Pilgrimage 1: Where did the idea come from


Halo, welcome to my blog! Or should I welcome myself because I’ve abandoned the habit of writing for so long! I hope this content can speaks up my apology, since I’ve been preparing this for a quite long time.

***

Tidak untuk menyalahkan, tapi memang saya agak minggir dari kebiasaan menulis bebas untuk blog karena skripsi saya baru selesai April kemarin. Menulis skripsi logikanya agak terbalik dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Bebannya semakin berat justru ketika sudah mau selesai. Mengapa bisa demikian? Karena ketika pekerjaan sudah menyentuh angka 70%, biasanya –atau untuk kasus saya- waktu yang dihabiskan untuk mengerjakan juga sudah banyak sekali bulan. Karena faktor waktu pengerjaan itulah, yang juga kawin mawin dengan berbagai faktor rumit lainnya khas krisis perempat usia, tekanannya jadi besar. Waktu baru mulai sih malah cenderung santai. Ada semacam peluang untuk jumawa. Karena skripsi ini hanya 6 sks dan tidak ada pertemuan reguler yang menyita waktu seperti kelas di semester-semester sebelumnya, jadi kesannya kita punya banyak waktu. Lalu dicobalah segala macam part-time, proyekan, lomba deesbe deesbe hingga kemudian tersadar kalo 6 sksnya skripsi itu fana, mitos, hoax.

Jangan bosan dengar kata skripsi karena perjalanan ini juga sebenarnya tentang skripsi saya. Meskipun saya terlihat menyedihkan waktu skripsian, saya nggak benci skripsi. Saya akui itu proses berat, tapi ia membawa banyak hal baik kepada saya di kemudian hari. Sejak awal toh yang saya kerjakan dalam skripsi memang tema yang saya sukai. Hanya saja, ada banyak elemen diluar riset dan printilan akademis lainnya yang harus saya taklukan dalam skripsi, lebih merupakan rangkaian dialog berisi trial-error, kontemplasi, motivasi, dan penerimaan terhadap diri sendiri.

Saya menulis skripsi tentang sejarah ekonomi pedesaan di sebuah afdeeling (satuan wilayah setingkat kabupaten pada masa kolonial) pada periode Liberal. Periode Liberal adalah sebuah babakan waktu populer dalam sejarah ekonomi Indonesia yang dimulai pada 1870 dan berakhir pada 1930. Pada masa ini, cara mengkoloni Belanda berubah total. Dari sekedar ekstraktor yang selalu memakai topeng jahat sejak datang sebagai VOC, pada masa ini Belanda mulai, kalau dalam hemat saya, memasang wajah lebih ramah. Dalam artian, dari sekedar preman yang minta uang keamanan dengan kekerasan, dia berubah jadi negara yang minta pajak, meskipun pajaknya terlampau besar dan negaranya korup.

Apakah perubahan itu merupakan hal besar bagi ekonomi desa? Saya bisa bilang, ya.

Wilayah yang saya tulis, Salatiga, adalah wilayah yang meletup sebagai pusat ekonomi pada masa ini, dan tentu saja, karena kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah kolonial yang diberlakukan pada periode ini. Kota Salatiga dianugerahi status kota praja pada 1917. Di Hindia Belanda tidak banyak kota praja, tapi kota kecil ini berhasil menjadi salah satunya. Sebagai kota praja, mereka punya lebih banyak otonomi untuk mengelola wilayahnya sendiri dan tidak banyak bergantung pada pemerintah pusat di Batavia. Ibukota afdeeling Salatiga bisa menjadi kota praja karena mereka punya cukup uang untuk menjadi independen. Uang itu datang dari ekonomi perkebunan yang sangat ranum di wilayah ini. Ekonomi perkebunan adalah sektor ekonomi yang mengalami perkembangan pesat berkat kebijakan-kebijakan liberal selama 1870-1930.

Kendatipun ekonomi berkembang pesat, puluhan perkebunan berdiri dan menghasilkan jutaan gulden di Salatiga, keberuntungan yang sama tak lantas mendatangi penduduk di pedesaannya. Padahal, penduduk pedesaan Salatiga menyusun bagian terbesar dalam demografi wilayah ini. Padahal lagi ya, pemerintah kolonial mengklaim kebijakan yang dimulai sejak tahun 1870-an berbeda dari pada masa Sistem Tanam Paksa yang eksploitatif secara sepihak dan merugikan masyarakat pribumi. Kebijakan ekonomi pada Periode Liberal mereka klaim lebih akomodatif dan menyediakan ruang-ruang bagi pribumi untuk berkembang bersama dengan ekonomi yang dijalankan oleh kelompok etnis lain: Eropa dan Tionghoa.

I remember the amazing feeling after successfully conquering myself,
so I can finally arrived to my destinations smoothly as planned.


Mau tahu lebih lanjut? Mungkin lain kali saya akan buat tulisan khusus tentang ini haha. Poinnya adalah, pilgrimage ini saya lakukan untuk menelusuri tempat-tempat yang baru saya kunjungi secara imajiner semasa penelitian. Toh penelitian sejarah memang tidak terlalu menyaratkan kunjungan langsung, terutama ketika kita tidak perlu sumber lisan. Sebetulnya saya juga mencari sumber di Semarang dan Salatiga, tapi tidak ada kunjungan khusus selain ke lembaga arsip atau perpustakaan, hanya sekedar lewat, dan itu hal yang sangat berbeda. Oiya, dan saya bilang ini pilgrimage karena pada dasarnya saya berziarah. Saya menapak tilas, mengunjungi langsung, tapi untuk sekedar menginjakkan kaki lalu mengalami perasaan “Oh jadi dulu itu disini.”


#skripsi #research #ruraleconomy #history #liberalperiod #salatiga #latecolonialindonesia



Next

Pilgrimage 2: Itinerary

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong