Kolonialisme: Pendatang vs Pribumi
Sebagai dua pihak yang baru bertemu, ekspresi pertama pendatang dan pribumi yang kemudian jadi pengkoloni dan koloni sebetulnya sama: saling heran, takjub. |
Menjadi mahasiswa semester 7 departemen sejarah tak lantas membuat saya menjawab ‘apa arti kolonialisme’ lebih cepat dari anak SMA. Logikanya seperti anak bayi tak bergigi yang makan bubur dan orang dewasa yang makan nasi. Ketika disuruh makan, gampang buat orang dewasa untuk melahap bubur dalam sekali telan, tapi tidak ada yang mau mengukus sayur-sayuran, daging, dan nasi serta melumat lalu menyaringnya untuk orang dewasa dengan gigi-gigi lengkap. Intinya, semua memiliki porsinya masing-masing, dan bukan porsi seorang mahasiswa semester 7 untuk menjawab pertanyaan ‘apa arti kolonialisme’ dengan kata ‘penjajahan’. Berhubung tiap hari makan nasi, jadi sulit betul mendeskripsikan rasanya kalau-kalau ada pemakan kentang atau roti yang penasaran dan bertanya. Mungkin tiada hari bagi kami untuk tidak menyebut istilah ini dalam kelas, tapi tetap saja, terlalu dekat kadang bukan berarti sepenuhnya kenal.
Berhubung merupakan agenda negara-negara besar selama
berabad-abad sampai pertengahan abad ke-20, kolonialisme bak label halal pada
produk manufaktur di Indonesia, penting tapi jarang dipertanyakan. Dalam benak
saya ada banyak konsep kolonialisme. Di samping itu ada pula kawan-kawannya
yang buat tambah bingung: penjajahan, imperialisme, despotisme, orientalisme,
dan lain-lain. Mereka adalah sejumlah anak kembar lain warna rambut yang
bergandeng tangan begitu erat. Saya sering menggunakan istilah-istilah itu,
tahu bedanya, tapi luput untuk betul paham dan kerap keliru. Maka ketika suatu
sore saya disuruh mendefinisikan ulang kata kolonialisme yang saya baca,
dengar, dan tulis saban hari, mendadak saya bingung. Sebuah titik terang yang
lantas dituju oleh lorong kata-kata dalam pikiran saya adalah titik pasti di
masa lalu, sebuah kebenaran yang saya akui untuk waktu lama, sebelum adat universitas
mengobrak-abriknya. Bodohnya, titik terang itu bertuliskan ‘penjajahan’.
Sebuah kalimat dari hasil abstraksi saya terhadap
puing-puing cerita yang pernah saya dengar berbunyi “penguasaan suatu bangsa
atas bangsa lain”. Yang tak dipilih untuk dominan dalam penyusunan abstraksi
itu masih meneriakkan beberapa kalimat yang tambah membuat bingung:
“timur-barat”, “institusi”, “ monopoli perusahaan dagang”, “diskriminasi”,
“pembantaian”, “amerika”. Nah, kata yang terakhir itu mengingatkan saya pada
ungkapan lain. Pembahasan soal kolonialisme di Amerika seolah lebih tidak
debatable dari disini. Saya lihat film The Patriot 3-4 kali. Di film-film lain pun
kita sering dengar istilah “koloni Inggris”, “koloni Perancis”, atau bahkan
“koloni semut”, tapi tidak dengan “koloni Belanda di Indonesia”. Dalam dunia
kolonialisme Amerika, sampai sore itu, saya paham kalau kolonialisme adalah
aksi sekelompok orang dari suatu wilayah yang pindah ke wilayah lain dan
membentuk masyarakat baru di wilayah itu (yang terpisah dari induknya). Tapi
saya tak lantas mengamininya sebagai pengertian kolonialisme. Kenapa? Karena
kasus Belanda di Indonesia tidak seperti itu. Sampai saat ini saya tak pernah
menemui bahwa masyarakat Belanda di Indonesia terekslusi dalam suatu kelompok
masyarakat baru yang besar di Indonesia dan terpisah dari masyarakat Belanda di
Belanda. Oleh karena itu, tendensi dalam istilah ‘kelompok masyarakat yang
pindah’ dalam pengalaman Amerika setara dengan tendensi ‘penguasaan’ pengalaman
Indonesia.
Berdasarkan pengalaman historisnya yang saya pahami,
kolonialisme di Amerika seolah merupakan pengelolaan (mirip transmigrasi)
sementara kolonialisme di Indonesia merupakan penjajahan. Apakah Inggris
menjajah Amerika? Saya pribadi jarang sekali mendengar itu. Tapi kalau
Indonesia dan Amerika sama-sama bekas koloni, iya. Namun kenapa harus berbeda?
Apa ini ada hubungannya dengan nasib 2 negara ini yang beda 180 derajat juga
saat ini? Ajaibnya, jawabannya saya temukan pada pencerahan lewat kuliahnya Pak
Pujo sore itu.
Untuk dapat memahami kolonialisme, kita harus paham
dulu apa itu koloni. Koloni adalah sekelompok yang memiliki kesamaan. Koloni
semut berarti sekelompok semut yang didalamnya tidak ada spesies lain.
Demikianpun dengan koloni Inggris atau koloni Perancis. Dari sini,
kolonialisme, secara historis dapat diartikan sebagai sekelompok yang diikat
oleh satu kesamaan yang pindah dari wilayahnya ke wilayah lain. Untuk kasus
Indonesia jabatan ‘koloni’ juga diduduki oleh Arab dan Cina. Secara, merekalah
yang jauh sebelum barat, kerap bertandang dan buat kampung di pesisir-pesisir
kita. Lantas kenapa istilah kolonialisme buat kita lebih identik ke Belanda?
Sekelompok pendatang yang punya maksud tertentu tidak
mungkin datang ke negeri asing yang tak pernah mereka kenal sebelumnya tanpa persiapan.
Meski dihadang badai dan bangkrut di lautan, mereka yang selamat sampai di
tanah baru adalah orang-orang yang ‘siap’. Motif kolonisasi pada abad ke 16-17
sering kita kenal pas SMA dengan 3G: Gold, Glory, Gospel. Tapi as usual, urusan perut sebenarnya jadi
yang utama. Politik dan agama Cuma embel-embel pengiring yang meninggikan
derajat program kolonisasi ini, dan biasanya muncul belakangan. Contohnya ada
pada kata mulut manis Belanda yang bilang cuma mau dagang rempah-rempah kala
itu. Manis sih manis, tapi tak sepenuhnya busuk juga kalau kita nggak
terpengaruh sama pandangan posfaktum. Koloni awal Belanda maksudnya betul hanya
berdagang, tapi ketika perdagangan mereka merupakan kegiatan yang jauh lebih
terencana dari perdagangan penduduk asli, terjadilah kontestasi yang akhirnya
dimenangkan oleh si pendatang. Koloni yang awalnya cuma sekelompok orang ini
kemudian berusaha melanggengkan kemenangan mereka dengan melindungi kepentingan
sesama koloni lewat pembentukan lembaga. Lembaga inilah yang kita kenal dengan
VOC dan Negara Kolonial Hindia Belanda. Proses ini secara nyata dialami oleh
Indonesia. Pada 1596, Cornelis de Houtman datang dengan 4 kapal, tapi hanya
kembali dengan satu kapal (kalau tidak salah) setahun kemudian. Tapi, muatan
dari 1 kapal yang kembali sudah cukup untuk membayar semua kerugian dari
lenyapnya 3 kapal lainnya dan masih menyisakan surplus besar. Berkat kabar
gembira itu, banyak lah pedagang-pedagang Belanda yang datang kemari. Namun
karena mereka bekerja secara sendiri-sendiri, kerugian yang harus ditanggung
orang per-orang cukup besar, dan terjadilah persaingan antar sesama pedagang
Belanda. VOC dihadirkan tahun 1602 untuk menyiasati persaingan ini dan
memperkecil angka kerugian dengan sistem himpunan modal.
Kolonialisme secara historis merupakan kedatangan
sekelompok orang yang terikat satu kesamaan ke wilayah lain untuk suatu tujuan.
Biasanya peningkatan ekonomi yang dapat berupa pertanian seperti di Amerika
atau perdagangan komoditi asal daerah koloni seperti di Indonesia. Kenapa
secara historis? Karena pada perkembangannya, tujuan ‘mengisi perut’ ini
berbuntut panjang. Akibat tahu rasanya kenyang dengan mudah dari hasil alam
koloni, mereka berusaha membuat kemudahan-kemudahan bagi mereka yang kebanyakan
berbenturan dengan sistem pribumi. Pihak pribumi yang merasa tersaingi kemudian
menyulut perang. Namun sayangnya, si pendatang yang penuh persiapan ini hampir
selalu menang. Karena mereka menang, dua kelompok masyarakat yang tadinya
setara, kini berubah jadi dominan-resesif. Yang dominan, jelas yang menang
perang, adalah si pendatang. Karena ada satu pihak dominan, ada tindakan
penghegemonian atas kelompok lain yang bukan hanya menyasar aspek ekonomi
politik, tapi juga budaya. Itulah yang terwujud dalam trikasta negara kolonial.
Sebagai pihak yang dominan, hukum Eropa tidak hanya mengatur kelompok Eropa,
tapi juga kelompok diluarnya seperti vreemde
oosterlingen (timur jauh), dan pribumi. Namun yang difasilitasi dengan hak
penuh warga negara hanya kelompok Eropa.
Hegemoni budaya terwujud pada pelabelan-pelabelan yang
menggunakan standar Eropa sebagai standar baik. Dalam politik etis misalnya,
masyarakat pribumi yang buta huruf diliterasikan dengan sekolah ongko loro. Pada tingkatan pendidikan
yang lebih tinggi, masyarakat pribumi juga diajarkan keahlian-keahlian seperti
pembukuan dan kedokteran. Di sisi lain mereka juga diperkenalkan pada sistem
tenaga kerja bebas berbasis upah, kredit mikro, dan hukum positif. Dari
pandangan yang sudah orientalis, ini memang terlihat memberadabkan, namun yang
sebenarnya mereka lakukan adalah menjalankan sebuah kebudayaan baru diatas
kebudayaan yang sudah ada. Sekolah-sekolah kolonial mengajarkan baca tulis
latin, karena menganggap kemampuan literasi orang pribumi atas pegon dan jawi
sebagai buta huruf.
Hegemoni menjadi poin penting dari kolonialisme.
Hegemoni dan kolonialisme sebenarnya mungkin juga terjadi dibalik masuknya
Islam ke Indonesia sejak abad ke-12 lalu. Jika patokannya adalah superioritas
pihak pendatang dibanding pribumi yang disusul dengan perubahan mendasar dalam
prinsip-prinsip kultural orang-orang pribumi, maka penyebutan periode ini
sebagai kolonialisme juga benar. Orang Islam yang datang menyebarkan Islam
karena menganggap apa yang diyakininya lebih benar dari yang diyakini orang
kebanyakan, maka kebenaran ala pendatang muslim dan kebenaran ala pribumi non
muslim yang tadinya berdampingan kini didominasi kebenaran dari kelompok
muslim. Namun semuanya kembali pada sifat si kebudayaan pendatang juga. Kadang,
ada bentuk kebudayaan yang tidak merasa perlu membenarkan kelompok lain atau
lebih eksklusif. Akibatnya, budayanya tidak tersebar luas secara merata melalui
politik, tapi hanya melalui adaptasi-adaptasi dalam jangka waktu panjang
seperti yang terjadi dengan budaya Tionghoa.
Bentuk serupa adaptasi terhadap kelompok pendatang
mungkin juga terjadi pada kedatangan perantau-perantau Jawa di Jabodetabek.
Kampung halaman saya di Cikarang masyarakatnya masih kental dengan budaya
Betawi di awal kedatangan kami 20 tahun lalu. Betapapun Betawi merupakan etnis
hibrid, menurut saya etnis ini tetap bisa diidentifikasi dan sudah terbentuk
untuk waktu yang cukup lama. Seperti di kampung halaman ayah saya di Salatiga,
satu kampung tempat kami mendirikan rumah dihuni oleh orang-orang yang masih
bertalian darah. Kampung-kampung disekitarnya juga masih dihuni oleh sanak
famili. Menu masakan mereka di keseharian, ketika lebaran, maupun di pesta
hajatan kurang lebih serupa. Mereka menikah di usia muda, melahirkan di dukun
beranak dan jarang menghapal tanggal lahir. Hobi mereka serupa, yakni mengenang
masa lalu lewat pertunjukan Topeng Betawi dan Jaipong ketika jenuh dengan
televisi. Untuk kegiatan ekonomi, waktu itu sudah cukup terdiversifikasi karena
wilayah ini mulai disentuh oleh ‘pembangunan’. Kebanyakan dari mereka
memanfaatkan momentum pertumbuhan ekonomi di kotanya dengan berdagang di pasar,
dari mulai pakaian, sayur mayur, hingga asongan. Kegiatan jauh lebih tua yang
masih dijalani adalah bertani sawah atau buah dan sayur dengan sistem yang
mereka namakan “ngebon”.
Kondisi yang demikian telah banyak berubah hari ini.
Sawah yang jadi pemandangan umum di tahun 90-an sampai 2000-an awal kini telah
banyak berubah jadi perumahan. Masyarakat Betawi yang dulu kini sudah sulit
diidentifikasi. Gelombang urban besar-besaran yang di tempat saya mayoritas
berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menjadi pekerja pabrik telah
banyak mengubah wajah masyarakat Cikarang ketika itu. Masyarakat urban Jawa yang
lulusan sekolah menengah, menjadi pekerja pabrik dengan gaji bulanan dan memiliki
kesadaran lebih tinggi terhadap kesehan karena mendapat asuransi, mungkin
menjadi semacam role model. Saat ini,
anak-anak asli yang seusia dengan generasi kedua para pendatang sudah sulit
dibedakan.
Makanan yang mereka masak juga mengalami perubahan.
Dulu saya hapal menu di hajatan biasanya terdiri dari ayam kecap, ase (sohun
yang dimasak pedas dengan lada dan cabai hijau tanpa kecap), dan cetrok (versi
lokal karedok, sayurannya mentah). Saat ini menunya sudah diwarnai oleh sop,
soto, rendang, dan makanan-makanan nasional lainnya. Bagi sebagian orang
mungkin kombinasi menu kala itu sudah tidak pantas lagi untuk disajikan di
acara hajatan sekarang. Demikianpun, adaptasi juga terjadi dalam dapur para
pendatang. Perubahan menu
yang sama juga terjadi pada menu sehari-hari dan menu lebaran.
Berbeda dengan adaptasi dalam bidang kuliner yang
terlihat seimbang, dalam bidang sosial, kelompok pendatang cukup mendominasi.
Hal ini terjadi mungkin karena tingkat pendidikan yang biasanya lebih tinggi,
dan juga ekonomi baru. Bak hukum, sejak zaman perantau Cina di awal masehi,
kelompok pendatang selalu memiliki ‘persiapan’ yang lebih matang. Hal ini
terjadi saya kira karena kelompok yang sanggup merantau merupakan orang-orang
pilihan yang telah menyisihkan orang-orang yang tinggal di kampungnya.
Pendatang ini merupakan orang-orang muda, sehat (karena mampu bepergian jauh)
dan berpendidikan cukup baik (sehingga mampu memanfaatkan peluang lebih baik
daripada yang tinggal). Ketika ekonomi baru di Cikarang masuk dalam bentuk
pabrik-pabrik, orang-orang pendatang inilah yang sanggup memanfaatkannya dengan
bekal-bekal yang dimilikinya tadi. Sektor informal seperti pemukiman, kuliner, dan
perdagangan kecil lah yang kemudian diisi oleh penduduk asli. Di kampung saya
bahkan tumbuh semacam stereotipe bahwa bagi anak gadis asli, menikah dengan
orang Jawa bakal memberi mereka penghidupan yang lebih baik. Di mata penduduk
asli, selain memiliki stigma kurang baik seperti penuh perhitungan, orang Jawa
pendatang biasanya dinilai tekun dan jujur.
Dari berbagai kasus pendatang versus pribumi tadi,
yang dapat saya garis bawahi mungkin adalah pendatang merupakan orang-orang
terpilih di daerah asalnya, yang datang ke wilayah di luar zona amannya,
sehingga penuh persiapan. Inilah mengapa pendatang kerap kali menang dibanding
penduduk asli yang bersantai dalam buaian rumahnya sendiri. Penduduk asli punya
pembelaan, karena sudah bertahan hidup dalam kondisi yang ia jalani sekarang
dalam waktu lama, memiliki jaminan sosial berupa jaringan keluarga, dan
dianugerahi aset turun temurun. Sementara itu pendatang adalah individu
per-individu yang terjebak kesulitan di daerah asal (karenanya etos kerjanya
cukup tinggi), jauh dari keluarga, dan biasanya tidak memiliki aset di daerah
yang ia datangi. Dalam kasus Amerika, koloni bukan mendominasi tanpa
persaingan, tapi mereka betul-betul memperbaharui Amerika karena penduduk
aslinya telah dibantai sehingga yang terjadi adalah tanah baru dengan penduduk
baru.
Intinya, kolonialisme lahir dari seteru pendatang dan
pribumi, seteru orang yang hidup enak versus orang perlu usaha ekstra buat
mempertahankan hidup mereka. Kembali ke apa yang saya percayai kalau hidup itu
adil, para miskin ini secara historis terbukti bisa membawa kemenangan, dan si
makmur berakhir dengan kekalahan. Tapi kemenangan tidak sepenuhnya baik,
demikianpun kekalahan tidak sepenuhnya buruk kalau pada akhirnya yang menang
berakhir jadi despot dan yang kalah berakhir jadi pejuang kesetaraan.
picture by humaspdg.wordpress.com
picture by humaspdg.wordpress.com
Komentar
Posting Komentar