Woro-woro
Yoo semuanya! Ini masih saya, Yuanita Wahyu Pratiwi yang punya blog pink di sebelah sana. Saya nggak bermaksud hapus-hapus masa lalu demi pencitraan karena sekarang udah mahasiswa dengan membuat blog ini. Tapi Le Jardin de Rose itu sudah sangat crowded, 200 post lebih dan bercampur aduk antara galauan, curhatan, keluh kesah, wacana, karya dan ide ide. Tapi saya akan tetap mengurusi keduanya, blog ini hanya langkah baru, pengkhususan dari suatu bidang yang sedang saya gandrungi. Sesuai dengan usia dan kapabilitas yang insyaallah lebih baik dari sebelum-sebelumnya, blog ini akan saya organisir sedemikian rupa supaya tak semerawut, dan yang jelas nggak akan ada curhatan nggak mutu disini~ #dor
Dari judul blognya, Historia Rasa, ada dua kata penyusun yang dalam pikiran saya berbeda warna. Historia itu masa lalu yang sephia, sedang rasa rupa-rupa, termasuk segala warna segar macam lime dan merah cabe bisa tertuang di dalamnya. Jika dibayangkan dari harfiah katanya, mungkin di benak kalian akan terlintas soal sejarah makanan yang berikutnya akan dijabarkan per objek jadi Sejarah Tempe, Sejarah Jengkol, Sejarah Ikan Asin dan sebagainya. Tapi biar saya klarifikasi. Pandangan semacam itu nggak sepenuhnya salah sih, dalam beberapa kesempatan kedepannya mungkin saya juga akan membahas sejarah beberapa makanan kalau itu memang layak bahas dan menarik *lagi-lagi* menurut saya. Akan tetapi, jauh dari sekedar makanan, yang konteksnya lebih merupakan sesuatu yang dikonsumsi untuk membuat perut kenyang, Rasa disini adalah kuliner, yaps, lebih dalam dari itu kuliner adalah soal sains, citarasa, intelektualitas, budaya, selera, dan kisah panjang dibaliknya.
Semenjak ngekos, lidah saya tak lagi bisa berhenti puas dimanja oleh masakan dari sepasang tangan lihai ibu saya, melainkan berkelana dari satu warung ke warung lainnya, dan dari sinilah benih-benih ide ini tercetus. Katanya temen-temen saya komeners, makan ini itu dikomen, dan buat saya agak sulit untuk betah pada satu warung saja, karena selain kadang nggak enak-enak banget juga, saya gampang bosenan. Soal rasa saya juga rada idealis yang dalam istilah ibu saya cerewet, dan di kampung saya namanya adil. Kalo boleh milih, nasi itu emang paling enak diangi, sop yang enak itu yang dipedes pake cabe, lada sama jahe, sambel bawang enaknya buat makan keringan, kalo dipake ke sayur rasa bawang putihnya jadi terlalu kuat. Yah, pokoknya gitu lah, makanya saya disebut adil. Di setiap warung yang rasanya saya jelajahi saya membintangi beberapa menu yang menurut saya terenak dari mereka; Burjo Tiga Setengahan yang enak sambel goreng kentang sama oreknya, kalo Wong Kito lumayan, ikan yang disambelin, perkedel, tahu, semuanya enak, tapi yang paling enak ayam sama ati bumbu kuningnya; kalo Srikandi diversifikasi menunya luar biasa, tapi yang enak gorengannya aja, selain itu rasanya semuanya soft, bumbunya cuma rasa cabe, bawang, tomat, lengkuas aja, udah gitu numis bumbunya gak sampe mateng, makanya kurang sedep #digampar
Ya pokoknya gitu deh kerjaan saya soal makanan. Di Jogja itu yang manis-manis merajalela. Bukan saya gak suka masakan manis, di rumah bahkan saya yang paling menggemari masakan manis, tapi yomen, manis itu ada batasannya. Lidah saya bagaimanapun sudah terbiasa dengan kuliner Betawi yang cabe, lada, asem, sama kunyitnya luar biasa banget. Dan disini saya sangat merindukan citarasa meledak-ledak semacam itu. Di Burjo itu, bahkan ketika yang masak adalah para aa'-aa' yang sok-sokan ngomong jawa pake logat sunda, masakannya pada manis :''''v
Udah gitu, saya bingung disini buanyak banget gerobak yang judulnya "KETOPRAK JAKARTA" tapi bumbu kacangnya dikuahin dan gak terlalu medok. Sebenernya ini ketoprak apa asinan lontong gitu? :v Dari sana muncul pertanyaan, sebenernya ketoprak yang hakiki itu kayak apa? Apakah ada kuahnya atau nggak? Jadi selera saya ini salah apa nggak? Terus kenapa namanya ketoprak yang notabene sama kaya salah satu bentuk kesenian teater di Jawa? Apakah disini ada unsur yang disengaja? Ketoprak mana yang muncul duluan? Pertanyaan semacam ini semakin menjadi-jadi semakin hari, semakin banyak saya denger cerita dosen di kelas semacam cerita kalo dulu, para Nyai yang paling diminati itu yang dari Bali, karena mereka pinter masak. Kalo Nyai dari Bali, berarti Rijstaffel juga kena pengaruh Bali. Terus antara bumbu-bumbu di masakan Betawi yang rada mirip sama Bali itu mungkin ada hubungannya sama kuli-kuli Batavia yang datengnya banyak dari sana. Dan masih banyak lagi trivia-trivia lain. Intinya, see, sekarang sejarah gaya hidup lagi berkembang. Dosen saya ada yang pakar sejarah keluarga, dan beliau pernah nulis sejarah biro perkawinan keren buanget. Sejarah fashion juga udah banyak ditulis, dan kayaknya saya jadi tertarik sejarah kuliner deh.
Itulah mengapa blog ini dibuat. Saya yang jauh dari kata kurus ini sepertinya menaruh perhatian cukup tinggi pada dunia kuliner, tapi saya juga belum tahu banyak. Padahal dulunya saya kalo disuruh ngicip masakan pasti gak tau itu masakan kurang apa, tapi seperti adegan di salah satu episode Gin no Saji season 1, pas Hachiken dibilang tau makanan enak gara-gara selama ini dibesarkan dengan makanan yang enak, thanks for emak yang telah mengukir definisi makanan enak dengan begitu indah di dalam diri saya. Karena seperti yang saya bilang tadi, lidah itu tak bertulang tapi luar biasa, dibalik sekedar sepiring hidangan ada berbagai kisah di dalamnya tentang bagaimana ia menjadi menu favorit sebuah keluarga, bagaimana seorang anak belajar memasak dari ibunya sebagaimana si ibu dulu belajar dari ibunya, juga bagaimana dulunya ia dibuat dengan lada butiran, bumbunya dihaluskan di alu dan lumpang, serta dimasak di anglo, tapi sekarang sudah dengan lada bubuk, blender dan kompor gas yang luar biasa praktis. Dalam soal masakan juga ada isu kesetaraan gender, kesehatan, modernisasi, pendidikan, dan kelestarian budaya yang meski secara partikuler amat kecil, bila dihubungkan akan membentuk sebuah jaringan rumit yang teruntai panjang dari masa ke masa.
Saya nggak tahu apakah dengan blog ini, nantinya saya bakal mengambil kuliner sebagai tema skripsi, seumur hidup menekuni hal ini, juga berpenelitian dan menulis buku soal hal sepele yang luar biasa ini. Bisa jadi besok saya akan menemukan interest baru yang membuat saya meninggalkan segalanya, tapi ayolah, selagi ada kesempatan, minat tak boleh disia-siakan. Belajar sekaligus bersenang-senang seperti ini tak akan membuat saya merugi sepeserpun.
Jangan kenyang dulu, ini baru pembuka~
Ya pokoknya gitu deh kerjaan saya soal makanan. Di Jogja itu yang manis-manis merajalela. Bukan saya gak suka masakan manis, di rumah bahkan saya yang paling menggemari masakan manis, tapi yomen, manis itu ada batasannya. Lidah saya bagaimanapun sudah terbiasa dengan kuliner Betawi yang cabe, lada, asem, sama kunyitnya luar biasa banget. Dan disini saya sangat merindukan citarasa meledak-ledak semacam itu. Di Burjo itu, bahkan ketika yang masak adalah para aa'-aa' yang sok-sokan ngomong jawa pake logat sunda, masakannya pada manis :''''v
Udah gitu, saya bingung disini buanyak banget gerobak yang judulnya "KETOPRAK JAKARTA" tapi bumbu kacangnya dikuahin dan gak terlalu medok. Sebenernya ini ketoprak apa asinan lontong gitu? :v Dari sana muncul pertanyaan, sebenernya ketoprak yang hakiki itu kayak apa? Apakah ada kuahnya atau nggak? Jadi selera saya ini salah apa nggak? Terus kenapa namanya ketoprak yang notabene sama kaya salah satu bentuk kesenian teater di Jawa? Apakah disini ada unsur yang disengaja? Ketoprak mana yang muncul duluan? Pertanyaan semacam ini semakin menjadi-jadi semakin hari, semakin banyak saya denger cerita dosen di kelas semacam cerita kalo dulu, para Nyai yang paling diminati itu yang dari Bali, karena mereka pinter masak. Kalo Nyai dari Bali, berarti Rijstaffel juga kena pengaruh Bali. Terus antara bumbu-bumbu di masakan Betawi yang rada mirip sama Bali itu mungkin ada hubungannya sama kuli-kuli Batavia yang datengnya banyak dari sana. Dan masih banyak lagi trivia-trivia lain. Intinya, see, sekarang sejarah gaya hidup lagi berkembang. Dosen saya ada yang pakar sejarah keluarga, dan beliau pernah nulis sejarah biro perkawinan keren buanget. Sejarah fashion juga udah banyak ditulis, dan kayaknya saya jadi tertarik sejarah kuliner deh.
Itulah mengapa blog ini dibuat. Saya yang jauh dari kata kurus ini sepertinya menaruh perhatian cukup tinggi pada dunia kuliner, tapi saya juga belum tahu banyak. Padahal dulunya saya kalo disuruh ngicip masakan pasti gak tau itu masakan kurang apa, tapi seperti adegan di salah satu episode Gin no Saji season 1, pas Hachiken dibilang tau makanan enak gara-gara selama ini dibesarkan dengan makanan yang enak, thanks for emak yang telah mengukir definisi makanan enak dengan begitu indah di dalam diri saya. Karena seperti yang saya bilang tadi, lidah itu tak bertulang tapi luar biasa, dibalik sekedar sepiring hidangan ada berbagai kisah di dalamnya tentang bagaimana ia menjadi menu favorit sebuah keluarga, bagaimana seorang anak belajar memasak dari ibunya sebagaimana si ibu dulu belajar dari ibunya, juga bagaimana dulunya ia dibuat dengan lada butiran, bumbunya dihaluskan di alu dan lumpang, serta dimasak di anglo, tapi sekarang sudah dengan lada bubuk, blender dan kompor gas yang luar biasa praktis. Dalam soal masakan juga ada isu kesetaraan gender, kesehatan, modernisasi, pendidikan, dan kelestarian budaya yang meski secara partikuler amat kecil, bila dihubungkan akan membentuk sebuah jaringan rumit yang teruntai panjang dari masa ke masa.
Saya nggak tahu apakah dengan blog ini, nantinya saya bakal mengambil kuliner sebagai tema skripsi, seumur hidup menekuni hal ini, juga berpenelitian dan menulis buku soal hal sepele yang luar biasa ini. Bisa jadi besok saya akan menemukan interest baru yang membuat saya meninggalkan segalanya, tapi ayolah, selagi ada kesempatan, minat tak boleh disia-siakan. Belajar sekaligus bersenang-senang seperti ini tak akan membuat saya merugi sepeserpun.
Jangan kenyang dulu, ini baru pembuka~
Komentar
Posting Komentar