Marseille

Aku membayangkannya seperti Dubai atau Singapura, meski tidak satupun dari tempat itu pernah kukunjungi. Purnama sedang penuh ketika aku di sana. Senjanya menyengat. Kita menyesapnya habis dari beberapa buah jendela apartemen tua di belakang Cathédrale de la Major. Wine murah dan spaghetti yang berasa seperti poivre noir dan tomat. 

Selain momen-momen ketika matahari sudah redup atau di bawah bayang-bayang teduh atau bangunan besar, Marseille terlalu silau untuk diingat. Siang harinya adalah kilasan-kilasan dengan setting vignette putih dan kecerahan tinggi. Aku hanya bisa mendengar derai-derai tawa di lorong-lorong di Le Panier yang menggema. Semua itu terjadi cepat, lebih cepat dari hanya dua hari yang kita habiskan di sana. Tahu-tahu, Marseille kabur dari balik jendela bis, digantikan deret-deret kebun anggur di kampung-kampung Perancis Selatan yang aku tak tahu namanya, menyisakan hati yang menyayat dirinya sendiri diam-diam. 

Apakah aku berbicara sendiri atau yang kemarin itu betulan percakapan dengan dirimu?






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong