Arsitektur Modern dan Rencana untuk Kota yang Tak Direncanakan
Gerakan arsitektur Modern muncul sebagai respon dari masyarakat
baru pasca Revolusi Industri. Gerakan seni Modern secara umum muncul karena nilai-nilai
tradisional sudah tidak lagi bisa mengakomodir masyarakat yang sudah berubah.
Ketidak puasan maupun kejenuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang
kebanyakan masih diindoktrinasi lewat lembaga-lembaga resmi dari masa-masa
sebelumnya bukan hanya terjadi pada kasus Akademi yang menolak Manet dan kawan
kawan, melainkan juga melatar-belakangi pendirian Bauhaus.
Bauhaus yang turut mempromosikan International Style selain
didirikan atas ketakutan hilangnya tujuan seni di masyarakat sehingga mereka
mencoba menyatukan manufaktur dan seni, juga ingin mereformasi pendidikan.
Ketika itu, pendidikan seni di Akademi lebih mengedepankan pendekatan
teori-teori lama yang sudah tidak lagi relevan dengan keadaan yang ada. Sebagai
jawaban, Bauhaus memperkenalkan semacam kurikulum yang lebih mengembangkan
skill dan inovasi sebagaimana yang dulu diterapkan dalam guild-guild abad pertengahan. Pada masa dimana Guild masih berfungsi, keterampilan diwariskan dan setiap barang
yang dibuat dengan sentuhan pribadi menjadi mengandung nilai estetik yang
tinggi. Ketika barang sudah diproduksi masal oleh mesin, perasaan semacam itu
tidak ada lagi. Konsep craft and art
yang digunakan oleh Bauhaus berusaha mengembalikannya.
Industrialisasi awalnya menawarkan suatu kemudahan. Teknologi dan
produksi massal membuat banyak hal yang sebelumnya tidak mungkin menjadi
mungkin dan manusia betul-betul merasa dimanja. Crystal Palace yang dibangun
pada 1851 mungkin menjadi momentum keistimewaan yang diberikan revolusi
Industri pada arsitektur. Bangunan yang sangat luas di Hyde Park itu hanya
dibangun dalam waktu 9 bulan dari 3.300 besi dan 300.000 lembar kaca.
Crystal Palace by en.wikipedia.org |
Tapi kemudahan tak selalu menjadi baik jika terjadi terus menerus
sebagaimana industrialisasi yang terus tumbuh tidak hanya memberikan keuntungan
tapi juga meninggalkan pekerjaan rumah lain. Urbanisasi yang membuat kota-kota
industri padat menuntut pemenuhan akan permintaan tempat tinggal yang tinggi
dari para pekerja. Pada masa-masa awal industrialisasi, kelompok masyarakat
yang masih lemah kedudukannya ini sangat jauh dari kata sejahtera meskipun
mereka dibayar atas kerja mereka. Oleh karena itu, tempat tinggal yang tersedia
juga sangat apa adanya. Kebanyakan dari tempat tinggal tersebut, tak seperti
konsep tempat tinggal terdahulu, dibangun dari material industri yang murah dan
berkualitas rendah. Pembangunan terus menerus yang diiringi ketidakteraturan ruang
juga membuat kota-kota menjadi kumuh.
Art Nouveau yang muncul pada sekitar dekade akhir abad 19 hingga
dekade pertama abad 20 berusaha memberi arti pada kekosongan modernisme awal. Ia
dimulai dari desain grafis pada poster dan sampul buku serta mendapat pengaruh
dari batu bata bermotif kayu dari Jepang yang banyak digunakan ketika itu. Art Noveau dikatakan mengangkat unsur-unsur tumbuhan sebagai respon atas
kejenuhan terhadap arsitektur rangka besi di masa sebelumnya seperti Eiffel dan
Crystal Palace. Dalam pengertian yang lebih luas, unsur-unsur tumbuhan yang
dimunculkan sebagai dekorasi pada arsitektur Art Nouveau merupakan penyeimbang
gaya sebelumnya yang oleh para seniman Art Nouveau dianggap berantakan. Para
seniman dalam gerakan ini mengatakan mereka hanya mendesain yang lebih pantas
untuk zaman modern. Contoh aksi penyeimbangan ini adalah pembangunan pintu
masuk stasiun Subway di Paris yang didesain oleh Hector Guimard yang
berpenampilan organik. Penampilannya bermaksud menyeimbangkan modernitas yang dibawa oleh teknologi
Subway.
