Random Access Memory
Sekarang, ketika kita bertamasya, kita tidak punya kepercayaan samasekali pada indera kita. Kita cepat-cepat merampas ponsel dari dekapan saku, membuka lensanya lebar-lebar, menekan tombol kamera lekas-lekas seolah kita akan segera melupakan semua momen. Kita mengabaikan kemungkinan menemukan sudut pandang baru seandainya kita tidak hanya fokus mencocokkan apa yang kita lihat saat ini dengan yang selama ini dilihat orang-orang, lewat foto-foto yang kita sukai di media sosial. Kita juga mengabaikan indra-indra kita yang lain sehingga kita hanya akan mendapatkan foto yang sama dengan orang-orang dengan gambar kita di dalamnya, tanpa ingat aroma-aroma apa saja yang kita sesap di sana, jalan seperti apa yang kita pijak, tekstur-tekstur permukaan yang bagaimana yang kita sentuh. Pengalaman kita lebih merupakan replikasi daripada refleksi.
Zaman ini memang zaman terburu-buru. Orang lebih suka
kuantitas dibanding kualitas. Kelaparan ada di angka terkecil sepanjang sejarah
manusia, tetapi kita masih hobi menimbun makanan dan makan seperti orang
kesetanan, seolah lima menit lagi paceklik panjang akan dimulai. Kita juga suka
menimbun pakaian dan barang-barang lain, bahkan yang tersier dan minim
signifikansi, yang setelah dimiliki hanya akan teronggok tak berguna lama
sekali. Mirisnya, konsumsi ugal-ugalan seperti itu seringkali hanya disebabkan iming-iming diskon yang akan berakhir besok padahal bakal
ada diskon lagi bulan depan. Bahkan dalam kerja kita terburu-buru. Buru-buru
ingin selesai, ingin naik pangkat, ingin kaya.
Ketika sedang lelah dengan semua keterburu-buruan ini, kita
biasanya akan menyalahkan yang mulia kapitalisme. Tapi setelah emosi lunas,
kita akan segera menimbun makanan, menimbun kalori, menimbun barang-barang
tidak berguna lagi. Kita klaim itu sebagai self-reward karena lagi upset. Padahal ya mengobati perasaan dengan konsumsi adalah juga mengamini sungguh-sungguh
dari alam bawah sadar kekuatan luar biasa yang mulia kapitalisme.
Lucunya lagi, semua lini dari kehidupan yang terburu-buru
ini ada rekam jejaknya. Foto yang kita buat, tempat yang kita kunjungi, makanan
yang kita makan, jejak transaksi pembelian barang-barang kita, jejak browsing
kita ketika sedang pilih-pilih, juga interaksi kita dengan orang-orang lain di
internet. Kebanyakan dari semua itu terekam tanpa kita sadari. Ketika kita
menyertakan hashtag dan membuka foto yang kita unggah untuk public, foto kita
masuk dalam pameran yang dikurasi jagat internet. Foto kita bisa dijejerkan
dengan jutaan gambar lain dari tempat yang sama. Sehingga sebetulnya, tanpa
memotret sendiri pun kita telah bisa dengan sangat mudah mendapatkan gambar
yang akan membangkitkan semua memori kita tentang sebuah tempat yang pernah kita kunjungi itu. Tapi sisi itu tak pernah
dimasyarakatkan. Tak pernah masuk dalam iklan apapun, media transfer informasi
paling mujarab abad ini. Sementara itu, ponsel-ponsel dengan teknologi kamera
terbaru yang makin luas dan makin bening selalu menggembar-gemborkan “capture
your moment”, seolah tak akan ada momen tanpa foto yang kita ambil sendiri.
Yuval Noah Harari, sejarawan yang sekarang lebih terkenal
daripada Bapak Ilmu Sejarah Herodotus, pernah bilang tantangan Sapiens (cara
dia menyebut umat manusia masa kini, sesuai bukunya), bukan lagi mengumpulkan
tetapi memproses. Kita telah khatam masa berburu dan mengumpulkan puluhan ribu
abad lalu. Tantangan kita sekarang adalah mengolah apa yang kita telah
kumpulkan, membuatnya berguna, bukan durjana, bagi kita. Sebetulnya ini tidak
hanya berlaku untuk informasi seperti kata Harari, tapi juga makanan,
barang-barang, koin-koin, kartu pos, dan foto-foto. Semua yang suka kita
kumpulkan. Kita tidak lagi kesulitan. Maka dari itu, evolusi yang paling cepat
yang akan terjadi, menurut prediksi Harari, seandainya Sapiens mampu bertahan,
adalah pada otak mereka untuk memproses semua informasi ini.
Barangkali, RAM otak kita kapasitasnya bakal naik.
Oh, yaampun! Dulu, Ketika aku pertama kali dengar soal RAM
dan ROM di pelajaran teknologi informasi dan komunikasi kelas satu SMP aku
benci sekali. Bagiku yang tak punya computer, pelajaran itu adalah cara orang
orang kaya di kota-kota dan negara maju yang telah berbagi hidup dengan
computer memperolok-olok kami yang masih tidak mengenalnya samasekali. Tidak
kusangka aku akan menggunakan istilah ini pada suatu esaiku. Entah bagaimana
caranya. Aku sedang naik kereta dari Yogya ke Jakarta. Aku juga tak menyangka
memandangi belukar-belukar di jantung Jawa dari Purwokerto sampai tegal bisa randomly
mengingatkanku pada Random Access Memory.
Sepertinya, cara kerja otak kita bisa dipahami sebagaimana
cara kerja RAM. Dahulu kala, setidaknya di Asia Tenggara yang memang orangnya
tak terlalu suka tulis menulis, otak manusia Cuma punya RAM dan hardisk
internal yang sangat terbatas. Oleh karena itu, orang-orang Asia Tenggara
memilih untuk melupakan banyak sekali hal. Mereka tak menganggap data statistic
penting, makanya invoice jual beli termasuk informasi yang paling baru-baru ini
mulai dicatat. Bagiamana soal buah pikiran, produk budaya? Lebih sering
diceritakan ke orang langsung. Diceritakan, transfer informasi dari lisan ke
pendengaran lebih lumrah dilakukan. Itulah mengapa tinggalan-tinggalan produk
intelektual dari tempat ini di masa lalu adalah sajak-sajak pendek dalam pola
yang mudah diingat dan sangat musical seperti pantun dan lagu-lagu. Itu cara
mereka mengingat, cara mereka memaksimalkan kapasitas memori mereka yang
terbatas.
Di tempat-tempat lain, misalnya di China, orang bukan hanya
memaksimalkan kapasitas memorinya dengan memodifikasi format-format informasi,
tetapi juga meletakkannya di tempat lain di luar kepala. Mereka menulisnya.
Untuk pertama kalinya manusia mengenal harddisk eksternal. Dengan ditemukannya
mesin print, harddisk eksternal kita kapasitasnya bertambah pesat. Penemuan
teknologi penyimpanan digital hingga cloud membuatnya Nampak tak terbatas jika
dibandingkan dengan masa-masa di mana kita masih memodifikasi informasi untuk
bisa dijejal-jejalkan ke kepala kita.
Masalahnya, sejauh apa RAM kita bertambah dalam evolusi
memori yang Panjang dan pesat itu? Dalam dunia perkomputeran pun, perkembangan
ram berselisih jauh dengan memori biasa. Jika sekarang ram paling banter baru
16 gigabyte, memori internal sudah sampai 1 terrabyte. Memori eksternal lebih
sesuka kalian lagi. Komputer saja mencatatkan angka yang diskriminatif
kawan-kawan, 16:1000.
Padahal, perkembangan car akita menyimpan informasi dari masa
tradisi lisan sampai cloud sekarang itu mungkin jutaan kali perkembangan
kapasitas memori internal computer. Dan kapasitas otak kita dalam memproses
informasi boleh jadi lebih kecil dibanding computer dengan RAM 16 giga yang
sudah bisa multitask puluhan program sekaligus.
Buatku, memori biasa seperti ruang untuk menyimpan semua
timbunan-timbunan kita yang oleh kapitalisme ditasbihkan sebagai simbol utama
kebahagiaan. The more the merrier. Bisa informasi, bisa makanan, bisa baju,
bisa barang-barang elektronik, sawah, ternak, investasi dan harta kekayaan
lainnya. Sementara RAM adalah kapasitas kita untuk betul-betul merasakan
manfaat dari situ.
Contoh pertama, informasi. Ini adalah saat yang sangat tepat
untuk kembali kepada masalah foto yang kusinggung di awal tadi. Dengan memfoto
kita tidak otomatis ingat, karena foto itu akan disimpan di memori eksternal
kita, di perangkat lain yang membantu kita menyimpan ingatan seperti memori
internal computer, memori eksternal, dan cloud. Kita tidak akan hapal semua
yang ada di semua perangkat penyimpanan kita karena RAM atau kapasitas
penyimpanan data yang bisa kita proses sekaligus dalam satu waktu sangat
terbatas. Suatu hari kita bisa menggunakan data dari perangkat penyimpanan
eksternal kita untuk memanggil sebuah data di memori internal kita sehingga ia
bisa digunakan di dalam RAM. Ini adalah guna memori eksternal. Kalau data itu
sudah terlampau tidak relevan, bisa jadi ia akan hilang dari memori internal
kita, sehingga meskipun ada di perangkat penyimpanan eksternal, ia tidak akan
pernah bisa diproses di dalam RAM kita. Coba lihat cloud dari lima tahun lalu,
kemudian temukan ada berapa foto yang tidak bisa memanggil cerita apa-apa. Sama
halnya dengan baju yang tidak pernah kita pakai di sudut lemari, Tupperware-tupperware
yang kita siapkan untuk piknik special yang tidak pernah terjadi.
Poinnya adalah, hidup yang terburu-buru ini sudah
mengelabuhi kita bahwa kekayaan adalah apapun yang berhasil kita timbun dalam ruang-ruang
yang kita punya, ketika sesungguhnya, kapasitas kita untuk menggunakannya sangat
terbatas.
Sepertinya narasi yang disusun kapitalisme mengeksploitasi
insting bertahan hidup kita dari masa berburu dan mengumpulkan. Ia
mengeksploitasi ketakutan kita terhadap situasi-situasi krisis. Yang paling
sering dinihilkan dari narasi kapitalisme adalah waktu. Kita didorong untuk
menimbun kekayaan seolah kita semua akan hidup ratusan tahun. Kita juga diundang
untuk menimbun bahan makanan di kulkas seolah bahan-bahan makanan itu tidak
punya masa kadaluarsa.
Kita memang bisa bekerja untuk menjadi kaya hingga bisa jadi
konco ngopi Elon Musk dan Jeff Bezos. Dalam narasi kapitalisme semua individu
berkesempatan tumbuh menuju tak terbatas. Lihat betapa dua orang itu mulai
mengacak-acak ruang angkasa, merasa bumi bukan lagi taman bermain yang menarik.
Tapi selalu ada batasan-batasan. Dalam sehari kita hanya punya dua puluh empat
jam, berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk memilih self-reward apa yang
akan kita anugerahkan kepada raga yang lelah dari gaji bulan ini padahal dalam
seminggu kita hanya punya waktu libur dua hari. Suplemen dan kosmetik kaya warna itu cuma bisa paling lama tiga tahun dikoleksi, lepas itu tak aman untuk
tubuh. Barang-barang elektronik juga punya masa “nyaman dipakai” sampai
inovasi-inovasi baru muncul dan membuat barang elektronik kita yang kondisi
fisiknya masih prima jadi pantas diganti, sekitar dua sampai empat tahun. Sayur
mayur dan buah-buahan bisa satu sampai dua minggu kalau di lemari pendingin.
Daging kurang dari seminggu di lemari pendingin tanpa freezer. Cukup lama di
freezer, tapi oh sungguh, rasa dan bau benda yang keluar dari freezer dengan
yang baru sangat sangat berbeda. Sebelum barang barang yang kita timbun itu
keluar dari kondisi primanya, mungkin kita yang akan pergi dari kondisi prima
kita. Bisa sakit fisik, bisa sakit hati. Pokoknya selalu ada saat-saat di mana
baju istimewa yang kita beli tahun lalu untuk acara bulan depan jadi jelek dan
makanan yang kita bayangkan sepanjang jalan ke rumah jadi tidak enak.
Aku harap aku bisa semakin bijaksana memahami kapasitas
RAM-ku daripada semakin kaya.
Tapi tidak ada satu iklan pun yang akan mengajariku begitu.
Kalaupun mau berusaha kearah sana, aku harus bertapa,
mendudukkan jiwaku bersila di bawah air terjun selama puluhan tahun, memejamkan
mata dari segala tren busana dan desain interior serta diskon-diskon yang fana.
Sering banget ketika berkunjung ke tempat wisata, dan menemukan banyak orang (bahkan nyaris seluruhnya) sibuk memotret keadaan maupun diri mereka sendiri, rasanya jengkel dan dongkol betul. Entah apa yang mereka mau nikmati, padahal bilangnya berwisata. Ehh tapi kalau sudah setengah jam di lokasi, sialnya, saya sendiri juga sering tidak tahan untuk tidak ikut mengeluarkan ponsel buat memotret. Meski kadang dengan cara yang agak tersembunyi dan sok cool, berharap tidak menjadi bagian dari orang kebanyakan itu. Gile emang, naluri bawah sadarku juga sebetulnya ya sama dengan orang-orang yang kupandang dengan sinis itu wkwk.
BalasHapusHaii Wil! Terimakasih sudah mampir :D
BalasHapusRelate! sama aku juga gitu. Sering berdalih juga, "Ah aku nggak sekedar selfie kayak mereka kok." Tapi di bawah sadar memang kita digiring kesana oleh banyak sekali hal di luar kendali kita. Jadi apa boleh buat. Kalo aku sekarang mah yang penting waspada, sering-sering mengingatkan diri sendiri buat nggak mengonsumsi perjalanan dengan ambisius hehe