Fiksi
"Padahal kalau nggak sholat, jiwa meraung-raung kesakitan."
Katanya suatu hari ketika kami berjalan di trotoar yang rindang tapi bolong-bolong di Jakarta. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menemukan seorang yang demikian tergapai sekaligus demikian memukau. Ia memandang agama dan dunia dengan cara yang aku suka. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa dihakimi oleh pengetahuan agama orang lain, atau terpaksa menjadi orang lain untuk membaur di kelompok yang menganggap kepatuhan pada agama tidak keren. Ia menerjemahkannya dengan sangat piawai dalam bahasa-bahasa rasa sakit dan beban hidup. Agama, lebih daripada kewajiban, adalah pertolongan. Begitu kira-kira aku jatuh hati siang itu.
Di momen singkat yang berakhir tragis itu, aku sudah memulai sebuah bab spiritualitas yang baru. Aku meninggalkan kebiasaan burukku dan aku bersimpuh lebih lama setelah sembahyang untuk merapal segala syukurku. Hanya saja, dalam doaku yang agak lebih panjang dari biasanya itu, entah mengapa aku tergerak untuk menyelipkan sesuatu tentangnya. Aku mengaku pada Tuhanku, kalau aku mengaguminya. Dalam setiap doa meminta teman hidup, aku selalu mengucap "semoga ia adalah orang yang kukagumi" pertama kali. Tapi pun dalam keadaan penuh harap itu, aku tergerak untuk berpasrah. 'Jika ia yang aku minta, aku mohon dilancarkan jalan untuk kami, tetapi kalau bukan, semoga kami masih bisa berteman. Aku menikmati berbicara dengan orang ini,' begitulah kututup doaku.
Hamba yang tidak tahu terima kasih ini lupa apa pernah doanya terkabul sedemikian persis dan sedemikian cepat sebelumnya, tapi kecepatan dan keakuratan ini memang seperti petir di siang bolong. Aku mencium ketidak-beresan, tapi aku sibuk memadamkan nyala-nyala kecil api curiga itu untuk harapan kosongku, hingga suatu malam ia mengaku berbohong. Singkat cerita, persis seperti yang aku minta, ia bukan orang yang kucari tapi kami tetap berteman. Baru kali itu aku sadar apa yang terlihat begitu indah ketika diucap sebagai doa bisa sangat menyakitkan ketika dialami. Aku masih bertanya-tanya apakah aku adil pada diriku sendiri dengan 'pertemanan' ini, tapi sepanjang yang kuingat, aku selalu adalah juru damai yang hanya akan menyerah pada permusuhan ketika tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
Lepas terkabulnya doa itu, misi peningkatan spiritualitasku runtuh. Orang itu membuatku merasa berharga, dan diatas pendapat tidak tulusnya itulah aku membangun spiritualitasku. Aku berterima kasih pada Tuhan bukan karena aku tahu dan percaya aku berharga, tapi karena orang lain bilang aku berharga. Maka ketika orang itu menusuk punggungku, aku jatuh pada perasaan tidak berharga yang jauh lebih dalam. Aku merasa keberhargaanku yang mulai terbangun itu adalah kebohongan, dan entah mengapa, mungkin karena itu adalah situasi krisis, aku menemukan diriku pada level penghargaan diri yang jauh lebih rendah daripada sebelum mengenalnya. Jadi "I like me better when I am with you" sebaiknya tidak dicontoh. Respon tubuh dan mentalku waktu itu adalah dengan mengebas. Butuh setidaknya setengah tahun untuk bisa merasa lagi, lebih lama untuk tidak menyalahkan diri sendiri atas pertautan kisah kami, lalu lebih lama lagi untuk kabur dari Tuhan tiap aku selesai sembahyang.
Sekarang, bahkan diantara bunga-bunga berbagai aroma yang sedang girang mandi sinar matahari, aku masih sering berpikir apakah ia menganggap salahnya padaku sebagai hal yang sepele? Ada sudut kecil di hatiku yang marah dan bilang bahwa aku harus membuatnya paham atas semua kehancuran yang telah ia sebabkan. Tapi bukankah hidup selalu seperti ini? Kadang kita memaafkan diri sendiri dengan terlalu mudah karena tiap-tiap manusia adalah sumur yang sangat dalam. Aku tiba-tiba bertanya pada seberapa dalam aku pernah menorehkan luka pada ibuku tapi yang ia lakukan hanya menutupinya dengan tangan. Dunia bukan tempat yang adil, oleh karena itu, aku hanya memohon sembuh dan bisa memetik sebesar-besarnya buah pelajaran dari cerita ini. Aku tidak peduli soal kau.
Kalau nanti kita bertemu lagi, di pasar atau terminal, aku akan menyapamu seperti biasa. Mungkin sedikit masam karena kadang aku bukan pembohong yang piawai. Tapi tiap-tiap manusia adalah sumur yang sangat dalam.
Komentar
Posting Komentar