Art Noveau Subway by bakenekogirl |
Meskipun begitu, pada akhir dekade pertama abad 20, gerakan seni
ini sudah mulai ditinggalkan, terutama oleh doktrin ‘function over form’. Gerakan Art Nouveau dinilai terkesan mewah,
tapi terlalu rumit dan memaksakan diri. Toh meski mempromosikan kembali visualisasi unsur-unsur alam, materialnya tetap
terbuat dari hasil manufaktur yang tak berbeda dari bangunan industrial
sebelumnya. Rekonsiliasi dengan alam belum terwujud pada gerakan ini.
Hubungan manusia dengan alam baru muncul kemudian dalam poin-poin
pemikiran Le Corbuisier tentang tata kota. Pengalaman tinggal di Paris ketika
ia masih menjadi sarang industri yang kumuh membuatnya prihatin. Le Corbusier
menulis dalam Concerning Town Planning, “Industrialisasi telah menciptakan kota
tentakel dan mengosongkan pedesaan. Di kota-kota tentakel, hidup adalah
kegilaan. Orang-orang berpindah domisili ke sekitar kota. Hidup dalam
eksistensi yang tidak teratur dan mematahkan semangat. Ini adalah perbudakan baru.” Menurut Corbusier, industrialisasi telah menghancurkan harmonisasi manusia
dengan alam, oleh karena itu ia menawarkan industrialisasi yang berpihak pada
alam sebagai solusi.
Gagasan ini tertuang dalam rancangan-rancangan gedung tingginya.
Menurut Corbusier, gedung yang tinggi akan memakan semakin sedikit ruang
sehingga ada cukup ruang tersisa untuk aktifitas komunal manusia. Aktifitas komunal ini didukung karena arah sejarah selama ini telah menjadikan
manusia terlalu individualis, lagi-lagi Corbusier bermaksud mendamaikan dua
sisi berlawanan. Selain itu, dari sisi yang lebih dalam, penawarannya terhadap
ruang terbuka yang lebih banyak adalah memperbanyak kontak dan mempererat
hubungan manusia dengan alam.
Selain itu, dalam konsep modern, kesempurnaan suatu hunian tak
hanya bisa diukur dari kenyamanannya. Ada pertimbangan lain yang menjejali
aspek kenyamanan seperti kemudahan akses. Kemudahan akses bisa meminimalisir
batas antara kota dan daerah sekitar sehingga tekanan terhadap kaum pekerja
bisa berkurang dan sistem ini tak menjadi perbudakan jenis baru seperti yang
dikatakan Corbusier.
Untuk mewujudkan visi-visi ini, ia kemudian membuat beberapa model
rancangan. Dua diantaranya adalah Radiant
City dan Contemporary City. Contemporary City merupakan rancangan
yang diajukan untuk Paris. Dari pemukiman yang padat, dalam rancangannya
Corbusier membuat kota yang sarat gedung-gedung tinggi. Konsep yang diusungnya
tak lain jugalah soal antisipasi keterbatasan ruang, kontak dengan alam dan
kegiatan komunal yang telah dibahas tadi.
Radiant Movement menggandeng korporasi untuk menciptakan sebuah kota dengan
populasi besar yang masih berada dalam taraf bisa dikontrol. Kota ini adalah
kota industri linear yang terdiri dari beberapa pabrik, perumahan padat, dengan
sektor bisnis dan administratif secukupnya di pusat serta dilengkapi dengan
akses jalan yang mudah. Bagi Corbusier, konsep ini menjadi jawaban dari permasalahan kota tentakel,
tapi keterlibatan korporasi didalamnya membuatnya banyak dikritik.
Konsep-konsep yang dipromosikan oleh Corbusier masih familiar
sampai hari ini. Membaca mengenai urban
plan ala Corbusier mengingatkan saya pada acara iklan properti di salah
satu stasiun TV setiap minggu pagi. Mereka seperti halnya Corbusier
mengiklankan hunian yang memiliki bukan hanya kenyamanan tapi juga akses mudah,
ruang-ruang terbuka hijau dan arena sosialisasi. Tapi jika rekonsiliasi dengan
alam pada Art Noveau gagal, bisakah urban
plan Corbusier dikatakan berhasil? Menurut saya masih sebuah ironi ketika
suatu perumahan vertikal yang fungsional dilengkapi ruang terbuka hijau dan
arena sosialisasi yang mungkin tak lebih dari sekedar hiasan, terlebih jika ia
dikelola suatu korporasi yang berorientasi untung rugi, bukan semata-mata pada
kesejahteraan warga.
Konsepnya mengenai Radiant City juga saya kenali pada lingkungan
rumah saya sendiri. Di Cikarang terdapat Kota Jababeka yang merupakan kota
Radian, serta Cikarang sisanya yang lebih kepada kota tentakel. Kota Jababeka
persis seperti yang dikatakan Corbusier dengan kompleks pabrik, perumahan
padat, serta situs bisnis dan administratif pelengkap. Tapi kota yang dibuat
untuk pekerja tersebut justru ditempati oleh white-colar, sementara blue-colar
yang terus bertambah setiap tahunnya harus ditampung di kota-kota tentakel yang
mulai menjadi Paris di masa industrialisasi. White-colar yang menempati kota radian, kebanyakan memang merintis
karirnya dari pekerja-pekerja kelas bawah, jadi penempatan itu bukanlah salah
mereka. Yang keliru justru perumahan pekerja yang berhenti tumbuh ketika pabrik
baru masih terus bermunculan. Akibatnya, daerah di luar Jababeka mulai menjadi
kawasan padat penduduk yang kumuh, tidak punya ruang terbuka hijau, atau sarana
apapun lainnya yang diidealkan oleh Corbusier. Tidak seperti Jogja yang
masyarakatnya adalah para intelektual yang peka terhadap perubahan, sehingga
isu-isu selalu direspon dengan cepat, di Cikarang, isu menghilang di langit
yang kelabu. Pekerja blue-colar yang
hanya libur sekali seminggu tidak punya waktu memikirkan lampu-lampu lalu
lintas yang tidak berfungsi, jalanan berlubang, pembangunan mall, dan pasar
yang semrawut kecuali sekedar mengeluhkannya.
Masterplan Jababeka by tabloidcikarangpos.com |
Jika pada masa sebelumnya, masyarakat kalangan bawah mengidealkan
kehidupan kaum bangsawan, kenaikan kelas menengah dari masa Revolusi telah
meniadakan hal tersebut. Karena itu berangsur-angsur unsur kemewahan dianggap
sebagai suatu hal yang memaksakan diri dan tidak perlu. Nasib seperti ini
terjadi pada dua gaya berbeda zaman yang sama-sama mengedepankan aspek
dekorasi, yakni Rococo dan Art Nouveau. Rasionalitas dan semangat egalitarian
memangkas dekorasi yang menyaratkan kesombongan dan keinginan untuk pamer.
Untuk itu bangunan-bangunan pada masa modern memiliki bentuk-bentuk fungsional.
Namun dalam fungsionalisme itu, nantinya gagasan ideal yang diungkapkan
Corbusier tetap mengakar ke masyarakat dan menduduki gambaran ‘ideal’ yang
baru. Keidealan ini tentunya berharga tinggi dan dalam sistem uang seperti
sekarang, manusia berlomba mendapatkan uang sebanyak-banyaknya untuk
mewujudkannya, sehingga sistem kelas baru pun terbentuk.
Produk manufaktur dan perkembangan teknologi membuat membangun
menjadi kegiatan yang lebih mudah. Oleh karena itu, pada awalnya pembangunan
yang tejadi sangat tidak terkontrol dan hanya terus-terusan mengikuti kemauan
pasar. Standar hidup yang menurun akibat semua itu akhirnya menghadirkan urban plan sebagai solusi. Solusi ini
bahkan dibenarkan dan dijalankan di berbagai belahan dunia sampai sekarang.
Solusi ini adalah gagasan ideal yang baru yang menggantikan gagasan atas para
bangsawan masa lalu, tapi menuntut orang mendapatkannya dengan uang. Di Eropa,
gaya Modern selanjutnya akan mendapat kritik dari orang-orang Postmodern yang
menolak modernisasi, industrialisasi, dan kawan-kawannya karena mengandung bias
kultur barat. Alih-alih membawa kemajuan, sistem-sistem tersebut hanya
memaksakan cara Eropa ke unit-unit kultural lain yang sebetulnya memiliki
caranya sendiri. Egalitarianisme dalam konsep Modern juga hanya egalitarianisme
bagi kelas menengah yang telah berhasil menghancurkan supremasi bangsawan di
atas mereka, bukan egalitarianisme sesungguhnya karena setelah kelas menengah
menikmatinya, ada kelas lain, buruh, yang menjadi korban dari kebahagiaan
mereka.
Komentar
Posting Komentar