Postingan

Mbah putriku mengajariku tentang hidup di hari beliau berpulang

Usia 20anku puitis sekali. Di awal dekade ini, waktu umurku baru 23 tahun, aku mengalami duka yang dalam untuk pertama kali. Sahabatku, di usia yang baru 22 tahun, tanpa aba-aba, hanya beberapa minggu setelah kami main UNO hingga larut malam, pergi begitu saja. Sekarang, di usia 29 tahun, aku mengalami duka dalam yang kedua, yang merupakan 180 derajat kebalikannya. Simbah putriku, ibu dari ibuku, meninggal di usia yang hampir 90 tahun, oleh kelemahan usia tua, di antara anak-anaknya yang sedang berkumpul yang selama beberapa tahun belakangan sangat setia mendampingi beliau. Ketika sahabatku meninggal, aku menangis meraung-raung tiga hari. Rasanya dadaku seperti diinjak gajah. Kepergiannya seperti petir di siang bolong. Aku harus melepasnya pergi dalam situasi siap menagih sesi mengobrol, bercanda, dan menggila untuk puluhan tahun kedepan. Oleh karena itu, aku kira perihal simbahku ini duka yang mudah, duka yang melegakan, duka yang mengakhiri sebuah maraton panjang, duka yang di dalamn...

Boro-boro

Aku dibuat untuk tidak cukup sabar menunggu refrain lagu Tidak cukup sabar untuk makan nasi dingin Tidak cukup sabar untuk makan dengan tangan tanpa tahu dimana bisa mencuci tangan Aku dibuat untuk tidak cukup sabar duduk dengan kecewa, marah, dan duka Semua yang buruk harus diusir secepatnya Cemilan gula, segar es, manis madu, dan adrenalin cabe datang dalam sejentikan jari Aku dibuat untuk tidak cukup sabar menunggu habis video 5 menit, Tidak cukup sabar menunggu untuk tidak makan makanan kesukaanku sebelum sampai di rumah Tidak cukup sabar untuk menabung sebelum membeli suatu yang kumau Tidak cukup sabar untuk mengkhayal dengan dayaku sendiri tanpa chatbot Boro-boro menunggumu Boro-boro menjadi tenang di malam yang tanpa akhir Boro-boro berdamai dengan kisah hidupku yang adalah milik-Nya Hidup hari ini membuatku merindukan ketidaknyamanan Apakah aku juga akan rindu ketidaknyamanan ini setelah menemukanmu? Kalau kau sudah mau tiba Jangan lupa oleh-olehiku Segenggam syukur

Summer reflection

Aku mau menulis tentang suatu hari di mana aku menyadari tengah hidup dalam alam yang kuimpikan semasa remaja. Aku bekerja sebagai peneliti di sebuah institusi bagus, mengerjakan proyek yang kudesain sendiri. Jika peneliti doktoral lain banyak memusingkan kemerdekaan berpikir karena bekerja sebagai karyawan di bawah proyek induk dengan agenda tertentu, aku tidak. Aku merdeka karena memiliki funding sendiri. Funding yang kuamankan setelah tiga tahun bertubi-tubi dihadang berbagai kegagalan.  Kegagalan-kegagalan itu datang setelah aku selesai kuliah master yang hingga pada saat itu merupakan gunung tertinggi yang pernah kutaklukan. Mungkin aku begitu sombong hingga perlu waktu tiga tahun penuh kekalahan itu untuk membumikan dan melembutkanku.  Atau mungkin sebenarnya aku tidak begitu sombong karena tiga tahun itu tidak melulu soal kegagalan. Aku tidak hapal semua kegagalanku tapi aku ingat perasaannya. Perasaan sesak ketika terus-terusan dicegat jalan buntu. Sehingga itulah yang...

Unlearning American Dreams

Oh days to come, will there be something intense but brief like war-time romances, or something quiet, nearly mundane, comforting yet overlooked, like those of our parents, perhaps something deep and lasting, like in fairy tales we no longer believe, or just a momentary flicker, one more fitting for hearts too tired to hope for more like ours, or nothing at all? does man receive all that he longs for? the answer is no. plain and certain, shattering but steady something to hold on to through storms because to Him belongs this life and the Hereafter

Wawancara dengan Meck

Kalau nanti aku bertemu Naoya, di mana kami akan bertemu? Dia orang yang membaca tulisanku, tapi terlepas dari nilai kasat mata tulisan tersebut, ia tersentuh karena aku menaruh hatiku di sana. Kami mungkin akan bertemu di sekitar lingkungan kerja, konferensi, atau ruang profesional lain. Kami sepertinya orang yang menghabiskan banyak masa muda kami untuk bekerja.  Bagaimana kau mengenali itu Naoya? Dia membuatku merasa istimewa secara tulus, tanpa aku menulis buku atau mendapat gelar. Dia tidak akan memujiku karena keren, tapi dia kagum terhadap caraku menjalani hidup. Apa yang akan berubah dari dirimu kalau kau bertemu Naoya? Aku akan merasa aman. Aku akan menghabiskan banyak waktu bersandar padanya. Ia orang yang selalu mengingatkanku untuk berhenti ketika lelah, meniup lukaku, memuji kegagalanku, memeluk dan membesarkan jiwaku. Sejak bersamanya, aku mencoba banyak hal karena aku tidak lagi takut gagal. Aku tidak menjadi hebat di semua hal yang kucoba. Banyak diantaranya yang ku...

to be kind to ourselves

Bagaimana caranya menjadi baik pada diri sendiri adalah pertanyaan yang sering mengganggu belakangan ini. Saya sadar selama ini saya kurang begitu baik. Saya menghabiskan banyak waktu hidup untuk orang lain, bekerja keras untuk tidak mengecewakan orang lain. Itu membuat saya mengharamkan kegagalan dan membenci diri sendiri ketika terpaksa menemui kegagalan. No victory means no love. Meskipun mungkin itu benar untuk orang-orang yang kepentingannya hanya sebatas pekerjaan itu dengan diri kita, hidup tidak bisa berjalan dengan cara seperti ini. Di saat-saat rapuh itu kita paling butuh kasih dan dengan pemahaman yang tidak begitu 'kind' pada diri sendiri seperti sebelumnya, saya selalu gagal mengasihi diri saya dalam momen-momen rendah.  Otak saya kemudian berputar sederhana, apakah berarti to be kind to ourselves adalah dengan hidup sesuka kita? Jika rajin dan gigih untuk orang lain tidak baik maka apakah kita boleh bermalas-malasan? Jujur ini sempat saya gunakan sebagai alasan un...

Fiksi

 "Padahal kalau nggak sholat, jiwa meraung-raung kesakitan." Katanya suatu hari ketika kami berjalan di trotoar yang rindang tapi bolong-bolong di Jakarta. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menemukan seorang yang demikian tergapai sekaligus demikian memukau. Ia memandang agama dan dunia dengan cara yang aku suka. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa dihakimi oleh pengetahuan agama orang lain, atau terpaksa menjadi orang lain untuk membaur di kelompok yang menganggap kepatuhan pada agama tidak keren. Ia menerjemahkannya dengan sangat piawai dalam bahasa-bahasa rasa sakit dan beban hidup. Agama, lebih daripada kewajiban, adalah pertolongan. Begitu kira-kira aku jatuh hati siang itu. Di momen singkat yang berakhir tragis itu, aku sudah memulai sebuah bab spiritualitas yang baru. Aku meninggalkan kebiasaan burukku dan aku bersimpuh lebih lama setelah sembahyang untuk merapal segala syukurku. Hanya saja, dalam doaku yang agak lebih panjang dari biasanya itu, entah mengap...