Research Diary #1: Skripsi itu apa?
I coronate you as my MAGNUM OPUS! by tumblr.com |
Kata seorang dosen kami, “Skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai.” Entah ini merupakan kejujuran atau hanya sekedar pantikan bagi departemen kami yang terkenal dengan mahasiswa-mahasiswa masa studi lama agar lebih bersemangat buat lulus cepat. Apapun itu, mari kita letakkan ini di satu sisi. Sisi-sisi lain masih menyisakan banyak pendapat. Lain kata dosen, lain pula kata anak-anak awal 20-an yang belum begitu tahu apa-apa dan merasa bahwa hal terhebat yang pernah ia lakukan adalah lulus semua matkul wajib di Ilmu Sejarah UGM. Buat yang seperti itu (read: seperti saya) skripsi dirasa harus menjadi magnum opus. Skripsi seolah merupakan babak final, tonggak dari perjuangan malam-malam penuh paper dan hari-hari penuh kelas pagi. Skripsi boleh jadi hanya 6 sks, cuma selisih satu sks dari mata kuliah wajib lain seperti Pengantar Sejarah Indonesia dan Praktek Penelitian Sejarah I, tapi memutuskan mau menulis apa saja butuh waktu sepanjang semester 6 dan 7.
Tak bisa dilawan, paradigma konyol magnum opus ini merupakan salah satu penghambat lulus cepat. Paradigma ini adalah hantu ekspektasi yang membebani. Kenapa tidak pilih saja lalu mengerjakan sebisanya? Saya juga bertanya-tanya soal hal itu pada diri saya sekarang, setelah satu setengah tahun menghabiskan waktu bergulat dengan 6 sks. Tapi kawan, tidak bisa dilawan juga, ketika tema yang sesuai ekspektasi magnum opus tadi ditemukan, jungkir balik pun, bangun pagi buta demi menunggu bimbingan pun, gagal mengejar wisuda lagi pun, semua bisa dilalui dengan perasaan bahagia-tabah-haru yang sulit dilukiskan. Bagaimanapun skripsi ini dipandang orang lain, apakah ia merupakan kajian berguna atau sekedar pengulangan-pengulangan kajian lama, apakah komperhensif atau minim usaha, apakah rapi atau acak-acakan, yang penting ada perasaan semacam telah membayar hutang pada diri sendiri.
Skripsi saya bercerita soal ekonomi pedesaan. Ketika anak sekarang banyak bergulat dengan tema-tema seksi seperti sisi-sisi tersembunyi Revolusi, sejarah pemikiran, atau tentang hobi dan obsesi mereka masing-masing, saya pilih ekonomi, desa pula, tua sekali! Tentu saja pilihan ini bukan tanpa didasari alasan. Mundur sedikit ke semester-semester lalu, tema ini sangat diilhami oleh mata kuliah Sejarah Ekonomi, Sejarah Indonesia abad XIX dan XX, dan Sejarah Tata Negara dan Pemerintahan. Sejarah Ekonomi mengenalkan saya pada dualisme ekonomi Boeke. Sejarah Indonesia abad XIX dan XX (dan sebetulnya juga kakak-kakaknya yakni Sejarah Indonesia abad XVII dan XVIII serta Sejarah Eropa) mengenalkan saya pada rennaisans, pencerahan, revolusi industri, kolonialisme, imperialisme, dominasi Barat dan oriental despotism. Sejarah Tata Negara dan Pemerintahan mengenalkan saya pada rezim kolonial di periode akhir yang aneh. Gampangnya, menurut hemat serampangan saya, setelah sekian lama jahat, waktu itu mereka jadi baik!
Lantas bagaimana dualism ekonomi, dominasi barat, kolonialisme dan pemerintah kolonial yang jadi baik di akhir masa kekuasaannya bisa kawin-mawin lalu melahirkan tema skripsi soal ekonomi pedesaan?
Pelan-pelan, Bos!
Proses persalinannya terjadi di sebuah laboratorium ekonomi kerakyatan di rumah saya (read: warung). Kebetulan sejak saya SMA, untuk menopang kebutuhan keluarga yang semakin membengkak, kami mengelola sebuah warung sembako kecil. Warung ini mengajarkan banyak sekali hal buat saya. Pertama, dia telah mewujudkan impian saya, bukan cuma buat kuliah di UGM, tapi juga buat jadi penjual betulan, seperti yang saya inginkan ketika main warung-warungan waktu kecil dulu. Saya masih ingat sensasi ketika pertama kali menata barang di warung. Ada banyak barang yang baru pertama kali saya lihat kemasan grosirnya. Satu demi satu kemasan grosir itu kami bongkar lalu kami susun berderet-deret di etalase dan rak-rak. Menyenangkan sih, tapi bukan itu yang mau kita bahas.
