Nyorok: Munggahan di Cikarang

Setengah dari keseluruhan hari ini saya habiskan di Perpustakaan Pusat UGM. Berhubung sedang dalam tahap heuristik perihal paper UAS salah satu matkul, akhir-akhir ini saya jadi rajin ke perpus. Hari ini sebetulnya tak begitu masuk hitungan, karena kebetulan sumber saya sudah cukup. Niat memperpanjang buku di perpus Fakultas yang terurung karena tutup, dilanjut sebuah sesi relaksasi panjang di NBC, salah satu sudut favorit saya di Perpus Pusat.

NBC atau National Building Center ini sebuah ruangan yang didonasikan oleh beberapa instansi ini sesuai namanya memiliki misi besar 'national building' maka dari itu buku-bukunya pun berputar pada tema-tema senada, dan inilah yang saya cari, selain juga karena atmosfernya yang cukup nyaman. NBC penuh buku-buku dengan isu yang menarik bagi saya seperti kajian-kajian Tionghoa, nasionalisme, dan utamanya buku-buku yang Jakarta(atau bahkan Betawi)-sentris terbitan Republika. Oasis banget buat penderita homesick macam saya yang oleh primordialisme tersirat dibuat amat merindu tanah kelahiran.

Di salah satu bukunya Republika tadi, ada sebuah artikel yang cukup eye catching, yakni "Orang Betawi Menyambut Puasa". Bayangan begitu melihat judulnya adalah serangkaian panjang cerita tentang tradisi-tradisi puasa abad 18 di mana mereka masih secara langsung harus bersentuhan dengan budaya Londo, berhubung artikel-artikel sebelumnya juga masih bercerita soal Sara Specx, Coen dan misteri kematiannya, dan beberapa tema lain yang sama tuanya. Pernyataan ini diperkuat dengan kata-kata penulis di paragraf-paragraf awal yang menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan ini, meski sudah sangat langka, pernah terjadi dan mengakar cukup kuat di masyarakat Betawi tempo dulu. Tapi ternyata praduga yang agak antikuaris ini patah. Tradisi-tradisi itu ternyata masih ada, tradisi yang menyertai tumbuhnya saya sampai detik ini di Cikarang.

Dalam artikel yang dimuat di buku Maria van Engels ini, beberapa paragraf dikhususkan membahas mengenai tradisi saling mengirim makanan sebelum dimulainya bulan Ramadhan. Dulu, yang paling populer sirup, roti, dan korma, tapi dalam kasus di tempat tinggal saya sering kali berupa nasi dan lauk pauknya serantang penuh. Beberapa hari sebelum Ramadhan, pasar pasti ramai, di jalanan kampung akan berlalu-lalang becak yang bermuatan seorang ibu dan belanjaan ekstranya. Warga yang memelihara ayam kampung akan menuai untung besar karena komoditinya akan sangat dicari dan naik drastis harganya. Hari berbelanja kemudian akan dilanjutkan dengan hari di mana pintu dapur yang terbuka lebar dan aroma-aroma menggoda yang menguar hebat dari sana. Anak-anak gadis di usia-usia yang sudah pantas dipekerjakan secara paksa di dapur, maka kutukanlah bagi mereka yang benci dapur karena aktivitas ini akan berlangsung lebih lama daripada memasak sehari-hari. Menu yang tadinya cukup dua jenis untuk 4 orang berlipat ganda jadi beberapa jenis untuk sekian banyak orang. Yang paling populer tentu ketupat atau lontong, rendang, semur ayam, sayur oyong, dan sambel goreng ati. Menu rupa-rupa lainnya akan datang dari ibu-ibu inovatif yang biasanya berlatar belakangkan tukang katering, atau sejenisnya.

isi rantang kalo dibuka :v

H-1, jalanan kampung yang tadinya ramai becak jadi ramai motor yang membonceng gadis-gadis atau ibu-ibu yang duduk menyamping dan mendekap rantang di pangkuannya. Jenis rantangnya dari mulai rantang jadul yang warnanya ijo burik kaya kulit uler, yang putih plus ada sedikit motif bunga, yang plastik, sampe yang tupperware! Semakin sore, semakin dekat tenggat waktu berakhirnya tradisi Nyorok ini, semakin ramai lah deru kendaraan yang berlalu lalang, nge-battle sama solawatan anak-anak mesjid yang suaranya juga sarat antusiasme.

Nyorok ini tak berbatas jarak dan ikatan keluarga. Kadang kala, sodara besan yang jauhnya minta ampun pun diparanin untuk sekedar menukar rantang yang kadang kala isinya sama-sama rendang, atau sama-sama semur ayam. Sebagai warga pendatang yang sudah tinggal lama sekali, keluarga saya juga turut larut dalam tradisi ini. Bahkan, kami saling kirim rantang bukan hanya dengan warga asli, tapi juga dengan para Jawa urban sekomplek. Tapi yang namanya asimilasi itu tetep ada, emak saya, meski bukan tukang katering atau sejenisnya, sengaja menyelipkan Jangan Lombok di salah satu rantang yang akan dikirim-kirim. Dan kalau banyak yang bilang enak, beliau bakal bagi-bagi resep.

Tradisi lain yang disebutkan dalam artikel tersebut semacam keramasan, ziarah kubur, jualan takjilan legend berupa kolek biji salak dan pisang, asinan sayur, bakwan jengkol, risol bihun, kerupuk mie, dan aneka gorengan lain yang jodoh sehatinya adalah sambel kacang encer super pedas, masih sangat hidup di kampung kami. Bahkan buka puasa di masjid juga penyedia hidangannya digilir per beberapa rumah sepanjang Ramadhan, dan itu masih berlangsung sampai saat ini. Kalau menurut anda agak sulit dipercaya, silakan datang ke pelosok Cikarang di daerah kelurahan Sukarukun dan sekitarnya. Suatu saat ketika saya observasi pabrik jamur di kampung lain yang berjarak sekitar dua kilo meter dari kampung saya dan agak sulit dijangkau dengan kendaraan umum, saya juga agak tertegun sama warganya yang ramah dan terbuka banget meskipun ngomongnya keras dan pake 'gua-lu'.

Kata salah seorang teman saya, Betawi sekarang tempatnya memang bukan lagi di Jakarta, tapi justru daerah satelit sekelilingnya kayak Tangerang, Depok, sama Bekasi. Pembangunan dan modernisasi mungkin sudah menyingkirkan kultur ini amat jauh di ibukota sana, dan di daerah kami, hal serupa juga sudah mengintai. Dulu, salah satu profesi populer orang sini selain dagang adalah 'ngebon'. Sederhana, tanah yang mereka garap cuma sekitar halaman rumah, atau paling muluk lahan kosong milik keluarga yang kemudian ditanami rupa-rupa sayuran seperti bayam punggel, bayam cabut, kemangi, dan kangkung. Waktu saya kecil, saat-saat panen dan mengikat sayuran ke dalam satuan siap jual adalah ajang bersosialisasi penting. Para ibu biasanya bergosip ria sambil mengikati sayuran dan ngerujak, sedang anak-anak akan bermain masak-masakan dengan pisau kecil dan batang-batang tua yang dibuang. Sekarang lahan-lahan hijau yang kata orang Jawa 'ngrembuyuk' itu sudah berubah menjadi perumahan-perumahan. Kalau saya boleh sedikit beraspirasi, perumahan-perumahan ini fenomena yang luar biasa mengancam. Setelah 'ngebon' kini jadi aktifitas yang luar biasa langka, sawah sudah dirambahnya. Jangan sampai sebentar lagi 'nyawah' pun langka.

Sekian dari saya.
Udah nisfu sya'ban aja nih, mohon maaf kalo ada salah ya~



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong