Summer reflection

Aku mau menulis tentang suatu hari di mana aku menyadari tengah hidup dalam alam yang kuimpikan semasa remaja. Aku bekerja sebagai peneliti di sebuah institusi bagus, mengerjakan proyek yang kudesain sendiri. Jika peneliti doktoral lain banyak memusingkan kemerdekaan berpikir karena bekerja sebagai karyawan di bawah proyek induk dengan agenda tertentu, aku tidak. Aku merdeka karena memiliki funding sendiri. Funding yang kuamankan setelah tiga tahun bertubi-tubi dihadang berbagai kegagalan. 

Kegagalan-kegagalan itu datang setelah aku selesai kuliah master yang hingga pada saat itu merupakan gunung tertinggi yang pernah kutaklukan. Mungkin aku begitu sombong hingga perlu waktu tiga tahun penuh kekalahan itu untuk membumikan dan melembutkanku. 

Atau mungkin sebenarnya aku tidak begitu sombong karena tiga tahun itu tidak melulu soal kegagalan. Aku tidak hapal semua kegagalanku tapi aku ingat perasaannya. Perasaan sesak ketika terus-terusan dicegat jalan buntu. Sehingga itulah yang paling membekas dari tiga tahunku. Tetapi selama itu pula, aku mendapat banyak berkah. Pada tahun-tahun tersebut, aku belajar untuk semakin tidak terburu-buru. Aku menikmati hidup sebagai diri yang baru, yang lebih tidak penakut, yang lebih asertif, yang lebih tenang, yang lebih bertanggung jawab, yang lebih bisa bernegosiasi, dan yang lebih bisa berempati. Pada tiga tahun itu, ada banyak hal yang tahu-tahu fall into places meskipun tidak kukejar. Dalam setiap kegagalan, ada tawaran proyek yang selalu bisa menyambung hidup. Lalu dalam kesepian, kecarut-marutan, dan perasaan rendah diri, aku selalu punya rumah untuk pulang. Di masa-masa itu, aku mengunjungi dan mencoba mengenali lebih dalam lagi masa laluku. Selama setahun belakangan ketika aku kembali tinggal sendiri dan terombang ambing, aku banyak diselamatkan oleh jangkar-jangkar yang kutancapkan pada masa laluku selama tiga tahun itu.

Kalau lihat hidupku sekarang, mudah sekali cerita ini diframe jadi sengsara membawa nikmat. Sekarang aku sudah mendapat pekerjaan yang selama tiga tahun kukejar-kejar itu. Aku sewa rumah sendiri dengan dapur komplit yang rasanya sudah seperti perpanjangan tanganku sendiri. Rumah ini rumah self-contained pertamaku. Apalagi, aku menyewanya dalam keadaan kosong, jadi semua di dalamnya benar-benar kurancang dan kupasang sendiri. Pun begitu, ketika waktu kerja begitu menyenangkan, waktu-waktu setelah bekerja jadi dingin sekali. Aku tidak ingat perasaan terhadap kerja dan pulang kerja bisa seterbalik ini.

Anehnya lagi, aku tidak rindu rumah. Aku tidak ingin lari pulang seperti dulu. Ada perubahan di mana aku mulai merasa rumahku sekarang sebagai rumahku lebih dari pada rumah orang tuaku. Nyamannya tempat ini tidak tertandingi, tapi aku masih merasa gelisah dan tidak aman. Aku rindu, tapi lebih merupakan rindu pada masa lalu. Aku rindu pada orang-orang yang tersebar-sebar di penjuru bumi. Aku khawatir pada semuanya, pada orang tuaku, pada saudaraku, padaku sendiri, pada masa depanku, pada hari esok sekalian umat manusia. Aku lelah dari bertarung dengan setan-setanku sendiri daripada lelah bekerja. Aku tidak lagi bekerja untuk menyenangkan orang lain tapi aku belum tahu caranya membahagiakan diriku sendiri. 

Aku menulis tulisan yang acak-acakan ini sembari menatap matahari musim panas yang melimpah pada suatu sore yang hangat dan berangin lembut, dari jendela kamarku yang besar-besar. Aku selalu suka jendela, tapi dulu aku pernah bersabar dengan kamar tanpa jendela bertahun-tahun. Selama itu, aku berharap rumahku suatu saat punya jendela yang besar-besar. Sejak 2019, aku selalu dapat tempat tinggal dengan jendela besar, bahkan ketika aku menghabiskan sekitar dua tahunan kembali ke rumah kosku yang lama di Jogja, aku dapat kamar dengan jendela paling besar!

Aku berangkat naik sepeda yang sangat keren. Warnanya biru, canggih, kuat, dan tomboy. Saban hari aku berangkat ke kantor dengan headset besar di kepala yang melantunkan lagu apa saja sekehendak hatiku. Perjalanan sepedaku cukup sepuluh menit dengan parkir. Dua lagu saja seperti sepaket perjalanan odong-odong seharga dua ribu rupiah. Aku punya gorden renda dibalik gorden blackout yang relnya proper dan kokoh, set gorden yang juga pernah kusholawati di ikea beberapa tahun yang lalu. Kamarku di lantai dasar, sehingga punya teras kecil tempat aku menaruh kursi malas untuk melihat bintang dan matahari terbenam dibalik kincir angin. Di musim semi, semak-semak tak aturan yang ada di depan jendela kamarku ternyata full berbunga kuning selama sekitar dua minggu. Pedesaan ini hanya berjarak beberapa ratus meter dari padang rumput gembala sapi dan kambing, kebun apel, sungai Rhine, dan kebun raya. Sejak sampai Eropa lagi setahun lalu, aku sudah ke Paris dan ke Austria. Beberapa bulan ke depan aku akan ke Swedia, Denmark, dan Spanyol. Kalau aku cerita kondisiku sekarang pada diriku ketika SMP, dia pasti menangis bahagia.

Aku penasaran, jika ada diriku dari beberapa puluh tahun kedepan, akankah ceritanya juga membuatku menangis bahagia? Apakah kesepian dan kegelisahan yang menyayat-nyayat hati menjelang tidur itu akan terjawab dengan berkah besok hari? Tuhan selalu baik, selalu menyelamatkanku dengan cara-cara yang baru kupahami di kemudian hari, selalu mengabulkan keinginan-keinginanku bahkan yang terkecil sekalipun, selalu menjaga orang-orang yang kusayangi, tapi kenapa aku selalu ketakutan. 

Sekarang hidupku rasanya seperti berlubang. Ada ruang kosong besar yang kutunggu-tunggu untuk terisi. Ruang gelisah itu sudah kucoba tutup dengan kerja, dengan berbagai macam sukacita duniawi, dengan hal-hal yang asli dan palsu, tapi masih saja menganga. Kadang aku tersesat didalamnya hanya untuk dirundung rasa sedih. Ingin aku berjalan di hutan ketika musim panas begini, ingin aku menjelajah Afrika Utara dan Eropa Timur,  atau berjalan di tepi pantai di senja musim panas yang hampir tengah malam, tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri. Kadang aku ingin ada orang lain yang memujiku tanpa membuatku segan atau curiga. Ia orang yang paham perjuanganku seperti diriku sendiri, lalu bilang "wow, that's cool. I admire you. Aren't you tired after all those? Let's rest a little." Apakah itu harusnya orang lain, atau diriku sendiri?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

What happened to the glory of being number one?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

A good cry