Naoya
Itu nama laki-laki yang duduk di seberang mejaku. Kontur wajahnya sekarang lebih tegas daripada yang dulu, membuatku sadar kalau ternyata ia punya tulang pipi yang cukup menonjol dan lesung pipit yang dalam meskipun yang terakhir agak jarang terlihat karena ia memang bukan orang yang murah senyum. Ia jadi lebih tinggi dan bahunya lebih lebar. Sekarang, jika duduk begini, mataku harus sedikit mendongak untuk menatap matanya. Tapi yang aku sukai, raut wajahnya tidak lagi penuh ragu. Dahinya tidak banyak mengernyit. Dari kedua alisnya yang terpisah dengan santai, ia terlihat seperti orang yang hidup dengan berani. Sepertinya 5 tahun memang waktu yang cukup lama.
Ini kali keduanya ia mengunjungiku ke Paris. Kali kedua pula ia kuajak makan di Pho 13 di Choisy setelah jalan-jalan di Jardin de Luxembourg. Makanannya enak dan murah. Seorang pramusaji yang mengenaliku tersenyum bermakna ketika melihat aku yang biasa datang sendiri atau bersama rombongan datang dengan Naoya. Kami pesan dua mangkuk pho komplit dan sepiring lumpia ayam untuk berbagi. Ketika aku asyik mengunyah rerumputan vietnam yang disediakan sebagai side dish, aku memergokinya memperhatikanku dengan sorot mata jenaka.
"Apa?"
"Puncak konsentrasimu sepertinya masih ketika makan. Kau bahkan melepas kacamatamu."
Aku ikut tertawa, "Memang ini momen sakral. Aku sedang berkomunikasi dengan nenek moyangku. Mereka juga makan daun-daunan mentah seperti ini."
"Meck, kau menahan diri?", sorot mata jenakanya berlanjut saat tiba-tiba dia datang muncul dengan pertanyaan aneh.
"Menahan diri?"
"Seperti berhemat, menabung, menahan untuk tidak menghabiskan terlalu banyak uang untuk hal yang kau inginkan?"
"Hm, menarik," jawabku sepatah. Ini mengingatkanku pada saat-saat kami mengobrol sepulang sekolah dulu. "Menurutku aku bukan orang yang hemat. Aku tidak suka menyiksa diri untuk menabung. Tapi aku juga tidak suka tidak punya kontrol atas diriku sendiri. Kenapa tiba-tiba bahas ini?"
"Cuma penasaran. Kau kan bisa dibilang sudah bekerja full-time karena beasiswamu full. Aku belum tahu rasanya seperti apa untuk secara penuh hidup dari uangku sendiri, to have an adult money. Aku kira orang-orang yang sudah bekerja akan lebih toleran soal self-restraint. Semacam, aku sudah selalu menahan diri ketika aku masih bergantung pada orang tuaku, biarkan aku menikmati hasil kerja kerasku sendiri sekarang. Tapi tadi kau bilang kau suka pho ini karena murah dan enak. Murahnya disebut lebih dulu."
Aku tidak bisa menahan untuk tidak tertawa lagi. "Apa maksudmu? Kau juga bekerja keras."
"Still, you know, I still feel like I am in debt. Mungkin itu motivasi utamaku saat ini, bukannya untuk kebahagiaanku sendiri."
"Tidak bisa kupungkiri, adult money itu liberating. Tapi kurasa kerja keras selama kita menjadi anak yang menggunakan sponsor orang tua dengan bertanggung jawab itulah yang membentuk kita jadi manusia yang seperti apa. Aku bukan orang yang hemat, tapi aku juga merasa bersalah pada diriku sendiri kalau terlalu boros. Untuk soal hemat-menghemat, aku punya prioritas. Hal yang tidak bisa kukorbankan pertama adalah makanan dan kenyamanan tempat tinggal. Aku tidak mau makan makanan tidak enak dan tinggal di tempat yang jelek. Oleh karena itu, sebagian besar resource kularikan ke sana. Meskipun begitu, karena aku punya perhatian tinggi terhadap dua aspek ini, aku juga menikmati cara berhemat soal dua ini, tanpa mengorbankan kualitas yang kunikmati. Misalnya dengan memasak dan DIY. Untuk yang lain, pakaian, alat-alat teknologi, traveling, atau hiburan pada umumnya aku cukup hemat. Aku tidak keberatan untuk menjadi sangat sederhana di bidang-bidang itu. Sepertinya aku cukup pelit terhadap diri sendiri ya? Tapi ada kebanggaan di situ, kau tahu?
Wajahnya matanya berbinar ketika ia menyimak ocehanku. Lesung pipitnya menjadi dalam ketika bertemu dengan garis senyumnya.
"Kau terdengar seperti orang yang sudah 30 tahun bekerja. Itu mengesankan."
"Hey, aku cuma terbiasa hidup sederhana tapi juga ingin menikmati hidup!" Kataku setelah mengunyah dan menelan sebutir bakso. "Kau sendiri bagaimana? One of 7 deadly sins-mu apa?"
"Itu berbeda. Indulgence-mu pada makanan enak dan tempat tinggal nyaman bukan glutonny."
"Sama saja, glutonny dan sloth."
"Tapi kita kan cuma membicarakan cara menghabiskan uang."
"Boleh kutebak?"
"Silakan."
"Pride?" lalu tawanya meledak.
"Kalau deadly sins, mungkin pride dan wrath. Tapi kalau soal menghabiskan uang, aku tidak tahu caranya menikmati hidup sebagaimana dirimu. Banyak dari kepuasanku yang datangnya dari asal menahan diri dan menjadi patuh. Kadang aku makan enak, tapi tidak pun tidak masalah. Kadang aku beli baju bagus, dan menginginkan hal-hal mahal, tapi tidak pun juga tidak masalah. Aku perlu banyak belajar soal menikmati hidup, ya?"
Aku agak tertegun ketika dia dengan ringannya membuka kartu soal pride dan wrath. Aku ingin bertanya bagaimana mungkin dia mengasosiasikan diri dengan wrath? Dia salah satu orang paling tenang yang kutahu ketika SMA. Tapi aku terlalu ragu untuk bertanya. Mungkin ini akan melewati batas. Tanpa kusadari kalimat-kalimatnya yang berikutnya berlalu tanpa bisa kusimak betul.
Kami terus mengobrol lama hingga kuah pho kami yang tersisa dingin. Begitu meninggalkan warung pho, kami terus berjalan hingga ke pangkalan bus yang akan Naoya naiki untuk kembali pulang ke Heidelberg di Bercy Seine. Ia melarangku ikut hingga ke Bercy Seine karena di sana sepi dan gelap malam hari begini. Kami akhirnya berpisah di stasiun metro terdekat. Ia turun mengantarku hingga ke gate.
Ketika kami menuruni tangga stasiun metro paris yang usang itu, aku tidak bisa menahan diri.
"Naoya, boleh aku bertanya?"
"Tentu."
"Kalau terlalu personal, tidak usah dijawab."
Ia tersenyum mengangguk.
"Kenapa wrath? Maksudku, kau terlihat seperti orang yang sangat tenang sejak dulu, kenapa wrath? Aku jauh lebih mudah meledak-ledak. Kalau kau juga punya wrath mungkin aku punya glutonny, sloth, wrath, dan... lust. Well, kita orang dewasa sekarang." Aku gugup setengah mati. Begitu mulutku mengatup aku mengumpat dalam hati kenapa aku malah ngelantur kemana-mana.
Tapi sesi menyalahkan diri sendiri itu berhenti ketika mendengarnya tergelak, "Alright, mungkin juga a healthy amount of lust."
"Ya sudahlah, tidak-"
"Maaf... maaf..." ia berusaha menetralisir tawanya. "Aku tidak meledak di depan orang, tapi sering di depan orang-orang terdekatku, padahal jumlah mereka tidak banyak, dan juga ke diriku sendiri. Ini juga... kenapa hubunganku dengan Yuta tidak sebaik dulu lagi. Begitulah, Meck. Waktu dia bilang aku salah memperlakukanmu dulu, aku meledak. Kami tidak bicara untuk waktu lama, soalnya aku bingung karena aku juga marah pada diriku sendiri dan terlalu angkuh untuk minta maaf." Semakin ia bicara, nada bicaranya semakin pilu seperti aku ikut merasakan lukanya. Padahal, aku juga ada di cerita itu sebagai korban yang sesungguhnya. Tapi mendengarnya seketika membuatku melupakan semua rasa kecewaku karena aku hanya ingin meringankan rasa sakitnya.
"Maaf ya, aku tidak bermaksud..."
Ia mengangkat wajahnya untuk menatapku. Ia tersenyum tapi matanya merah. Wajahnya bercerita kalau ia menahan emosi yang hebat. "Apa-apaan? Kau itu korban yang sebenarnya."
"Mungkin itu semua tidak akan terjadi kalau aku tidak sembrono mengatakan itu padamu. Lebih baik kusimpan sendiri saja."
"Nah, it meant to be like that. Lagipula, untuk sesaat sebelum kebodohanku mengambil alih, aku jadi laki-laki paling bahagia sedunia saat itu. Ah, salahku pada kalian besar sekali. Tapi... kau masih berkomunikasi dengan Yuta kan?"
"Iya."
"Baguslah. Itu yang paling penting. Kalau begitu, aku bergegas ya? Busnya tinggal setengah jam lagi." Ia melihat arlojinya masih dengan mata yang memerah dan alis yang tidak se-rileks tadi sore.
Di depannya, aku kehilangan kata-kata. Aku cuma bilang, hati-hati. Ia mengangguk sebelum menaiki tangga stasiun metro dengan bergegas dan hilang di sebuah tikungan lorong setelah sebuah papan iklan pertunjukan opera Les Miserables.
Komentar
Posting Komentar