Mbah putriku mengajariku tentang hidup di hari beliau berpulang

Usia 20anku puitis sekali. Di awal dekade ini, waktu umurku baru 23 tahun, aku mengalami duka yang dalam untuk pertama kali. Sahabatku, di usia yang baru 22 tahun, tanpa aba-aba, hanya beberapa minggu setelah kami main UNO hingga larut malam, pergi begitu saja. Sekarang, di usia 29 tahun, aku mengalami duka dalam yang kedua, yang merupakan 180 derajat kebalikannya. Simbah putriku, ibu dari ibuku, meninggal di usia yang hampir 90 tahun, oleh kelemahan usia tua, di antara anak-anaknya yang sedang berkumpul yang selama beberapa tahun belakangan sangat setia mendampingi beliau. Ketika sahabatku meninggal, aku menangis meraung-raung tiga hari. Rasanya dadaku seperti diinjak gajah. Kepergiannya seperti petir di siang bolong. Aku harus melepasnya pergi dalam situasi siap menagih sesi mengobrol, bercanda, dan menggila untuk puluhan tahun kedepan. Oleh karena itu, aku kira perihal simbahku ini duka yang mudah, duka yang melegakan, duka yang mengakhiri sebuah maraton panjang, duka yang di dalamnya orang akan bilang “beliau sudah nggak sakit lagi.” Tapi aku salah, tidak pernah dan tidak akan pernah ada duka yang mudah.

Waktu mbah kakungku meninggal ketika aku kelas 1 SMA, aku masih mengalami duka secara tidak langsung. Aku mengalami adegan legendaris yang sering diceritkan di sesi muhasabah sekolah: dijemput oleh sepupuku di siang hari, ketika aku sedang diam diam memakan bekalku di bangku belakang di tengah pelajaran, dengan alasan yang tidak seorang guru pun berani menjelaskannya padaku. Cuma remasan lemah di pundak yang rasanya tidak pantas kuterima. Aku tenang saja. Masih sempat membereskan kotak bekal yang setengah habis di loker meja. Aku bisa menebak itu soal apa, dan aku tertegun ketika menyadari aku sedang mengalami adegan epik muhasabah sekolah, tapi aku tidak berduka, sampai aku melihat ibuku menangis di rumah lalu duka itu menular. Waktu itu aku sedih karena aku membuat pengalamanku dan pengalaman ibuku menjadi sandwich lalu melahapnya. Kehilangan orang tua adalah hal yang paling aku takutkan, dan waktu itu aku sedih karena adalah ibuku sendiri yang mengalaminya.

Mbah putriku adalah kasus yang berbeda. Ketika aku masih tinggal dengan orang tuaku, hubungan kami lebih merupakan hubungan yang berperantara. Tapi aku mulai punya hubungan yang eksklusif dengan beliau ketika aku mulai kuliah di Jogja. Untuk pertama kalinya, jarak antara orang tuaku dengan mbah putriku lebih jauh daripada jarakku dengannya. Ibuku mulai mendorongku untuk bertindak sebagaimana orang dewasa yang berinisiatif merawat hubungan dengan orang-orang tua di keluarga. Aku mulai memberanikan diri mengunjunginya meski dihadapkan pada kekhawatiran perbedaan bahasa dan kehabisan bahan obrolan. Aku menghabiskan minggu tenang semester pertama kuliahku di rumah Mbah Putri. Di sela obrolan-obrolan sederhana dan seringkali sekedar keheningan yang kubagi dengan beliau, aku menelurkan tiga makalah yang memberiku tiga nilai A.

Setelah itu, aku mulai nyaman mengunjungi beliau. Mulai lebih banyak dari akhir pekanku yang kumulai dengan mencegat bus kota ke arah Ringroad Wonosari di dekat Mirota Kampus. Kenyamanan itu muncul karena aku mulai sadar kalau kasih tidak hanya bisa tercurah lewat bahasa. Saat-saat yang kukira hening adalah saat yang ternyata begitu kaya oleh ekspresi kasih: cangkir teh yang tidak pernah kosong, uang ribu-ribuan yang dikepalkan ke tanganku tiap aku pamit kembali ke Jogja, kelihaiannya menavigasi rumah besar dan berbagai hewan peliharaan yang sudah seperti perpanjangan anggota tubuhnya sendiri, dan yang paling menjadi favoritku, kepercayaan yang diberikan kepadaku untuk menghandle suatu perkara dalam semesta yang beliau kuasai itu.

Suatu hari, beliau menyuruhku memasak sambel terong dan ikan pindang dan beliau bilang hasilnya enak. Mungkin aku tidak punya kepercayaan diri dalam memasak yang seperti sekarang kalau tanpa kunjungan-kunjunganku ke beliau di masa-masa kuliah di Jogja itu. Tanpa kusadari, ketika aku pulang ke Cikarang, ibuku mulai menyadari rasa masakanku mengingatkannya pada masakan ibunya. Yang akan kugenggam hingga aku mati: ayam goreng kampung manis serta tiwul goreng dan sambel bawang yang cabainya tidak dihilangkan tangkainya. Tanpa kusadari syarafku mulai menganggap beliau sebagai rumah yang lain. Aku akan sulit lupa saat-saat ketika aku mulai bisa bercanda dengan beliau. Aku datang tanpa mengabari lalu ketika aku datang muka beliau akan sumringah sambil menyeru, “Sopo kui? Yoan?”

Hal lain yang membuat duka ini lebih berat daripada kelihatannya adalah bagaimana hari ini, mbah putriku sayang mengajariku tentang betapa hidup adalah aliran yang bermuara pada sang pencipta. Baru beberapa waktu aku ketemu puisi Kahlil Gibran yang berjudul On Children. Puisi itu ajaib betul. Kalau Peradaban Barat butuh tulisan bervolume-volume untuk merubah pandangan orang, Kahlil Gibran cuma butuh empat kalimat:

Your children are not your children.
They are the sons and daughters of Life’s longing for itself.
They come through you but not from you,
And though they are with you yet they belong not to you

Anjing sih. Sebagai catatan aku menggunakan kata anjing untuk membahasakan semua ledakan emosi, baik maupun buruk.

Orang-orang di sekitarku banyak yang memahami hidup dalam bahasa karma. Yang menanam buruk akan menuai buruk, pun yang menanam baik akan menuai baik. Terlihat seperti sesuatu yang cyclic dan balas-membalas daripada aliran seperti yang diungkapkan Gibran kan? Sangat Jawa. Bahkan Islam pun diterjemahkan dengan nuansa seperti ini. Hanya saja, dalam bentuk sinkretis Islam dan Jawa itu arena pembalasannya meluas ke akhirat. Dunia dan akhirat dipahami sebagai menanam dan menuai.

Tapi pemahaman ini tidak mampu menjelaskan betapa rapuhnya kuasa kita sebagai manusia, bahkan terhadap diri kita sendiri. Juga tidak mampu menjelaskan sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang memberi dan memberi betapapun kita lalai dan salah. Dari sejarah hidup para pendahuluku ini, aku mempelajari bagaimana di masa tua mereka banyak menyesali kurangnya apapun mereka berikan ke orang-orang terdekatnya, bahkan ketika bahasa utama mereka adalah bahasa kasih. Kita tentu ingin memberikan yang terbaik, tapi situasi tidak selalu mengizinkan, sehingga kadang, di tengah banyaknya tekanan hidup, pilihan yang ada bukan menjadi penyayang atau menjadi pemarah, tapi marah dengan pukulan atau marah dengan kata-kata. Dari sudut pandang hari ini, aku melihat para mbah-mbahku ini sebagai manusia biasa yang kadang mungkin tergelincir untuk melakukan-melakukan kekurangan yang mereka sesali di kemudian hari, tapi daripada mempercayai bahwa mereka akan dihukum atas kekurangan-kekurangan itu, aku memilih percaya bahwa Tuhan yang pada akhirnya akan membayar lunas penyesalan-penyesalan itu.

Dulu ketika Mbah Kakungku sakit, Mbah Putriku menjadi penopang hidupnya selama bertahun-tahun. Ketika berempati pada kisah hidup mereka yang bersama selama puluhan tahun, dengan pasang dan surutnya, tentu kita bisa paham bahwa di masa-masa lemah itu mbah kakungku merasakan penyesalan kuat terhadap saat-saat surut mereka. Tetapi sebelum berpulang beliau mengatakan hal yang menurutku sangat Islami. Beliau bilang, Mbah Putriku selepas kepergiannya akan hidup dengan lebih baik dan merasakan semua yang enak-enak di dunia. Dan betulan, Mbah Putriku di usia senjanya adalah nenek-nenek paling adventurous yang pernah kukenal langsung. Lepas kepergian Mbah Kakung, beliau mengizinkan dirinya menjadi playful, mandiri, dan berkeinginan kuat. Beliau menerima handphone meskipun Cuma bisa mengangkat telpon, beliau pergi ke bank sendiri untuk mencairkan kiriman dari anak-anaknya, beliau juga hobi jalan-jalan. Ketika aku pulang dari Belanda untuk pertama kali, beliau dengan antusias mengorganisir sebuah piknik siang ke Wono Sumilir. Di hari yang hanya sekitar 4 tahun lalu itu, beliau masih gagah mendaki bukit. Mbah Kakungku di akhir usianya menyadari bahwa kesenangan hidup yang ia tidak bisa berikan sepanjang hidupnya bukan sebagai hal yang menghukumnya dengan perasaan bersalah, tetapi sesuatu yang akan dipenuhi Tuhan untuk Mbah Putriku. Harapannya mengalir melampaui usianya, mengantar Mbah Putriku hingga meninggal seperti yang diinginkannya: di rumahnya dan dikelilingi oleh anak-anaknya.

Hidup juga mengalir seperti air jika aku melihat hubungan Mbah Putriku dengan Ibuku. Masa lalu mereka bukan masa lalu yang mudah. Tidak ada anak yang lahir tidak sayang pada orang tuanya,  maka ibuku adalah anak yang begitu setia, tetapi dulu hati beliau susah dimenangkan. Mungkin tekanan ekonomi, mungkin trauma yang lebih berat lagi yang Mbah Putriku bawa dari lahir dan tumbuh di masa perang, yang jelas di masa tua, di masa-masa aku sering mengunjunginya semasa kuliah itu, beliau sering memuji-muji ibuku. Sampai sekarang ibuku orang yang sulit menerima pujian dan menganggap kerja keras yang menguras jiwa raga adalah bare-minimum tapi bahkan sebelum aku dengar sendiri Mbah Putriku memuji-muji beliau, aku merasa adalah tugasku, bapakku, dan adikku untuk mengingatkan Ibuku bahwa hidup bisa jauh lebih lembut daripada yang beliau kira. Sepertinya kami adalah perantara Tuhan untuk menjadi perpanjangan doa Mbah Putriku untuk Ibuku.

Dari sebuah pengajian yang berkesan dari Mikaeel Ahmed Smith, aku belajar bahwa di sebuah hadist dijelaskan kalau yang membuat kita masuk surga bukan akumulasi amal baik kita. Surga adalah hadiah Tuhan, setinggi-tingginya raihan, maka sebaik apapun kita semasa hidup, akumulasi amal baik itu tidak akan cukup untuk menebus tiket menuju surga. Yang membuat kita masuk ke sana adalah kemurahan Tuhan. Jika kita fokus pada bobot amal baik dan buruk, kita akan menjadi defensif dan perhitungan, bahkan mungkin menjadi kikir terhadap amal baik dan kapling-kaplingan arena mendulang pahala dengan sesama manusia. Entah bagaimana mekanismenya, tapi bagiku pelajaran baru ini menerangi jalan baru yang dibuka oleh puisi Kahlil Gibran tadi, bahwa waktu adalah aliran menuju kepadaNya yang Tuhan janji akan berkahi dan cukupi. Setiap aku kehilangan orang yang kusayang, aku tidak bisa mengasosiasikan mereka dengan kata dosa. Aku selau percaya mereka akan masuk surga.

Selamat melanjutkan perjalanan, Mbah. Aku sayang Mbah.

14 September 2025

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What happened to the glory of being number one?

A good cry

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya