Di episode keberapa?
Di sebuah kota teluk yang berkilauan, untuk pertama kalinya seumur hidup aku menikmati senja di bibir pantai selain daripada pulau kelahiranku. Hari itu sebuah hari besar. Aku baru saja berjuang dalam sebuah pertarungan yang belum pernah kujalani sebelumnya. Ini yang menyenangkan dari sebuah pengalaman pertama. Aku bisa menjalaninya dengan ringan karena tak punya prasangka apa-apa. Selama dua hari, aku hanya menari dari satu kekaguman ke kekaguman lain. Tidak peduli menang atau kalah karena aku telah memenangkan banyak sekali hal. Setelah kupikir aku telah cukup bertualang, aku menyesap sari-sari senja yang padam perlahan itu dengan khidmat. Lalu rombonganku berjalan ke arah selatan, menyusuri cakrawala, dipimpin oleh seorang pria tinggi ramah berbaju hijau. Itu satu-satunya yang familiar dari dua hariku yang ajaib di kota teluk. Dalam sekelompok anak muda seperti ini, persis ketika aku menemukan orang-orang berkilauan, hampir pasti aku tidak akan bisa menggapainya. Tidak lama kemudian, hujan turun sehingga kami harus naik delman kembali ke penginapan. Di bawah taburan hujan yang tak begitu deras, di tengah kota teluk temaram yang basah, orang itu semakin berkilauan, setidaknya dalam ingatanku. Tapi seperti hujan yang menyudahi malam menyenangkan kami dengan tiba-tiba, dua hari itu akan berakhir dengan tiba-tiba juga. Esok paginya aku akan kembali ke pulau dan hidupku yang sibuk dan runyam. Lalu ingatan itu akan menumpul dalam pemaklumanku.
"Satu kekonyolan lagi penghias masa muda." racauku seraya mengantonginya dalam saku.
Tidak terhitung, sejak aku pertama kali mengenali perasaan kagum pada seseorang, sudah berapa kali aku menumbangkan pohon harapku sebelum bercabang. Entah itu dalam satu dua hari sebuah perlombaan, anak pindahan dari sekolah lain, kelompok belajar, kelompok bermain, semua gerombolan kecil anak muda yang aku ada di dalamnya baik dalam waktu singkat maupun lama. Di antara semua orang, aku akan melihat satu yang sangat bersinar. Mungkin itu yang namanya ketertarikan, tetapi aku selalu mendefinisikannya sebagai kekaguman. Ada sebentang jarak dan bayang-bayang besar yang meneduhkanku dalam konsep kagum. Ia tidak menyaratkan tukar senyum dan kata, seolah itu hal yang sama tidak mungkinnya dengan bumi dibelah dua. Ia hanya bersinar dan aku akan melihatnya dengan aman dari jauh dalam lindung bayang-bayang pekat disekitarku.
Dulu, aku pikir begitulah dunia bekerja. Cinta-cinta yang berbalas hanya milik mereka yang rupawan. Sebagian besar populasi dunia yang tidak rupawan suatu saat akan menyerah disiksa kesepian dan menjatuhkan diri pada pilihan paling mungkin, sebuah kompromi atas impian yang tidak tergapai. Soalnya, kita selalu tertarik pada rupa seperti serangga pada cahaya bukan? Setiap aku melihat seseorang berpendar indah diantara yang lain, aku pikir aku didaftarkan pada gladiator dengan banyak perempuan lain untuk memenangkan hatinya. Bahkan ketika aku menang setelah menumpahkan separuh darahku, si cahaya mungkin tidak akan menyukaiku.
Contoh konkritnya terjadi di sebuah bus dari sekolahku pada suatu sore panas di sekitar tahun 2010-an. Waktu itu aku melihat cahaya pada seorang senior yang arah pulangnya sama denganku. Di dalam bus yang penuh, tanpa kusadari aku naik persis setelah dirinya sehingga satu-satunya tempat bagiku adalah pijakan di sampingnya di dekat pintu. Aku ingat wajahku memanas dan dadaku berdentum keras. Sangat keras seperti semua orang di dalam bus itu bisa mendengarnya lalu meneriaki seniorku bahwa aku menyukainya. Sebuah masalah besar karena ketika aku melihatnya begitu bercahaya, amat subjektif tanpa cela, aku melihat diriku sendiri begitu muram. Kami bersanding adalah sebuah kemustahilan, apalagi dia menerma perasaanku! Aku merasa ia akan memarahiku karena mengganggu hidupnya. Aku tidak sanggup. Kami saling mengenal meskipun tidak akrab, jadi aku bilang "Tempat pensilku ketinggalan." sebelum lompat turun dan berlari menjauh sesaat sebelum bus jalan. Aku tak sempat melihat ekspresinya atau mendengarnya berkomentar baik tentang dentuman aneh yang ia tak tahu asalnya dari mana atau apakah ia peduli soal aku yang harus mengambil tempat pensilku kembali. Aku melihat bus yang dia tumpangi menghilang di kejauhan sambil mematung di dekat gerbang sekolah. Aku tidak pernah masuk ke sekolah lagi sore itu. Tempat pensilku ada di saku depan tas yang sedang kudekap erat. Aku masih diam sampai kerumunan orang habis ditelan bus-busnya masing-masing. Seniorku itu terus menjadi "kenalan yang baik" selama bertahun-tahun. Ia tidak membenciku, bahkan kami saling membantu dalam beberapa kesempatan meski aku yakin desas-desus kalau aku menyukainya mungkin sudah lama sampai ke telinganya. Suatu hari, oleh sebuah keajaiban alam kami makan malam berdua di kota yang asing. Ia meminta izin sebelum mengajakku berfoto bersama. "Untuk kakakku," katanya. Kebetulan aku juga mengenal kakaknya dengan cukup baik.
Andai aku sedikit lebih mencintai diriku sendiri, mungkin akhir cerita-cerita ini akan berbeda. Ketika aku masih sangat muda, aku dihantui ketakutan bahwa orang-orang yang kusukai justru membenciku. Aku tidak menikmati penampilanku. Pun entah oleh bagian sejarah hidup yang mana, aku merasa harga diriku terluka jika aku memperbaikinya. Rasanya seperti aku berusaha terlalu keras dalam sebuah turnamen yang tidak akan pernah aku menangkan. Padahal, orang lain bisa saja melenggang ke garis finish dengan ringan dan tanpa hambatan. Waktu itu aku tidak bisa senyum tapi merasa tidak ada orang disekitarku yang memberi petunjuk soal pembawaan yang negatif hanya akan memancarkan aura negatif yang menjauhkan orang-orang. Aku posesif terhadap teman-temanku dan mudah patah hati oleh penolakan selemah apapun.
Menerima dan merayakan diri sendiri adalah tugas paling sulit yang pernah dan masih aku lakukan. Setiap kali aku merasa begitu malang, aku selalu berlari menghindari masalah itu untuk mencegah rasa sakit berkembang. Aku mencari ladang-ladang lain tempat aku bisa memulai semuanya dari awal dan menemukan kekuatan-kekuatan. Sebuah ladang, sisi profesionalku, menjadi ladang yang menumbuhkanku jadi orang yang paling kuat di antara ladang lain. Setiap tahun aku memanen kepercayaan diri dari ladang ini. Mungkin karena ia dimulai sejak awal dengan baik, kurvanya hasilnya selalu naik. Ketika ada hantaman krisis, aku yang tumbuh dengan sehat di ladang ini bisa menanganinya dengan terampil.
Hanya saja, meski satu dua kisah manis tentang cahaya kupetik dengan kekuatan dari ladang itu, ada krisis-krisis multidimensi yang memaksaku tidak bisa menghadapi dunia hanya dengan sisi profesionalku. Pada krisis semacam itu, tiba-tiba semua kepribadian yang telah dengan hati-hati kupisahkan untuk waktu lama, ladang-ladang gersang insekuritas masa lalu yang tidak pernah kusentuh, terbakar dan menyambarkan apinya kemana-mana. Duniaku runtuh dalam kobaran api, dan ketika padam, pekerjaan-pekerjaan lama soal insekuritas itulah yang masih bertahan. Dalam krisis hebat seperti itu, ketika kudekap diriku sendiri, ia yang kukira sudah tumbuh dengan baik ternyata hanya anak kecil yang meringkuk gemetar karena ditinggalkan dunia dan ditinggalkan olehku untuk sekian lama.
Di dalam hati anak kecil itu, kata-kata satu dua orang yang bilang ia tidak cantik terpatri kuat sekali. Setiap melongok ke dalam masa lalunya untuk mencari jawaban dari masalahnya sekarang, prasasti sialan itu yang dia lihat. Maka bisa kita bayangkan, di dunia yang demikian mendung, segala pujian, afeksi, perayaan, dan syukur atas dirinya yang dilimpahkan padanya oleh jauh lebih banyak orang sulit bisa dipercaya. Dibanding sebuah luka sayatan yang begitu dalam, bunga-bunga kata hanya akan layu dalam beberapa hari. Aku ingat sekali sulit rasanya membedakan pujian dengan olok-olok. Karena sangat berbahaya jika salah menganggap olok-olok sebagai pujian, maka kupukul rata semua sebagai olok-olok.
Di momen ketika aku memeluk anak kecil ini dan menyadari tubuhnya begitu ringkih, mataku memanas, hatiku runtuh. Dari semua orang jahat di dunia ini, akulah yang paling bersalah atas keadaannya sekarang. Ia terus hidup begitu selama bertahun-tahun karena aku tidak pernah berusaha menyembuhkannya, hanya karena alasan konyol soal dendam pada nasib yang telah membawaku pada cerita semuram ini. Pikirku dulu, at this rate, kemewahan berkasih-kasih dengan seseorang mungkin seumur hidup tidak akan mampir padaku, maka aku akan hidup untuk memberi semua kasih yang tersisa padaku untuk dunia, untuk anak mana saja yang menghidupi kisah yang sama getirnya, untuk ketidak adilan, untuk orang-orang tertindas. Naasnya, belum lama aku menyadari, aku ingin mempersembahkan hidup untuk semua kemalangan kecuali diriku sendiri.
Sekarang aku bingung. Secara teori, jelas sekali apa yang bisa dan harus aku lakukan setelah ini, tapi rasanya sulit. Aku masih melihat diri yang muram di cermin, aku masih berharap aku terlihat seperti orang lain. Pada waktu-waktu tertentu, aku jatuh cinta setengah mati pada diriku sendiri, pada semua bekas lukanya, pada kebesaran hatinya, pada setiap kilo beban yang pernah ia panggul sendiri dipundaknya, pada matanya yang besar dan bulu matanya yang melengkung, pada jemarinya yang lentik dan sudah banyak menciptakan keajaiban. Tapi aku tidak begitu setia. Di hari lain aku hanya bisa merasa kasihan, dan di hari-hari paling biadab aku berkubu dengan para pengolok-olok.
Meski belakangan hari-hari muram itu semakin jarang terjadi, aku jadi menyadari bahwa selama ini, pada hari-hari semacam itu aku telah begitu banyak membunuh. Pada setiap percikan yang kuremas dalam saku supaya padam, pada setiap afeksi yang kutolak atau kuanggap beban yang harus buru-buru diimpaskan, pada setiap pesimisme yang membelokkanku dari jalan perjuangan yang berisiko, aku mengira sedang melindungi diri dari penolakan, padahal aku yang menolak dunia.
Saat ini, kuterka-terka, aku sedang ada pada episode dua dari sebuah kisah lama. Kisah yang pernah kupadamkan dalam saku. Aku sedang terombang ambing di pasang laut kedua dan diserang keraguan apakah perasaanku sungguhan. Dia, si cahaya itu, dan orang-orang lain yang ambil bagian dalam kisah ini, termasuk diriku sendiri mulai nampak sulit dipercaya. Segala kata tiba-tiba bermakna ganda dan excitement dari pasang pertama mulai surut. Biasanya, pada pasang ini aku menyerah pulang dan mengambil sebutir kulit kerang sebagai cinderamata, tapi jika aku melakukannya lagi, aku merasa hanya akan mengulang kisah sedih yang sama. Di depan hamparan laut yang luas ini sekarang aku bertanya, di kisah ini, apa yang bisa kulakukan? Bukan untukku saat ini atau si cahaya, tapi untuk diriku di masa lalu, untuk anak kurus yang gemetar dan merasa ditinggalkan seluruh dunia itu.
Komentar
Posting Komentar