Lebaran Makan Ayam
Tulisan
ini berangkat dari salah satu lebaran terunik seumur hidup saya, lebaran tahun
ini. Sebagai sebuah hari besar agama yang dianut oleh hampir seluruh penduduk
negeri, lebaran adalah momen penting. Sejak kecil, saya memahami lebaran
sebagai momen keluarga. Lebaran Idul Fitri, posisinya dalam konteks keluarga
sangat berbeda dengan Idul Adha. Dalam Idul Adha, kita seolah hanya merayakan
kemenangan sebagian orang Islam yang berangkat haji, sejak kita disibukkan dengan
titip doa, mengantar ke bandara, atau antri jatah henna dan kacang arab sepulangnya mereka. Momen Idul Adha lebih
personal ketimbang Idul Fitri yang memang dirasakan oleh tiap orang tak
berkecuali. Dalam momen ini, semua orang menang, dan kelompok terdekat untuk
berbagi perasaan itu adalah keluarga. Lebih jauh lagi, hari raya ini kemudian
didefinisikan secara kultural oleh masyarakat yang terus berada dalam
perubahan. Kaum urban yang muncul sejak pertumbuhan kota-kota pusat ekonomi
membentuk gelombang raksasa ke wilayah rural ketika Idul Fitri menjelang. Itu
agama, adat, dan konsumerisme, tapi sejak tak ada gelombang mudik sebesar Idul
Fitri di hari besar lainnya, arti keluarga tetap kental di dalamnya.
Entah
penyusunan kalender akademik yang tak melihat peta-peta hari raya, umat muslim
Indonesia sudah kebanyakan dapat libur, atau sebagai anak-anak berusia awal
20an kami tengah dicerabut dari masa-masa menuntut salam tempel dan baju baru
di hari Lebaran, yang jelas puasa dan Lebaran tahun ini, saya 100% tak bisa
berada di rumah. Segala tradisi ala rumah nomor 167 RT. 3, RW. 5, Kampung Pulo,
Sukaraya, bubar, digantikan oleh tradisi-tradisi kampung orang yang agak
berbeda. Cukup beruntung, saya KKN di Banten yang secara kultural tak begitu
jauh dari tempat asal saya di Cikarang. Tapi kata keluarga tetap miss dari momen itu, setidaknya di
hari-hari pertama, sampai saya mulai mengidentifikasi manusia-manusia yang
mengitari saya di sana sebagai ‘keluarga yang lain’.
'keluarga yang lain' |
Hampir
bisa dikatakan, ‘keluarga yang lain’ itu terbentuk di acara persiapan buka puasa
di dapur. Antara getol dan kekurangan kegiatan, kami biasanya mulai mengepulkan
asap dari dapur lewat sedikit dari tengah hari. Kian hari menunya kian beragam.
Kegiatan persiapan buka itu kemudian dilanjut dengan berbuka: makan malam
bersama orang serumah dalam lingkaran besar diatas lantai, menikmati kekhilafan
dan kerancuan rasa yang ada dengan suka hati. Semakin selayaknya keluarga kan?
Nah, sebagai sekelompok orang yang selayaknya keluarga, seperti keluarga lain,
kami juga butuh Opor Ayam di hari raya.
Opor
Ayam adalah menu wajib dalam Lebaran apapun di rumah saya. Opor Ayam Ibu saya
khas. Ayamnya ayam kampung asuhan sendiri sehingga kami paham betul riwayatnya.
Warnanya putih tanpa kunyit, dengan sedikit semu hijau dari cabai rawit utuh
yang diceburkan kedalamnya. Biasanya cukup berdampingan dengan lontong daun
pisang batu, bawang goreng, kerupuk, dan seduhan dingin sirup coco pandan. Ah sempurna!
Namun ketahuilah, Opor Ayam dan teman-temannya itu bukanlah keajaiban dalam
sekerjapan mata. Sejak sehari sebelumnya orang serumah telah begotong-royong
untuk mewujudkan sang menu istimewa. Ayah saya harus menangkap ayam pagi-pagi
buta, sebelum mereka awas lalu jadi beringas dan beterbangan ke dahan-dahan pohon.
Setelah itu biasanya Ibu dan Ayah saya ke pasar untuk membeli berbagai bahan
pendamping. Lontong pun harus direbus selama 8 jam di tungku kayu. Dan hebatnya,
dari proses yang demikian panjang itu, saya biasanya hanya mengulek bumbu,
mengaduk santan agar tidak pecah, dan menggoreng kerupuk. Semua yang saya
lakukan adalah pekerjaan blue colar,
bukan pekerjaan white colar seperti
meracik bumbu, menentukan kematangan, memberikan arahan proses, dan memastikan
rasa. Di dapur rumah saya, untuk sampai pada posisi itu butuh pengalaman masak
selama 20 tahun. Setidaknya itulah yang terjadi pada ibu saya, karena ketika
karier beliau belum mencapai 20 tahun, saya masihlah seorang pengacau.
Untunglah, dari sekedar pengacau, saya naik tingkat jadi buruh, tapi kami masih
punya satu pengacau: adik saya yang hanya ditugasi mengambil ini dan itu,
itupun kalau dia mau. Parahnya, sebagai seorang blue colar di dapur rumah nomor 167, saya dan teman-teman lain yang
juga blue colar di dapur rumahnya,
harus bertanggung jawab atas Opor Ayam di hari raya ini.
Sebagai
orang-orang yang hampir 0 experience, kami harus meraba-raba. Dengan arahan
seadanya dari Ibu Pondokan dan chattingan setiap masing-masing Ibu kami, kami
pergi ke pasar, mencari dan menawar barang-barang tanpa betul-betul tahu harga
yang pantas berapa, meracik bumbu dengan banyak perdebatan, dan menambal sulam
rasa dengan msg. Sore hari, si Opor dan Sambal Goreng Ati sejolinya jadi. Kami
cukup berpuas hati. Tapi keesokan harinya, ketika tiba saatnya bagi kami untuk
menikmati mereka, si Opor basi. Sejumlah dana, perjalanan panjang ke Bayah, itikad
baik, tenaga, dan serangkaian perhitungan kami harus ditukar bukan dengan
sepaket hidangan istimewa yang lezat, tapi hanya dengan pelajaran berharga,
bahwa sebelum diinapkan di ruangan terbuka, harusnya santan dididihkan lagi
terlebih dahulu.
Kecewa
iya, tapi sudahlah. Setidaknya kami telah mengusahakan keistimewaan itu meski
gagal. Kejadian ayam ini mungkin juga berharga buat kami. KKN menjadikan kami
sebagai warga suatu kampung selama beberapa minggu. Momen ini mencerabut kami
dari kebiasaan-kebiasaan ‘anak kosan’ yang telah kami jalani 3 tahun
belakangan. Sebagai semacam rehumanisasi, KKN mengingatkan saya kembali akan
sebuah tradisi lama: Lebaran Makan Ayam. Yang dimaksud Lebaran Makan Ayam
disini adalah mengistimewakan kegiatan makan ayam di hari-hari tertentu. Barang
tentu hal ini berlainan dengan kehidupan mahasiswa Jogja yang sarapan soto,
makan siang geprekan, lalu makan malam KFC. Percayalah, bagi anak kos, tanggal
tua memang milik mi instan, tapi tanggal muda ayam ada di mana-mana.
Warung tenda pun menunya ayam semua by Yogyes.com |
Di
rumah saya, sampai hari ini, kegiatan makan ayam di hari-hari istimewa masih
berjalan. Setidaknya, meski sehari-hari bisa saja makan ayam potong, ayam
kampung piaraan kami hanya disembelih ketika saya pulang, arisan keluarga, ada
yang ulang tahun, atau ya, Lebaran. Tapi dibanding anak kos yang dikelilingi
dengan penjual aneka olahan masakan ayam, kami lebih jarang. Kejeniusan
aransemen menu Ibu saya yang sudah berkarir 20 tahun terbukti disini. Ayam
bakar biasa disandingkan dengan sambel kecap dan lalapan; lodeh tewel dengan
tempe goreng ketumbar; sayur asem dengan teri goreng; sambel jengkol dan sambel
terasi; sayur sop dengan sambel goreng dan jamur crispy; pepes ikan mas dengan
tumis oncom dan sayur bening; juga ayam goreng yang akan pas dengan sambel
korek dan oseng daun pepaya. Kadang kala menu dadakan seperti kuban sawi,
sambel bawang, ikan asin dan tahu tempe pun jadi. Semuanya tergantung permintaan,
dana, suplai tukang sayur, dan motif pribadi, tapi tiap hari selalu ganti. Dari
serangkaian menu yang saya sebut tadi, protein tak selalu datang dari ayam. Oleh
karena itu, kalau pernah lihat tulisan saya yang Antara Rasa Ayam dan Rasanya Jadi Ayam, saat ini ayam menjadi
semacam standar menu yang layak go public, tapi tidak dengan di keluarga kami.
Hidup kami tak seperti iklan KFC.
Saat
ini, ayam telah direkayasa demi tuntutan konsumsi manusia sehingga nilainya tak
setinggi dulu. Kalau dengar cerita masa kecilnya orang tua saya, ayam terdengar
jauh lebih tinggi lagi harganya. Anak-anak masa itu hidup di sekitar ayam. Mereka
dibangunkan kokok ayam, main sabung ayam, dan korengnya dipatuk ayam, tapi
langka betul makan daging ayam. Ketika itu, ayah saya bilang ayam betul-betul
hanya dinikmati ketika ada momen istimewa, ketika ada pesta, selebihnya mereka
adalah ternak punya-punya, tabungan kala kondisi finansial yang genting
menghadang. Saat ini, bagi jenis ternak lain seperti kambing dan sapi di
keluarga-keluarga peternak kecil mungkin relasi manusia-ayam ketika itu masih
berlaku. Relasi semacam ini lebih jelasnya digambarkan pada suatu adegan di
Anak Semua Bangsa. Ketika itu Minke berkunjung ke rumah salah seorang petani
tebu yang tertindas lalu hendak ia tulis kisahnya. Petani tebu yang lahannya
diambil itu menyembelihkan Tuan Muda Minke seekor ayam. Mereka memasaknya, lalu
menyajikannya, tapi ketika dimakan masih sekeras kayu. Betapapun keluarga itu
punya beberapa ekor ayam, mereka hanya menjualnya, tidak pernah memasaknya
sehingga cara untuk itupun mereka tidak tahu. Cerita-cerita masa lalu ini
seolah mencatatkan ayam dan dedagingan lain sebagai menu tingkat tinggi,
sehingga KFC yang sudah barat, ayam pula akan terdengar sangat keren. Namun
Tony Reid bilang sesuatu yang tak mencukupkan cerita ayam ini berakhir sampai
disitu.
Pandangan
orientalis yang mengkristalisasi kehidupan desa jadi statis lagi romantik, yang
merebak di dekade-dekade pembangunan, mungkin turut andil dalam mengecilkan
orang-orang yang jarang makan ayam. Ketika investasi asing dengan cepat
menumbuhkan belantara beton pencakar langit, Barat adalah segalanya. Berikutnya,
tambah pula si superior itu menang Perang Dingin. Maka semakin kukuhlah ia
sebagai kiblat sekalian umat manusia. Anti nekolim selamanya hanya berhenti
pada pidato-pidato Soekarno. Padahal teman-teman, nekolim bukan hanya
pengendalian pasar, pembanjiran negeri dengan produk impor, atau kontrak-kontrak
ekonomi yang tidak seimbang, nekolim juga soal makan ayam.
Yang saya bayangkan dari uraian Anthony Reid soal makanan utama di Asia Tenggara sebelum abad 15. Mungkin mirip makanan pasifik sekarang, tapi sumber karbo utamanya tetap nasi. |
Anthony
Reid yang barat sendiri bilang kalau pada abad 16, gizi orang Barat dan
orang-orang Asia Tenggara sendiri tak banyak berbeda. Tinggi badan orang-orang
barat dan orang-orang kita ketika itu pun tak jauh berbeda. Katanya, orang kita
malah cenderung lebih sehat. Menu kita komplit lagi beragam. Makanan pokoknya
beras (tanpa banyak masalah diabetes!), santan, gula kelapa, begitu banyak
jenis sayur mayur dan buah-buahan, juga berbagai macam ikan. Karbohidrat,
Vitamin, Protein, Lemak, Mineral, semuanya lengkap. Bedanya dengan teman-teman
kulit putih kita adalah kita sangat kekurangan diary product. Lain dengan Eropa
yang memiliki banyak ladang untuk menggembala, sebagian besar tanah di Asia
Tenggara adalah hutan tropis dan rawa-rawa. Kepadatan penduduknya pun sangat
kecil. Salah satu kutipan favorit saya soal ini datang dari utusan Golgonda: “Raja
Ayuthia memiliki wilayah yang jauh lebih luas dibandingkan wilayah raja
Golgonda (India). Namun bedanya, jika raja Golgonda adalah raja atas manusia,
maka raja Ayuthia adalah raja atas hutan-hutan lebat dan nyamuk.” Berdasarkan
kondisi demografis dan geografis semacam itu, kegiatan ekonomi seperti ladang
berpindah, bersawah, dan menjala jauh lebih mungkin daripada menggembala.
Yang
sebetulnya menjadi poin Pak Reid adalah kita dan teman-teman kulit putih kita cuma
berbeda ras, tapi masih sama-sama manusia. Kata Pak Margana di kelas, juga kata
Onghokham di pengantarnya, tulisan ini mengedepankan perspektif lokal, sebagai
kontra dari pandangan orientalis yang sudah kadung dimasyarakatkan orang-orang
barat dimana-mana. Sementara itu, buat saya pribadi, disini ada momen
kontemplasi. Di awal 2000an dulu, ketika saban hari tontonan saya televisi yang
bias Barat, isinya iklan KFC, penyedap rasa ayam, sinetron yang pake properti
ayam, dan acara masak-masak yang bahan bakunya ayam, saya cinta buta sama ayam
dan pengen makan ayam tiap hari. Padahal, buat orang tua saya yang berasal dari
generasi berbeda, ayam tak dipandang dengan cara yang eksploitatif seperti itu.
Membesarkan beberapa ekor ayam kampung di belakang rumah dan menyembelih mereka
hanya di acara-acara khusus adalah oleh-oleh yang mereka bawa dari masa itu, masa
dimana orang yang jarang makan ayam tak disebut sebagai orang desa yang kurang
gizi.
Saat
ini, ayam yang kita makan tiap hari adalah ayam-ayam rekayasa. Mungkin,
kandungan gizinya pun tidak sebaik ayam-ayam yang dibesarkan keluarga petani
tebu yang dikunjungi Minke. Atau setidaknya setahu saya, mereka ayam yang supaya gurih, dagingnya masih perlu dibubuhi msg. Makan ayam tiap hari pun tidak menjamin
kita lebih sehat dari makan tempe. Lebih-lebih lagi, karena makan sayap ayam
goreng tiap hari dan cuma duduk di depan komputer, orang jadi diabet lalu
menyalahkan nasi. Padahal, andai kata nasi itu dimakan dengan teman yang seberagam
moyang-moyang kita abad 16 dulu, apakah ceritanya akan sama?
Time change, does the civilization.
Also, the risk of life in every age is different. What I wan’t to say is
actually let’s step back to see a wider space of view, maybe by that we can
understand more.
Agree?
PS. Pendapat Anthony Reid soal makanan orang Asia Tenggara dulu saya dapatkan dari 'Asia Tenggara dalam Kurun Niaga Jilid I: Tanah di Bawah Angin', terbitan Obor.
Komentar
Posting Komentar