Postingan

Mati Syahid

Gambar
Ketika pertama kali aku dikenalkan pada konsep mati syahid, aku ingin mengakalinya. Aku pikir aku bisa bermalas-malasan sembahyang lalu ikut perang pada suatu hari ketika dewasa untuk bisa masuk surga. Besar sedikit, aku tidak percaya soal mati syahid. Aku mulai memahami konsekuensi dari perbuatan berdosa bagi diri sendiri dan orang lain, lalu tidak percaya semua itu bisa diampuni dengan begitu mudahnya. Besar sedikit lagi, aku kembali percaya. Aku menyaksikan perempuan-perempuan di sekitarku melahirkan, kesulitan, kesakitan, untuk sebuah kepentingan yang bukan miliknya sendiri. Untuk seorang manusia baru, untuk suaminya, untuk keluarganya, untuk suku dan umatnya. Belum lagi perjuangan membesarkan manusia baru itu. Aku perempuan, jadi aku bersimpati. Sepertinya adil kalau perjuangan semacam itu diganjar surga secara instan. Pergi berperang pun, sepertinya tidak semudah yang aku bayangkan.  Sekarang aku percaya Tuhan bahkan lebih pengasih lagi daripada itu. Kenapa perempuan tidak ta...

Cantik

When I was a kid, I dreamed of the day I would finally transform into a tall, slender woman like Minky Momo. But the truth is, my height barely increased since the sixth grade. When I turned 20, I thought, Is this it? Momo, you are a scam! Throughout my life, I have spoken to many women about beauty. Someone with an endearing smile hates the shape of her lips, and someone with beautiful legs despises the skin on her knees. Some wish they were born with lighter skin, while others battle persistent acne. Many of these self-resentments stem from class-mate teasings in middle school, while some of it originate from the very spaces they sought comfort in, forcing them to spend their lives proving they possess other qualities to compensate for their perceived lack of beauty. At one point, I was furious at whoever decided there should be a narrow definition of beauty—one that was far from inclusive. Yet, I eventually realized my anger was futile. Sure, I could blame the beauty industry and c...

A good cry

I need, not only want, but need, a good cry. One day, a senior told me -the occasion was a farewell lunch before I embarked on my current journey-,  find a partner, life will only get lonelier from now on, you need a friend . I need a good cry as I start to see it coming. As usual, at that time I was just chuckling. I never took this kind of stuff seriously, at least that is how I think it is seen to people. I keep denying, acting nonchalant and childish, bro-ing boys around me. In front of everyone, I refuse to grow up since I was 13, when romantic love first introducing itself to me in a horrifying form.  At that time, suddenly, out of nowhere, there was this powerful feeling that attached me to some boy so strongly, even if it only happened in my head. It tortured me physically and mentally with racing heartbeat, difficult breathing, stirring stomach, immense worry and awful pessimism whenever I catch a glimpse of that boy in a crowd. Yet, at the same tormenting situation, ...

aku bertemu seseorang yang menangis di kereta

Aku bertemu seseorang di kereta Ia mengenakan masker dan kacamata Awalnya ia duduk dengan tenang di bangku di sebrangku Tak seberapa lama, setelah kereta mulai sesak dan lepas berangkat dari stasiun ramai, ia mulai menyandarkan kepalanya ke kaca jendela.  Diantara orang orang, yang berjalin-jalin kisah hidupnya dalam setiap deru mesin kereta, aku melihatnya menangis Diantara keramaian yang sibuk sendiri, dia menangis Tidak ada suara, tidak ada peduli Orang kota sibuk pada kesedihannya sendiri-sendiri Begitu kereta melengang, mulai beranjak dari hiruk pikuk ke persawahan, aku bangkit dan bertanya padanya, "Kamu tidak apa apa?" Ia berdiri, tapi segera beranjak ke pintu seperti aku transparan. Ia lalu turun, dan di depan wanita tua yang menjemputnya, ia melepas masker lalu tertawa. Matanya yang sedikit sembab dilindungi redup matahari, dan redup pandangan senja wanita itu Jangan-jangan dia tidak pernah menangis Jadi aku mengarang cerita tentangnya

Keranjang Belanja Shopee

Tengah malam tanggal 9 bulan 9, keranjang belanjaku penuh Menolak untuk disesaki dengan lebih banyak pengharapan Masa depan yang bebas rancang Aku lalu memeriksa isinya, mau membuang yang tidak perlu Di dalamnya aku melihat diriku yang lama berjajar mengantri, memeluk masing masing satu barang Ada sebongkah hati untuk dermaga yang kukira akan jadi labuhanku, sudah tidak tersedia Ada kain untuk baju pesta, turun harga 19%, tetapi tidak ada mau buat pesta Ada plester luka, tetapi lukaku sudah cukup kering oleh angin Soalnya aku punya cukup ahli dalam bidang meredam hati

Pada langkah pertama keluar gerbong

Pada langkah pertama keluar gerbong hari itu, lamunanku akan nasib pecah. Pecahannya berserak-serak ditubruk lalu lalang orang yang riuh ramai di Senin pagi. Sudah ratusan kali aku melangkah keluar dari kendaraan-kendaraan yang membawaku pergi jauh dari rumah. Kebanyakan dalam keadaan sendiri. Ada kalanya aku menyangklong tas kain berisi beberapa kilo beras dan lauk-pauk kering dari rumah, ada kalanya aku menarik koper 30 kilogram dari conveyor bagasi, ada kalanya lenggang kangkung seperti orang kaya berbabu yang sedang tamasya.  Perjalanan-perjalanan itu ada yang dekat dan ada yang jauh. Lepas membubuhkan tanda titik barusan, aku berpikir lagi. Makna dekat dan jauh ini selalu berkejar-kejaran. Di umurku sekarang, belum ada nampak frekuensi berperjalananku akan berkurang. Jauhku hari ini akan semakin dekat pada kategori dekat.  Satu dua perjalanan traumatis, lima empat lucu dan sangat berkesan, lebih dari dua puluh membuatku menangis tersedu-sedu, sisanya campur-campur. Perjal...

Arsip

Aku membuka-buka tulisanku ketika remaja lalu takjub. Dengan begitu sedikit yang aku punya, dengan kamar-kamar pengap tanpa jendela tempatku meninta, dengan begitu terbatasnya buku yang pernah aku baca, aku menulis lembar-lembar yang masih bisa kunikmati hingga kini. Beberapa alurnya sudah aku lupa, seperti aku sudah melupakan luka-luka yang menginspirasiku untuk menciptakannya dulu, lalu aku merasa begitu terhibur, menebak-nebak dan terkejut-kejut sendiri seolah itu kisah orang lain. Kata-kata asing yang sepintas kudengar atau kubaca di tulisan orang, kurangkai dengan kalimat-kalimat berani. Negeri remaja itu negeri tanpa hukum, tetapi setiap orang hanya punya satu keinginan, keinginan masa kecil yang belum kenal nafsu dunia. Aku jadi khawatir, karena justru dengan semua tempat indah yang kukunjungi dalam pengembaraan hari-hari dewasaku ini, tulisanku kian kering. Dari taman-taman cantik, pondok-pondok syahdu, gedung-gedung tinggi yang menyuguhkan langit, meja-meja di depan jendela be...