Hal yang diajarkan warung itu pada saya bukan cuma asyiknya main jual beli sungguhan, tapi juga saat-saat sulit. Warung ini merupakan respon ekonomi terhadap berdirinya sekomplek perumahan baru di belakang rumah saya. Waktu kami masih menjadi satu-satunya warung, bukan main, barang cepat habis, ibu saya belanja ke agen tiap hari, dan pendapatan menjanjikan. Bagaikan main game frenzy-frenzy-an kami bisa melengkapi perlengkapan warung dan menambah jenis barang yang disediakan dari modal yang mulai berkembang tadi. Tapi semua berubah ketika rumah-rumah baru itu mulai tersisi penuh semua. Dalam satu gang perumahan berisi sekitar 15-20 rumah, bisa terdapat sampai 4-5 warung. Warung-warung baru itu barangnya serba kinclong belum tersentuh debu, yang modalnya besar bisa langsung jadi sekomplit supermarket, sementara warung kami catnya sudah mengelupas.
Masalah lain datang ketika pelanggan-pelanggan loyal kami yang tersisa adalah orang-orang ‘dekat’. Ibu saya sering mengeluh soal bagaimana ia harus berperan ganda: sebagai pebisnis yang harus rasional dan sebagai bagian dari masyarakat yang harus saling tolong-menolong. Sebagaimana bisnis kecil lain, masalah klasik kami juga soal itu-itu saja: dihutang dan modal. Di satu sisi kami perlu modal untuk diputar, tapi sulit juga buat bertindak serasional Ramayana dan Superindo ketika kamu adalah sebuah warung kecil di masyarakat yang komunalitasnya masih ada. Sebagaimana yang kami lihat ketika keluarga kami ada dalam posisi yang berhutang ke warung, warung dalam masyarakat seperti ini nampak sebagai kotak P3K kecil penyelamat kemaslahatan sekeluarga dari ekonomi yang sedang pontang-panting. Padahal, berjarak beberapa ratus meter saja, berderet-deret minimarket-minimarket yang sebetulnya wujudnya tak terlalu jauh berbeda, barang yang disediakan dan harganya juga relatif sama, tapi kenapa kami nggak bisa dihutangi? Padahal, well, untung yang mereka dapatkan jelas lebih banyak daripada warung kecil seperti kami. Dualisme ekonomi yang tempo hari saya dengar di kelas dengan ajaibnya seolah mengabstraksi kegelisahan ini ke dalam sebuah konsep (padahal konsepnya yang semena-mena saya cocok-cocokan dengan keadaan ini wkwk). Warung vs indomaret masa kini adalah perkebunan Eropa vs ekonomi pribumi tahun 1870-an, dudes!
Dualisme ekonomi merupakan keadaan janggal dimana kegiatan ekonomi modern berdampingan tanpa bersatu seperti air dan minyak dengan ekonomi yang masih tradisional. Ada variasi lain juga, seperti ekonomi pluralnya Furnivall yang bukan sekedar ekonomi modern dan tradisional, tapi dalam sebuah negara bisa jadi ada banyak sistem ekonomi beda level yang saling berdampingan tanpa bersatu. Mengapa hal ini terjadi? Karena salah satu bentuk ekonomi merupakan ‘anomali’ yang datang dari antah berantah. Ekonomi modern dalam bentuk perkebunan-perkebunan tahun 1870-an adalah anomali diantara hutan yang masih dimanfaatkan pribumi untuk mencari madu dan kemenyan, atau kegiatan pertanian komunal dalam masyarakat yang bahkan tidak mengenal konsep kepemilikan properti. Bukan berarti barat adalah satu-satunya penjahat di sini ya. Dalam kasus 1870-an yang sedang kita bahas memang seolah iya, tapi di kuliah Studi Perubahan Agraria Kalimantan, saya juga pernah dapat cerita bagaimana salah satu suku di Kalimantan yang masih berburu meramu merasa terancam dan bentrok dengan pendatang yang mau bercocok tanam di tanah mereka.
Kenapa barat bisa menginvasi kita dengan ekonomi modern mereka waktu itu? Akarnya ada jauh di masa pencerahan. Sejak abad 15 sampai sekarang, peradaban Barat telah mengembangkan sebuah pola pikir yang kita sebut modern ini. Pola pikir ini memang bukan main dahsyatnya, sedahsyat apa yang harus mereka korbankan di masa-masa itu untuk dapat mewujudkan ini. Dari masyarakat abad pertengahan yang dari pandangan kita sekarang keliatan hopeless banget karena dikuasai pemimpin-pemimpin spiritual maupun politik yang despot, yang rakyatnya terperas dan terbodoh-bodohi, mereka beranjak jadi masyarakat berorientasi individu yang mulai mengembangkan ekonominya di kota-kota pantai dengan semangat egaliter. Dari perkembangan ini lahir kapitalisme, demokrasi, dan ide-ide yang kita kenal sebagai modern sekarang. Saking hebatnya pola pikir yang mereka kembangkan ini mereka berhasil ‘menaklukan’ dunia. Pertama secara fisik, lewat agresi militer. Lalu lewat dominasi sebagai pihak yang menang perang. Terakhir lewat peradaban, dengan klaim sebagai orang beradab yang ingin memberadabkan orang lain yang sebetulnya punya adabnya sendiri. Betapapun banyak ide-ide yang berusaha melawan ide barat selama ini, termasuk anak-anaknya sendiri (karena liberalisme dan komunisme sama-sama lahir dari ide emansipasi individu masa pencerahan), Fukuyama bilang, Barat yang menang. Tapi tenang, kata Huntington ini bukan hasil akhir, kedepannya masih akan ada yang terus menantang Barat: peradaban-peradaban lain.
Dalam kelas Sejarah Tata Negara dan Pemerintahan, ide skripsi ini mulai menemukan bentuknya. Waktu itu saya betul-betul tertarik pada penjelasan soal politik kolonial akhir. Maaf kalau saya salah tangkap atau samar-samar lupa, pokoknya ada orientasi yang berubah dalam diri pemerintah kolonial di masa akhir kekuasaannya. Orientasi ini mulai terasa di pertengahan abad XIX. Ada usaha pemerintah untuk mulai memperhitungkan nasib pribumi yang sekarang lebih banyak berada di tangan mereka. Menurut beberapa literatur toh, kelaparan di Demak dan Grobogan juga punya andil mengakhiri Tanam Paksa. Terlebih lagi, Anne Booth bilang, kalau akhir abad XIX ke awal abad XX, Belanda sedang mengubah visinya terhadap Hindia Belanda. Si Fatherland ini memikirkan masa depan mereka berdua lho. Ketika Negara Eropa lain sedang berlomba-lomba memperbanyak koloni demi nafsu nasionalistik belaka, Belanda hanya ingin menjaga apa yang dia punya. Kebijakan Etis merupakan salah satu usaha yang mengarah ke sana. Kedepannya, Belanda ingin Negara jajahannya ini bukan hanya menjadi bagian darinya secara ekonomi, tapi juga secara kultural, sehingga ketimpangan di sana dan situ antara keduanya harus diminimalisir.
Sebetulnya, usaha ini adalah praktik penaklukan tahap tiga yang saya jelaskan sebelumnya, tahap peradaban. Agenda akhir abad XIX sampai akhir masa kolonial adalah memodernisasi dan memberadabkan koloni. Ini bisa kita baca juga sebagai proses internalisasi nilai-nilai asing kepada orang-orang yang sebetulnya punya sistem dan nilainya sendiri. Tapi, karena nilai yang diinternalisasikan pada masa ini akhirnya menjadi ‘nilai dunia’ dan cara menginternalisasikannya berubah dari sepihak dan semena-mena pada masa VOC dan Tanam Paksa jadi lebih ‘akomodatif’, boleh lah kita hitung sebagai niat baik. Pada akhirnya pun, dalam skripsi saya periode ini saya lihat sebagai ‘periode pembangunan yang, sayangnya, masih terganjal mindset kolonial’.
Ketika dualisme ekonomi sudah pernah masuk ke telinga saya, langsunglah ia jadi konsep favorit. Ada berita ojek online bentrok sama ojek konvensional: dualisme ekonomi. Tengkulak pasang harga semena-mena: dualisme ekonomi. Harga cabe di pasar mahal padahal di petani murah: dualisme ekonomi. Kesal sama televisi yang cuma ngajari menghabiskan uang tapi tidak mengajari cara cari uang: dualisme ekonomi. Padahal ya kawan, baca bukunya si yang mulia Boeke pun saya nggak sanggup tamat. Saya cuma ketemu versi bahasa Inggrisnya di perpustakaan Kolsani. Berhubung lagi gandrung, saya copy lah separonya buku itu (karena kalo semua nggak boleh). Pikir saya, beberapa minggu libas, lalu kesini lagi copy separuh sisanya, lalu libas lagi. Eh, ternyata melibas buku ini lebih sulit dari melibas kecoa. Subhanallah. Mabok. Dan sampe sekarang belum tamat.
Jang Moelija Inspiratie by soedoetpandang.wordpress.com |
Boeke bukan satu-satunya penganut pemikiran ini. Dia punya murid yang mengkritik idenya, tapi punya banyak poin yang mirip sepertinya yakni Burger. Banyak juga yang bilang Geertz dengan involusi pertaniannya juga ada di kubu ini. Waktu tanya-tanya sama Pak Bambang, saya juga dikenalkan nama-nama lain seperti Penny dan Scott. Nemu buku murah di Social Agency, saya juga akhirnya coba-coba baca Polanyi. Akibat dari semua ini adalah latar belakang proposal seminar yang ngalor ngidul isinya teori semua dan nggak jelas. Menclok konsul ke dosen lain, saya dibilang musti meninggalkan teori-teori ini karena memang belum pada tempatnya. Tapi dari semua saran, saran untuk membuat spasial saya yang tadinya Jawa lebih spesifik memang saran yang harus dituruti. Pak Bambang yang akhirnya saya pilih jadi DPS adalah satu-satunya yang nggak masalah soal spasial Jawa saya, tapi bilang kalo proposal saya waktu itu masih nggak fokus. Bingung setengah mati saya. Kalo kurang fokusnya bukan di spasial, lantas apa?? Kebingungan akhir semester 6 itu membawa langkah gontai saya ke ruang skripsi di lantai 2 perpus FIB. Di sana, entah mengapa, sebuah tesis berjudul Distrik Salatiga: 1900-1942 nampak bersinar sekali. Saya ambil, saya baca, dan akhirnya satu lagi puzzle masa depan saya temukan.
Salatiga bukan tempat asing buat saya. Ia adalah alam mimpi yang rutin saya kunjungi sejak kecil, meski tak mesti setahun sekali. Di tengah Cikarang yang isinya cuma pertokoan, kampung, pabrik, dan sawah, gunung-gunung yang ada di ilustrasi majalah anak adalah definisi lingkungan ideal buat saya. Impian saya yang ini juga sederhana, sesederhana jadi penjual di kesempatan main warung-warungan, yakni untuk buka jendela berdaun dua di pagi hari lalu melihat pemandangan gunung-gunung dan menghirup udaranya yang segar, diiringi kicauan burung dan gerak mekar bunga-bunga. Aih! Dalam satu atau beberapa tahun sekali, impian itu cuma bisa terwujud di Salatiga, di beberapa hari saja mendekati atau setelah Idul Fitri, dalam kesempatan mudik ke tanah kelahiran Bapak saya.
Dari curhatan Mbah-mbah dan Lek-lek saya di sana, sering saya dengar soal panen yang dihargai murah atau sapi yang harus dijual karena hasil panen gagal mengembalikan modal. Padahal, sulit buat percaya sayuran yang terdiri dari kentang segede sepatu ukuran 38, kubis segede semangka, timun yang lurus-lurus seragam anti kriting, dan cabe-cabe segar mulus itu dihargai lebih murah dari sayur rungsepan pasar induk di Cibitung. Bapak saya suatu waktu pernah nyeletuk, “Harusnya ada aturan biar pas satu nanem cabe, yang lain jangan nanem cabe biar harganya nggak jatuh ya.” Dan ini, man, tidak salah lagi: DUALISME EKONOMI!
Beruntungnya, tesis Bu Emy yang saya temukan waktu itu sependapat dengan saya. Ketika itu saya sedang butuh wilayah studi kasus, yang sesuai dengan asumsi awal saya soal Jawa, bahwa masyarakat Jawa ini, meski sudah coba diemansipasi secara ekonomi lewat kebijakan-kebijakan modernis dan developmentalis selama akhir abad XIX sampai awal abad XX, tetap nggak teremansipasi. Tesis Bu Emy bilang, kalau segala pertumbuhan ekonomi yang terekam di Salatiga, betapapun dia dihuni banyak perkebunan, punya kota yang ekonominya maju, tetap membuat masyarakat pedesaannya berada dalam taraf ekonomi desa dan belum terintegrasi ke ekonomi modern di akhir masa kolonial. Man, PAS!
I've finally found you, you've finally found me, yay! by tumblr.com |
Akhirnya, petualangan mencari panggilan magnum opus ini berakhir. Saya dapat tema dan bisa mulai mencari sumber! Ada juga yang tanya kenapa saya nggak melanjutkan tema-tema paper saya yang biasanya seputar makanan, gaya hidup, konsumsi dan semacamnya. Kambing hitamnya adalah hantu ekspektasi magnum opus tadi. Saya pernah tanya di kuliah Teori dan Metodologi, lebih baik mana, tema itu dari hobi atau dari kegelisahan. Jawabannya dua-duanya bisa. Tapi man, dari 5 halaman A4 perjalanan emosional dalam menemukan tema ini, bagaimana mungkin saya bisa meninggalkannya untuk tema-tema yang sekedar merupakan kesenangan?
Posting berikutnya kita cari sumber ke Jakarta!
#101researchdiary #skripsi #lyfe #historystudent
Komentar
Posting Komentar