what if I re-do an episode of my past with my current self #1
Dapat Ranking 1
Dulu ada seorang teman yang awalnya selalu dapat ranking 1, tapi tidak lagi setelah kelas tiga. Dulu aku cuma paham satu narasi, yaitu bahwa guru kelas 1 dan 2 taking an easy way untuk menjadikannya ranking 1 karena ia adalah seorang sosok anak pintar yang sulit diragukan. Ia memang berasal dari keluarga terpandang di wilayah tersebut, kedua orang tuanya pendidik dan semua keluarganya level pendidikannya tinggi. Tapi selain itu, ketika aku mengenal ia tanpa bungkusnya di keseharian, ia anak yang disiplin, rajin, dan berusaha keras. Sekarang aku tahu bahwa menilai murid, apalagi mengurutkan kemampuan intelektualitasnya dalam ranking sebenarnya sesuatu yang licin, berbahaya, dan tidak seharusnya dilakukan. Mungkin ada favouritism, tapi di hati kecilku sendiri, sejak dulu, aku menolak untuk mempercayai itu sepenuhnya. Mungkin itu terjadi diantara orang tuanya dan guru kami, tapi tidak pernah terjadi di antara kami.
Hanya saja, suatu hari di kelas tiga, ketika guru kelas kami yang guru baru di sekolah itu bertanya dari apa gula dibuat, tiba-tiba hobi menonton TV ku bermanfaat. Aku bilang gula dari tebu, rupa-rupanya di kelas itu hanya aku yang tahu.
Sejak itu, aku menemukan kekuatan baru, aku bersemangat belajar. Belajar tidak lagi seperti beban, seperti tuntutan bergandeng-gandeng untuk perform meskipun menyesakkan. Aku ingat, sebelum itu, di kelas satu dan dua, aku muak sekali dengan menyalin, menulis tegak bersambung, dan mewarnai tanpa keluar garis. Aku suka membuat koneksi di kepalaku dan mengaitkan pelajaran sekolah dengan apa yang kupelajari soal dunia dari kejadian di sekelilingku dan siaran televisi. Sejak itu, pelajaran semakin menantang secara intelektual, tidak ada lagi hapal menghapal atau salin menyalin yang repetitif. Mungkin, bukan guru kelas tigaku yang lebih tidak pilih kasih dibanding guru-guru lain yang tahu siapa temanku dan latar belakangnya, mungkin aku yang menemukan momentum di kelas tiga. Mungkin aku tidak pernah ranking satu sebelumnya karena aku seorang impulsif yang meledak-ledak, sementara dia adalah anak yang luar biasa tenang dan disiplin untuk usia itu. Kompetensi yang dikembangkan di kelas satu dan dua cocok dengan karakternya, lalu baru di kelas tiga aku menemukan kecocokanku.
Kalau dilihat lagi, cerita kami hari ini menjadikan pemahaman baru ini masuk akal. Temanku itu sekarang sedang menempuh pendidikan spesialis anak. Itu cita-cita yang ia serukan sejak aku mengenalnya. Sementara itu, aku sekolah s3 sejarah di suatu tempat jauh ketika belum terafiliasi sebagai dosen di universitas manapun. Sejak dulu hobinya membaca sementara aku suka menonton TV dan menggambar tanpa diwarnai. Ia mungkin tidak sanggup hidup sepertiku, bekerja serabutan, menghabiskan 3 tahun untuk mencari beasiswa, terlempar ke negeri yang jauh tanpa tahu sepulang nanti akan kerja apa. Aku pun tidak akan sanggup rasanya menjalani hidup sebagai sebuah rencana panjang yang presisi. Seperti menyalin huruf b selembar penuh buku tulis, rasanya menyesakkan untukku, meskipun masa depan jadi dokter spesialis pasti jauh lebih aman dan mapan dibanding jadi doktor sejarah. Tapi ia hidup dengan konsistensi dan ketekunannya, sementara aku hidup dengan empati dan kreativitas. Aku rasa kami sama-sama menjalani hidup yang baik.
Kalau aku kembali ke momen ketika aku ranking satu lagi, aku akan mengajaknya main, juga teman-teman lain. Biar piala kami dipegang oleh orang tua kami. Aku sering merasa tidak enak hati dulu kalau harus menghadapi teman-teman lain setelah aku dapat piala. Mereka tumbuh dengan kemampuan menerima kalau mereka tidak selalu menang dalam hidup dan kekalahan harus dilupakan karena hidup harus terus berlanjut. Aku baru belajar kemampuan ini bertahun-tahun setelahnya. Manusia tidak boleh diurutkan seperti itu. Harusnya mungkin ranking nilai tidak boleh dirayakan sebesar itu.
Komentar
Posting Komentar