Orang yang begitu baik karena luka-lukanya

Kemarin, di instagram aku melihat seseorang bilang, jika kamu bertemu orang yang begitu baik dan banyak memberi kepadamu, dan begitu menjaga perasaanmu karena ia tumbuh dengan banyak luka, jaga dia baik baik. Kamu begitu beruntung bertemu dengan dia.

Respon pertamaku adalah spontan mengumpat “damn!

Ada sedikit hal di luar topik ini yang mau aku bicarakan sebelum membahas lebih jauh. Awalnya aku agak ragu apakah inspirasi ini tidak terlalu sepele untuk ditulis. Discourse di media sosial itu berganti mungkin setiap menit sekali. Sepertinya sepele sekali kan kalau terpancing oleh tulisan hanya seorang. Apakah kekesalan ini pantas ditindaklanjuti dengan beberapa paragraf tulisan marah-marah yang setidaknya lebih menyita waktu dan tenaga dibanding marah-marah lisan? Akhir-akhir ini, hubunganku dengan media sosial memang agak tidak sehat. Sepertinya aku terlalu banyak menghabiskan waktu di sana, seolah-olah semua di dalamnya memang penting. Tapi bukankah semua orang juga begitu? Bahkan yang tidak secara aktif memproduksi konten, mereka juga menghabiskan banyak waktu scrolling lalu terlalu invested ke kasus-kasus tidak signifikan lalu melihat terlalu banyak iklan kan? Aku berharap bisa tergugah atau merasa marah lewat platform yang lebih solid dari media sosial, seperti realita di lingkungan sosialku sendiri. Tapi mungkin aku hanya bagian dari zamanku yang bergerak dengan cara seperti ini. Tulisan yang memancing emosi ini adalah caption dari sebuah video menarik berlatar alam yang disukai ribuan orang. Jika kita bisa pukul kasar semua like itu berarti setuju, maka penting juga masalah ini dibicarakan.

Kita punya setting isi kepala dari masa lalu yang kita bawa untuk hidup di masa kini. Dalam hal konten tidak kredibel ini dipercaya banyak orang karena dikemas dengan sinematografi bagus. Dulu, ketika untuk membuat sebuah video bagus diperlukan alat yang tidak murah dan sedikit, kemampuan itu hanya dimiliki institusi besar. Institusi besar, selain punya misi utama seperti misalnya mencari profit untuk perusahaan televisi swasta, atau memasyarakatkan nilai-nilai cinta negara bagi saluran TV pemerintah, juga punya tanggung jawab moral karena punya akses besar untuk mempengaruhi sekalian masyarakat. Oleh karena itu, ada pakem-pakem yang diatur untuk konten-konten yang mereka produksi, ada juga counter power seperti lembaga sensor, komnas anak, yayasan perlindungan konsumen, dan lain-lain untuk mengawasi mereka agar tidak menciderai hak-hak masyarakat dalam menjalankan misinya masing-masing. Sekarang, dengan teknologi menjadi milik semua orang dan pembuatan konten yang begitu terdesentralisasi, visual video yang bagus bisa diwujudkan oleh siapa saja. Sayangnya, seringkali tanpa dibarengi dengan kualitas substansi videonya karena visual adalah yang paling utama. Sementara itu, masyarakat internet, para netizen ini, masih dikuasai “setting” masa lalu yang menganggap visual bagus sebagai ciri sebuah konten kredibel dan lantas mempercayainya seberapa sampah pun suatu konten. Validasi apakah pernyataan atau pesan yang dibawakan konten hanya terjadi dengan menilai seberapa bagus presentasinya dan apakah kita menyetujuinya secara pribadi. Di dunia sekarang ini, betapapun kita adalah pribadi yang kopong jika dipisahkan menjadi individu-individu, si kopong itu tetap adalah wujud terpenting kita, karena bisa diisi dengan konsumsi-konsumsi tidak penting yang menumbuhkan ekonomi negara.

Anyway

Bayangkan dalam sebuah hubungan romantis, kita bertemu dengan orang seperti itu, yang banyak terluka tapi tidak pendendam, yang dari semua luka yang pernah ia rasakan dan sembuhkan sendiri betapapun dalam dan menyiksanya, ia hanya ingin orang lain tidak perlu mengalami hal yang sama sepertinya. Lalu sebagai manusia yang asumsinya tumbuh dengan lebih secure, dengan pijakan lebih kuat dan upbringing yang lebih supportive daripada dia, kita memilih untuk menerimanya sebagai keberuntungan kita. Kenapa gitu ya, kenapa bukan “maka kita harus menjadi pelindung yang tidak pernah dia dapatkan”.

Biasanya, orang menjadi pelindung yang agak obsesif seperti itu karena selalu menanggung semuanya sendirian. Ia akhirnya bereaksi menjadi “pelindung yang selalu ia harapkan kehadirannya” bagi orang yang ia sayangi. Padahal, menanggung luka-luka kehidupan, apalagi bisa sampai menyembuhkannya sendiri, adalah hal mulia dan tidak harus dihindari. Untuk tumbuh orang butuh terluka. Oleh karena itu, jika seseorang melindungi orang-orang terdekatnya dari luka-luka, ia justru mencegah mereka tumbuh. Suatu saat manusia akan dipisahkan oleh apa saja, lalu orang-orang yang dilindungi itu akan digempur luka-luka yang ditahankan seseorang untuknya selama ini. Dengan menganggap diri kita beruntung bertemu orang yang melindungi kita dari ketidak nyamanan dan rasa sakit semacam itu, lalu justru memanfaatkan perlindungannya, kita justru menelan bom waktu.

Lagipula, dimana kemanusiaan kita kalau ketika kita tahu seseorang menjadi pelindung obsesif karena banyak terluka tapi justru memanfaatkan kelemahan itu? Mengapa kita tidak berpikir untuk menjadi pelindung yang tidak pernah ia temukan daripada berlindung pada kerapuhannya? Bagaimana kalau kita menggunakan sejarah hidup kita yang lebih ramah untuk membesarkan jiwanya? Tidakkah hati luar biasa sejuk jika kita menjalankan peran semacam itu? Atau bahkan lebih baik lagi, mengapa kita tidak memilih untuk saling melindungi di saat-saat rapuh yang bisa datang kapan saja? Kalau kita saling membantu untuk menanggung luka dan menyembuhkannya, bukankah kita akan lebih kuat dari siapapun sebagai kolektif? Kan memang hidup tidak bisa ditanggung sendirian.

Bagaimana kalau kita bertanya “mengapa ia begitu baik” daripada sekedar menerimanya kebaikannya sebagai keberuntungan kita?

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong