Fiksi
"Padahal kalau nggak sholat, jiwa meraung-raung kesakitan." Katanya suatu hari ketika kami berjalan di trotoar yang rindang tapi bolong-bolong di Jakarta. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menemukan seorang yang demikian tergapai sekaligus demikian memukau. Ia memandang agama dan dunia dengan cara yang aku suka. Untuk pertama kalinya, aku tidak merasa dihakimi oleh pengetahuan agama orang lain, atau terpaksa menjadi orang lain untuk membaur di kelompok yang menganggap kepatuhan pada agama tidak keren. Ia menerjemahkannya dengan sangat piawai dalam bahasa-bahasa rasa sakit dan beban hidup. Agama, lebih daripada kewajiban, adalah pertolongan. Begitu kira-kira aku jatuh hati siang itu. Di momen singkat yang berakhir tragis itu, aku sudah memulai sebuah bab spiritualitas yang baru. Aku meninggalkan kebiasaan burukku dan aku bersimpuh lebih lama setelah sembahyang untuk merapal segala syukurku. Hanya saja, dalam doaku yang agak lebih panjang dari biasanya itu, entah mengap...