Pada langkah pertama keluar gerbong

Pada langkah pertama keluar gerbong hari itu, lamunanku akan nasib pecah. Pecahannya berserak-serak ditubruk lalu lalang orang yang riuh ramai di Senin pagi. Sudah ratusan kali aku melangkah keluar dari kendaraan-kendaraan yang membawaku pergi jauh dari rumah. Kebanyakan dalam keadaan sendiri. Ada kalanya aku menyangklong tas kain berisi beberapa kilo beras dan lauk-pauk kering dari rumah, ada kalanya aku menarik koper 30 kilogram dari conveyor bagasi, ada kalanya lenggang kangkung seperti orang kaya berbabu yang sedang tamasya. 

Perjalanan-perjalanan itu ada yang dekat dan ada yang jauh. Lepas membubuhkan tanda titik barusan, aku berpikir lagi. Makna dekat dan jauh ini selalu berkejar-kejaran. Di umurku sekarang, belum ada nampak frekuensi berperjalananku akan berkurang. Jauhku hari ini akan semakin dekat pada kategori dekat. 

Satu dua perjalanan traumatis, lima empat lucu dan sangat berkesan, lebih dari dua puluh membuatku menangis tersedu-sedu, sisanya campur-campur. Perjalanan traumatis, seperti nomenklatur yang kububuhkan padanya, membuatku tidak ingin berperjalanan lagi, kalau perlu seumur hidup. Tapi kemudian hidup datang, menggedor pintuku dan menyeretku ke luar untuk sekali lagi menyerahkan diri pada dunia. Itulah kenapa perjalanan traumatis juga dihitung sebagai perjalanan yang membuatku menangis. Pada malam-malam panjang dalam bis atau jam-jam melelahkan melayang-layang di pesawat tanpa transit, aku sering berharap memiliki teman perjalanan. Pada siang dan malamku di darat yang kadang juga tidak kalah nestapanya, aku juga sering berharap memiliki teman perjalanan. Apakah aku akan semakin kuat dengan semakin banyaknya kilometer yang kutempuh, atau akan semakin lemah?

Jawaban negatif akan menyaratkan teman perjalanan, tapi bahkan dalam jawaban positif pun, teman perjalanan tidak akan pernah salah. 

Lalu aku tumbuh, menua beberapa tahun, menajam dalam insting dan kewaspadaan, menjadi kaya dalam pengalaman. Jalanan-jalanan sunyi tidak lagi mengerikan, koper-koper berat tidak lagi menggelisahkan. Kemudian, pada langkah pertama keluar gerbong kereta aku berpikir, mungkinkah diri yang tumbuh ini adalah teman perjalanan yang kuminta? Ia adalah yang paling setia, penghibur dalam mendung, kasih dalam sunyi, dan  kehangatan yang membuatku yakin untuk terus mengambil langkah-langkah berani yang membawaku pada segala rupa berkah. Seringkali ia titip salam padaku, dari Tuhan. Dia bilang, aku begitu disayangiNya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya