Jiwa Dunia
Sejak membaca The Alchemist, juga sejak beberapa penggal percakapan dengan seseorang yang menyenangkan, saya jatuh cinta pada konsep Jiwa Dunia ini. Sebetulnya kisah hidupnya Santiago si penggembala tidak terlalu membekas pada saya. Alur jenakanya Andrea Hirata dan alur super detilnya Ken Follet jauh lebih nyangkut. Bahkan, cerita suramnya Haruki Murakami lebih bisa saya ingat. Barangkali karena ceritanya Coelho dipenuhi dialog dengan diri sendiri. Tidak ada tokoh yang didandani dengan detil kuat dan tidak banyak interaksi antartokoh yang bisa meninggalkan banyak pemancang-pemancang memori ketika diingat kembali. Meskipun detilnya hilang, ada beberapa yang tinggal setelah membaca cerita-cerita Coelho, yakni perasaannya, aftertastenya, dan filsafatnya. Meski saya tak ingat persis ke mana saja Santiago pergi setelah berhenti bekerja pada tukang kristal atau kapan ia berpisah dengan si orang Inggris, spiritualitas Coelho menular. Sejak The Alchemist, saya tidak bisa berhenti memikirkan hidup saya dalam kerangka Bahasa dan Jiwa Dunia.
Mungkinkah kita memang diciptakan untuk satu tujuan pokok yang mengikat kita sebagai sebuah komponen kecil dari mekanisme raksasa alam semesta? Mungkinkah memang ada suara yang selalu membimbing kita ke sana? Saya rasa iya. Saya telah merasakannya berkali-kali. Persis seperti katanya, "Dengarkan suara hatimu. Hatimu tahu segalanya sebab ia berasal dari Jiwa Dunia."
"Kenapa akhirnya kamu memilih Wageningen?"
Tanya seorang guru saya setelah saya akhirnya memutuskan sebuah pilihan yang sulit. Pada awal musim panas tahun lalu, ketika saya sedang menunggu pengumuman dari beasiswa LPDP untuk S3 di Wageningen, saya dapat tawaran dari profesor saya di Leiden untuk membuat proposal penelitian bersama. Sebagian dari project itu akan saya lakukan sebagai penelitian s3, sehingga jika proposalnya lolos saya bisa dibiayai untuk s3 di Leiden. Sebagai konteks, saya sudah melamar beasiswa sejak saya lulus s2 di tahun 2021. Sampai dengan akhir 2023, saya sudah beberapa kali melamar beasiswa lain dan 4 kali melamar beasiswa LPDP tapi belum ada satupun yang lolos. Di momen terendah dari tahun-tahun tersebut, saya terlalu fokus terpuruk sehingga luput pada kepedulian banyak orang. Sebelum mengajak saya pada project ini, kami pernah bertemu sebentar seselesainya sebuah acara di Jogja pada suatu sore. Kami bicara cukup serius tentang peluang-peluang S3 selain yang sudah pernah saya lamar, tetapi pembicaraan itu dibuka dengan dia menanyakan kabar saya. Hati saya seketika mencelos ketika dia menutupnya dengan "I just want you to be successful."
Beberapa bulan berselang sejak proposal bersama itu ditulis, saya belum juga mendengar kabar. Rekan-rekan saya dalam project itu orang-orang dengan banyak kesibukan, jadi wajar kalau project ini adalah prioritas mereka yang kesekian. Saya juga tidak terlalu banyak meletakkan harap. Di samping itu, saya punya feeling bagus soal aplikasi LPDP terbaru saya. Selama ditolak 4 kali, saya terus-terusan melamarkan funding untuk project s3 ke Leiden, project yang merupakan kelanjutan dari penelitian s2 saya. Tapi melanjutkan kisah hidup di Leiden seperti pintu yang sulit sekali digedor, seperti mantan angkuh yang sulit sekali diajak balikan. Di aplikasi yang baru, saya mengenalkan pada LPDP rencana studi yang berbeda.
Setelah bangun dari masa-masa terpuruk, Bahasa Dunia mengantar saya ke sebuah kemungkinan takdir yang baru, ke Wageningen. Perjumpaan saya dengan Wageningen terjadi sejak tahun sebelumnya, sekitar akhir 2022. Ketika itu, setelah berhasil menyelesaikan sebuah project dengan guru saya di Leiden yang saya ceritakan tadi, beliau menawari saya untuk bergabung di project baru, project milik koleganya yang baru dapat posisi peneliti posdoktoral di Wageningen. Penelitiannya memang sangat dekat dengan saya, tentang ilmu pertanian tropis di dunia kolonial dan poskolonial negara-negara bekas jajahan Belanda. Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan. Beberapa minggu kemudian saya meeting untuk pertama kali dengan semua yang akan terlibat dalam penelitian itu yakni kolega baru saya dari Wageningen, dan secara mengejutkan beberapa orang dari IPB (satu-satunya universitas IPA yang pernah saya incar yang ternyata semacam Landbouwschool Wageningen filial Bogor). Percakapan-percakapan selama riset berlangsung dengan kolega baru ini secara terduga tentu menyentuh topik-topik penelitian kami. Ketika saya cerita tentang topik saya, dia dengan antusias bilang kalau itu terdengar seperti area of expertise koleganya yang seorang asisten profesor di Wageningen. Singkat cerita saya minta dikenalkan dan si asisten profesor ini sekarang jadi salah satu pembimbing S3 saya.
Pengalaman dengan Wageningen seperti yang saya katakan sebagai jawaban pertanyaan guru saya itu, "Semua proses di Wageningen rasanya lancar sekali."
Sekitar akhir September, ketika pengumuman LPDP hampir tiba, saya dapat kabar kalau project di Leiden berhasil didanai. Kemungkinan untuk lanjut s3 sebagai employed PhD bergaji Belanda sudah terpampang di depan mata. Ini seperti si lelaki angkuh tiba-tiba jadi orang baik, minta maaf, dan mohon-mohon supaya saya kembali. Anehnya, saya tidak sesenang yang saya bayangkan.
Saya pikir, itu karena selama ia tinggalkan, saya sudah susah payah menyembuhkan luka, membuka diri, hingga akhirnya jatuh cinta pada orang baru. Saya juga jauh lebih menyukai versi diri saya yang baru. Diri saya yang mengejar-ngejar lelaki angkuh itu dulu menganggap hubungan kami sebagai tujuan hidup. Kegagalan demi kegagalan sepertinya cara Tuhan untuk memberi saya gambar yang lebih besar.
Suatu hari, pada momen bersepeda galau malam hari di tepian kanal-kanal Leiden yang cantik itu saya terpikir tentang hal apa yang mestinya saya lakukan setelah misi master selesai. Perjalanan selama master di Leiden memang bukan hal yang mudah, tapi itu akan berakhir juga. Sebelum berangkat, saya menjadikan Eropa sebagai tujuan saya. Eropa adalah cahaya yang ditembakkan mercusuar raksasa ke seluruh negeri, ia adalah lagu wajib yang berkumandang setiap pagi dan sore hari. Anak-anak muda memujanya sebagai pucak impian dan peradaban. Bagi anak-anak kelas sosial pungguk seperti saya, Eropa yang merupakan delicacies bagi anak-anak konglomerat adalah sebuah kemustahilan. Semakin ia mustahil, semakin anak-anak kampung ini memistifikasinya di alam pikiran. Ia adalah mitos yang demikian megah sehingga saya menghabiskan hingga lebih dari separuh umur saya sekarang untuk menaklukannya. Di kolong Menara Eiffel dan di hadapan cermin-cermin raksasa Istana Versailes, sudah tuntas saya penggal mitos itu. Yang tersisa dari Eropa di hari berikutnya hanya masyarakat biasa yang makmur sejahtera berkat memerah separuh dunia untuk keuntungannya sendiri di masa lalu. Oleh karena itu, menjadikan s3 sekedar sebagai daratan baru untuk ditaklukan hanya akan melahirkan kekosongan yang segera juga. Saya butuh misi yang lebih kuat, luhur, dan berperasaan daripada itu.
Misi sekolah doktoral setelah ini akan jauh lebih besar, berbahaya, dan menantang, maka saya butuh motivasi yang jauh lebih besar dari diri saya sendiri. Lalu saya teringat pada rumah. Di komunitas kami yang sederhana, yang akarnya melayang-layang di seantero pulau Jawa, yang isinya orang-orang tanpa nama, petani-petani dan pekerja yang bahkan riwayat keluarganya sulit ditelusuri dua generasi ke belakang, saya tumbuh dengan banyak keistimewaan yang membuat saya menjadi diri saya hari ini. Motivasi yang lebih besar dari diri saya sendiri adalah hidup yang lebih baik untuk mereka, hidup yang makmur, bahagia, bijak, dan terhormat.
Bahasa Dunia bekerja lagi ketika saya mulai membaca buku-buku tentang cela pembangunan modern dan keadilan epistemologis. Demikian pula ketika saya mulai mendalami studi-studi sejarah lingkungan. Sejak akhir tahun 2022 Bahasa Dunia seperti mengajak saya bercakap intens lewat tugas-tugas di program-program rintisan Sejarah Lingkungan yang digagas UGM, yang mempertemukan saya dengan jagoan-jagoannya seperti Pak Gerry, Pak Islah, dan Mbak Laksmi. Cerita yang diberikan Bahasa Dunia semakin jelas dan runut. Untuk menjawab masalah tentang hidup yang bukan hanya makmur tetapi juga bahagia, bijak dan terhormat, saya butuh lebih dari sekedar sejarah ekonomi, saya butuh sejarah ekonomi lingkungan. Pertemuan dengan Wageningen yang cepat itu seperti hujan deras pertama di musim tanam, meski ditunggu-tunggu ia mengagetkan, tapi juga membahagiakan. Dari perkenalan ke mendapatkan LoA jaraknya hanya satu bulan dan satu meeting saja. Semakin saya membaca tulisan-tulisan calon-calon supervisor saya tentang sumbangan sejarah di ranah praktis untuk persoalan kesenjangan sosial, kemiskinan, dan krisis iklim jantung saya berdegup kencang. The Wageningen Plan terlihat seperti sesuatu yang saya cari setengah mati selama ini.
Ketika misi Wageningen berangkat dari misi pribadi untuk meningkatkan kualitas hidup orang kecil, di project Leiden, saya harus mengerjakan penelitian tentang para pembesar. Memang latar tempat dan periodenya familiar, tapi saya tidak menemukan motivasi yang cukup. Para pembesar selalu memiliki visibilitas tinggi dalam setiap tulisan sejarah, jadi sulit untuk memaksa hati saya melakukan lebih banyak untuk mereka meskipun project ini menjanjikan kesejahteraan yang jauh lebih baik. Di sisi lain, masih dua minggu sampai pengumuman LPDP keluar. Saya sudah dapat tempat di Leiden, sementara LPDP bisa saja tidak meloloskan saya lagi. Di depan saya hanya ada tembok. Karena tidak ada lagi yang bisa saya lakukan, saya menyerahkannya kepada Yang Memiliki Skenario.
Pada suatu pekerjaan meneliti arsip di kemudian hari, saya menemukan surat perjanjian kerjasama pertama antara Wageningen dan UGM yang bertanggal 20 Mei 1996, hari ketika saya lahir! Kalau memang tidak ada yang namanya kebetulan, maka ini jelas Bahasa Dunia. Sampai dengan hari pengumuman LPDP, surat resmi dari Leiden belum juga keluar. Sorenya, aplikasi LPDP saya diterima. Saya berhasil jadi awardee di percobaan kelima. Besoknya, undangan meeting dan pemberitahuan bahwa surat akan sampai dalam beberapa hari dari Leiden baru keluar. Di meeting keesokan harinya, keputusan saya sudah bulat, saya memilih LPDP Wageningen dan melepas Leiden, yang saya perjuangkan dua tahun belakangan. Sebuah perjalanan roller-coaster yang panjang dan menegangkan pun berakhir dengan timing yang betul-betul ajaib!
Kalau kita menginginkan sesuatu dengan begitu kuat, dengan motivasi yang jauh lebih besar daripada obsesi-obsesi pribadi, yang asalnya dari cinta dan kepedulian, kata Paulo Coelho alam semesta akan bekerja untuk kita, seperti gelas-gelas kristal itu bekerja untuk kesuksesan Santiago. Bahasa Dunia berbicara ketika everything feels so right.
Tentu feels right tidak sama dengan tanpa hambatan dan tantangan. Lagipula bagian penting dari mengejar impian adalah berserah diri. Bagaimanapun nanti, semoga saya selalu bisa mendengarkan hati.
Komentar
Posting Komentar