Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Masakan

Sebuah Cerpen Aku agak ragu memasuki kamar kosku yang baru. Meski pindah atas rekomendasi seorang teman baik yang tinggal tak jauh dari rumah berlantai dua ini, aku masih sangsi kos ini jauh lebih baik dari yang lalu. Aku bukan pindah karena punya masalah, atau setidaknya, masalah itu hadir diluar diriku. Sejak awal semester lalu para penghuni kos sering sekali kehilangan barang. Yang hilang adalah smartphone, uang, bahkan laptop, bukan kaus kaki, sepatu, atau pakaian dalam. Barang-barang berharga ini jelas mengindikasikan kriminalitas, bukan sekedar kelainan psikologis seperti yang kerap dialibikan orang. Aku sendiri yang cukup berhati-hati soal barang-barangku pernah kehilangan isi dompet yang kutinggal sebentar di rak sepatu ketika sedang ke toilet. Jika sampai lulus aku tetap tinggal di sana, aku bisa jatuh miskin. Akan seperti apapun nantinya, tetap sulit untuk langsung optimis pada kos baru ini. Kamarku yang kedua dari pojok di lantai dua. Fasilitasnya kamar mandi dalam da

Cinta yang Tidak Merah dan Tidak Putih

Dialektika panjang yang saya masuki semenjak juga memasuki kelas-kelas di prodi ini ialah tentang nasionalisme. Suatu hal yang selama belasan tahun lamanya kami berlayar dalam nadi-nadi sekolahan ditasbihkan sebagai suatu roh yang merasuk ke jiwa, tapi kini harus kami pandang sebagai objek dari studi kami, tanpa sentrisme, sekalipun ia pernah menjiwai relung-relung hati kami. Ah jangankan sebuah paham, agama pun, sila pertama dalam pedoman negara kita, petunjuk hidup yang kaitannya dengan sang Maha Kuasa dipandang tak ada bedanya. Seakan separuh saja dari keseluruhan kerja kita yang bernilai ketika kita tak bisa melepaskan kacamata kita dalam memandang suatu objek kajian. Berpedoman untuk adil dan dekat dengan objektivitas, demikianlah kiranya semuanya mesti diusahakan. Pertanyaan-pertanyaan yang sekian lama berputar-putar dalam kepala semasa kritisme teredam di sekolah kini mulai menemukan jawabannya satu persatu. Dulu saya kerap bertanya-tanya, kenapa orang pintar di

Sejarah Komoditi

Gambar
Sebagai seorang yang belajar sejarah, patutnya saya sadar betul akan waktu, tapi untuk menjadi sadar nyatanya tak semudah itu. Belajar sejarah itu satu soal, dan kebiasaan sekian lama untuk selalu meleset dari takaran disiplin adalah soal lain. Saya sadar akan waktu, di saat tertentu, dan tidak di saat yang lain. Sebenarnya, persoalan menulis apa yang hendak saya tulis ini adalah soal lama, dan halang rintangnya bukan cuma waktu, tapi juga kesibukan lain, yang lebih, katakanlah, urgent . Siapa pula yang bisa mentolerir PPS dan UAS semester tiga? Maka tidakpun saya. Jadilah, tulisan di sekitaran bulan November ini terkatung-katung di lautan kepala saya sekian lama, bahkan hampir tenggelam diantara materi-materi ujian, data-data PPS, dan kenangan tentang seseorang di sana. Ah, tidak, yang terakhir itu bohong. Tulisan yang patutnya menjadi fresh report ini akhirnya menjadi post-factum . Maka maafkanlah saya. Tapi jangan khawatir, jika anda tak percaya ingatan saya, saya punya ca