Sejarah Komoditi


Sebagai seorang yang belajar sejarah, patutnya saya sadar betul akan waktu, tapi untuk menjadi sadar nyatanya tak semudah itu. Belajar sejarah itu satu soal, dan kebiasaan sekian lama untuk selalu meleset dari takaran disiplin adalah soal lain. Saya sadar akan waktu, di saat tertentu, dan tidak di saat yang lain.

Sebenarnya, persoalan menulis apa yang hendak saya tulis ini adalah soal lama, dan halang rintangnya bukan cuma waktu, tapi juga kesibukan lain, yang lebih, katakanlah, urgent. Siapa pula yang bisa mentolerir PPS dan UAS semester tiga? Maka tidakpun saya. Jadilah, tulisan di sekitaran bulan November ini terkatung-katung di lautan kepala saya sekian lama, bahkan hampir tenggelam diantara materi-materi ujian, data-data PPS, dan kenangan tentang seseorang di sana. Ah, tidak, yang terakhir itu bohong.

Tulisan yang patutnya menjadi fresh report ini akhirnya menjadi post-factum. Maka maafkanlah saya. Tapi jangan khawatir, jika anda tak percaya ingatan saya, saya punya catatannya, dan sebundel modul yang dibagikan ketika kuliah umum tempo hari sebagai pegangan yang senyata-nyatanya.

Kuliah umum Prof. Adrian Vickers waktu itu bertajuk Pearl Rush in Aru. Saya tak akan membahas isi detilnya karena berpotensi terfonis sebagai spoiler karena sang pemilik materi akan berniat menjadikannya buku. Tapi itu hanya alasan saya. Lagipula mana ada yang namanya spoiler di ranah akademik? Ketika risetnya ini selesai, bahkan beliau-beliau berkelana keliling dunia untuk mempresentasikannya, tanpa khawatir soal kebocoran buku. Dan dalam setiap makalah, tesis, hingga disertasi, belum pernah saya lihat pendahuluan yang luput dari cerita singkat soal setiap bab dalam isi buku, berikut ringkasan kesimpulannya. Dalam dunia ini tak ada yang gentar akan ancaman spoiler, mereka cuma gentar oleh plagiarisme yang usut punya usut jika diurai amat kejam bunyi hukumnya. Dalam sebuah kuliah saya pernah mendengar bahwa plagiarisme bisa terjadi disengaja maupun tidak, dengan tuntutan pihak yang dirugikan maupun sekedar pendapat pembaca, dan menyangkut bukan hanya dengan orang lain, tapi juga sesama diri sendiri. Tuduhan memplagiat diri sendiri! Betapa mengerikan!

Sebenarnya jika saya membahas isi kuliah umum tersebut secara detil dan keseluruhan, yang jadi pertanyaan adalah apa istimewanya tulisan ini, apa hubungannya dengan wacana besar kuliner yang saya bangun di blog ini, dan apa sangkut pautnya dengan judul selain sang Empu sumber yang masih sama. Saya akan menceritakan soal bagaimana pintu konsep baru terbuka bagi saya lewat rangkaian materi siang itu: Sejarah Komoditi.

Kisah yang dimulai nun jauh di timur Indonesia, tak kurang pada era kolonial ini, sesuai judulnya berkisah soal mutiara, dan mutiara adalah komoditi. Konsep ini disinggung di permulaan, sebagai pengantar sebelum kisah sebenarnya dimulai. Maka terperdengarkanlah kepada saya untuk pertama kalinya sebuah istilah berbunyi Sejarah Komoditi. 

Dengan mengambil tempat di Aru, kisah tersebut kurang lebihnya menjawab pertanyaan mengapa Aru bisa jadi ramai oleh perburuan mutiara. Keramaian yang menjadikan Aru kosmopolitan ini sebenarnya telah ada bahkan di abad ke 18 dan tak hanya melibatkan mutiara saja. Komoditi seperti teripang, tekstil, dan senjata juga bergerak disana. Ketika itu, pemerintah kolonial mendirikan semacam pos, dan menempatkan seorang wakil: Van Sluys. Dari arsip catatan-catatannyalah, pertanyaan-pertanyaan dalam riset ini terjawab satu persatu. 

Daerah yang sejak awal memang kosmopolis, sesuai dengan watak orang austronesia  pada umumnya yang berkecenderungan untuk memiliki mobilitas tinggi, dengan potensi alam yang dimilikinya, mendapat masalah soal ijin-perijinan dengan pemerintah kolonial. Hal ini menyebabkan hanya segelintir pedagang yang buang sauh disana. Namun lama kelamaan, pemerintah kolonial kewalahan soal perijinan, dan sebuah perubahan besar terjadi. Kontrak diambil alih oleh seorang penyewa dari Thursday Island-The Celebes Trading Company. 

Sejak kontrak diambil alih, pengusaha mutiara lokal rawan kalah. Pemerintah kolonial membuat aturan untuk melarang pengusaha diluar perusahaan pengontrak untuk memiliki akses. Selepas kontrak, daerah ini menjadi metropolitan, hingga saking metropolitannya, hampir berada di luar hukum kolonial. Harga-harga melambung tinggi dan uang pound (uang australia) lebih lumrah digunakan ketibang gulden. Hal ini terutama terjadi di Dobo, sehingga sangat jarang orang lokal yang tinggal disana. Dobo banyak dihuni oleh orang Filiphina dan Jepang yang bekerja pada perusahaan penyewa. Orang lokal yang tersisa disana pun bukan lagi pengusaha mandiri, tapi mereka yang sudah beralih jadi pekerja.

Perusahaan tersebut berkuasa hingga 1930. Selama itu, banyak kriminalitas dan pelacuran yang terjadi di Dobo, sementara daerah pinggirannya semakin terpinggir. Banyak perempuan Jepang terlibat dalam pelacuran baik di rumah bordil maupun sebagai isteri simpanan orang Eropa. Kriminalitas dan keterpinggiran orang lokal mau tak mau juga jelas disebabkan oleh stratifikasi pajak yang didasarkan pada ras. Stratifikasi ras juga digunakan pada akses terhadap minuman keras yang memang dibawa dari luar kepulauan. Atas barang yang tak pernah kehabisan penggemar itu, orang Eropa memiliki akses bebas, orang Jepang diizinkan setelah membuat dan memiliki klub minum, sedang pribumi tidak diizinkan. Hal ini membuat di tengah kondisi yang sulit, orang-orang pribumi banyak membeli miras selundupan dengan harga selangit. 

Kondisi yang terjadi di Dobo ini melupakan pengulangan atas pola yang sama yang terjadi di kota-kota pusat industri mutiara lainnya seperti di Broom, Australia. Sebagai contohnya, ketika itu ditunjukkan kepada audiens sebuah foto bioskop di Broom. Ketika aktifitas menonton film itu sedang dilakukan, barisan penonton dalam foto menceritakan banyak hal. Orang Eropa terlihat duduk di barisan terdepan dengan kursi-kursi yang bagus, sementara orang lokal di barisan-barisan paling belakang dan tanpa kursi. Mereka berdiri.

Kasus perusahaan yang telah melampaui kuasa negara ini banyak terjadi di Hindia Belanda. Bukan hanya soal The Celebes Trading Company, tapi juga perusahaan besar lain seperti Shell dan Billiton. Mereka seringkali mengintervensi negara soal kebijakan, demi membuat segalanya lurus dan lancar bagi mereka. Dalam persoalan Celebes Trading Company, kebebasan mereka merekrut pekerja multietnis menjadi salah satu buktinya.

Dari kisah yang panjang itu, muncul pertanyaan bagi saya: Inikah sejarah komoditi? Cuma perasaan saya atau memang mayoritas yang kita bicarakan disini adalah soal industri? Jadi sejarah komoditi itu apakah soal industri saja? Dimana sebenarnya letak batasan-batasan suatu uraian sejarah bisa disebut sejarah komoditi?
Sejarah komoditi adalah sejarah tentang suatu komoditi. Sebagaimana sejarah berbingkai objek benda yang lain misal sejarah fashion atau tentu sejarah kuliner, sejarah tetaplah soal manusia. Sejarah komoditi tak dilihat hanya dari segi industri, atau sekedar kapan ia pertama kali diperdagangkan, melainkan sebagai kacamata untuk menjelaskan soal manusia didalamnya. Sejarah industri adalah ketika objek benda tersebut diceritakan berkait dengan modal, sisi komersial, dan produksinya, tapi sejarah komoditi berbicara lebih jauh ketika benda itu belum bersangkut paut dengan hitung-hitungan material.

Dari mutiara misalnya, kita bisa melihat terpinggirkannya orang lokal dalam percaturan usaha mutiara Aru. Selain itu, kita juga bisa melihat bagaimana metropolisnya Aru bahkan sejak sebelum kedatangan The Celebes Trading Company, sesuai dengan watak penghuni austronesianya yang gemar bermigrasi. Orang-orang di Aru, jika ditanya kerap mengaku berasal dari Malaka, Jawa, dan Ternate. 

Selain itu, mutiara di Aru juga bisa menceritakan budaya-budaya orang lokal sebelum banyak terintervensi pihak luar. Mereka berkepercayaan memiliki isteri di bawah laut. Setiap kali berangkat melaut, mereka membawa oleh-oleh berupa piring putih yang dibeli di toko Cina. Piring itu dilarung, dan dianggap sebagai tukaran yang serupa putihnya dengan mutiara yang akan mereka bawa pulang. Kisah tentang migrasi orang Jepang ketika perusahaan telah ada nyatanya juga terungkap. Daerah selatan Jepang yang kurang produktif membawa mereka berlayar jauh mencari asa hingga ke Aru. Soal para PSK, ada yang berteori bahwa mereka mempelopori migrasi dan melakukannya untuk mengumpulkan modal lalu membangun usaha bersama suami di tanah air yang kemudian melatar belakangi berdirinya banyak perusahaan di Jepang pasca itu. Tapi Prof. Vickers bilang kasus itu tak terjadi di Dobo.


Diantara banyaknya informasi yang saya dapat hari itu, sejarah komoditi mendapat bold. Lagi-lagi saya mendapat pencerahan. Sejarah itu soal apa saja. Sebagaimana yang kerap digembar-gembor semasa awal kuliah, masuk sejarah adalah soal memakai kacamata, selepasnya kita bebas mau melihat apa saja.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong