangunan tua itu ada jendela, dan sambil melihat ke jendela itu, saya membayangkan cerita soal anak perempuan pandai main biola yang suka main biola di mulut jendela kamarnya.
Sekarang stasiun latar dari peristiwa-peristiwa ini sudah hilang. Demikianpun rasanya dengan tambal ban, pohon, dan jendela bangunan tua di belakang stasiun. Berikutnya, stasiun akan jadi economic attraction yang besar. Pasar Lama belakang stasiun yang lusuh dan terabaikan bukan tidak mungkin akan berevolusi jadi sesuatu yang lebih ekonomis, sebagai respon atas stasiun ini. Tunggu juga sampai rumah-rumah di sekitar Asrama Polisi dan Kampung Baru berubah jadi penitipan motor. Perubahan lain? Ah, sepanjang perjalanan pulang kampung lewat Pantura kemarin, saya sadar, ruas pantura di Cikarang ini terlampau sempit dibanding di daerah lain. Ada yang sadar kenapa Lotte Mart dan gedung kecamatan baru dibangun agak menjorok ke belakang? Tentu saja antisipasi pelebaran jalan. Belum lagi, kunjungan Jokowi yang dipergoki adek saya beberapa bulan lalu yang katanya beragendakan melihat lokasi perumahan ekonomis baru untuk berapa juta orang gitu di daerah Sukatani. Hm, sepertinya, jalan Ki Hajar Dewantara kayaknya juga bakal dilebarkan ya, Pak Presiden?
Sudah cukup melihat kota ini ahistoris selama ini. Sudah cukup mendengar pengumuman orang-orang sepuh meninggal dari pengeras suara masjid tanpa sempat kita tanyai soal bagaimana tempat ini di masa mereka muda. Sudah cukup hidup dalam abai karena sekarang Cikarang punya generasi yang menjanjikan. 30-40 tahun lalu, kota ini dibanjiri oleh investasi asing sekaligus angkatan kerja pendatang dari seantero Indonesia. Generasi itu berakhir jadi motor penggerak yang membuat kota ini berevolusi jadi bentuknya yang sekarang, karyawan untuk pabrik-pabrik yang menebar polusi, penghuni untuk perumahan-perumahan yang menggilas habis sawah, serta para pengisi sektor informal yang membantu hidup orang-orang ini dengan menyediakan mereka makan, minum, dan barang-barang kebutuhan sehari-hari. Bukan salah mereka kalau mereka merespon kesempatan ekonomi. Arah gerak kota ini tidak terkontrol karena mungkin pemimpin kita terlampau ambisius untuk menghasilkan gol-gol besar yang kadang kita masyarakat kebanyakan tak paham betul. Mereka luput untuk menjadi lebih manusiawi. Mereka luput untuk memikirkan kemana perginya polusi dan limbah yang demikian banyaknya, atau darimana kita makan kalau sawah habis.
Saat ini, 30 tahun setelah itu, generasi baru kota ini harusnya nggak lupa kalau kita punya hutang soal bentuk nggak karuan kota ini hari ini. Polusi-polusi itu mungkin dari asap pabrik yang menggaji bapak-bapak kita, yang duitnya kita pakai buat makan sampai sebesar ini, dan katanya untuk sekolah supaya pintar. Sekarang, apa kita sudah cukup pintar untuk menyelesaikan masalah yang sudah membesarkan kita ini? Kalu sudah, pertanyaannya adalah mau kembali atau tidak. Atau cuma mau merantau ke luar kota, kalau bisa ke luar negeri. Buka kedai kopi tongkrongan seniman budayawan, untuk bertukar ide soal kekacauan dunia, sembari menulis lepas buat media seperti Rangga sambil bermimpi dapat Dian Sastro. Padahal udara di sini semakin menyesakkan lho.
Dulu saya cinta sekali musim kemarau di Cikarang. Saya masih ingat latar main ketika saya kecil: pohon asam dan pohon bambu yang berjoget ria diterpa angin khas dataran rendah yang luar biasa kuat dan sejuknya. Itu pemandangan dan penurunan suhu yang sangat menolong dari semangat matahari yang tak pernah berkurang untuk menyinari tempat ini. Alhasil di bawah sini sangat nyaman. Sekarang, lain merasakan angin musim kemarau yang aduhai, kami lebih senang menutup rapat pintu dan jendela, bahkan menutup muka ketika keluar rumah. Pohon yang joget oleh angin sudah tinggal legenda. Yang nyata, entah datangnya dari mana, debu yang intensitasnya luar biasa. Parkirlah motor di depan rumah tanpa tutup apa-apa, niscaya sore hari dia bedakan demikian tebalnya.
Maaf saya cuma baru bisa mengenang-ngenang begini saja.
Generasi berhutang yang masih merantau.
Komentar
Posting Komentar