Masakan
Sebuah Cerpen
Aku
agak ragu memasuki kamar kosku yang baru. Meski pindah atas rekomendasi seorang
teman baik yang tinggal tak jauh dari rumah berlantai dua ini, aku masih sangsi
kos ini jauh lebih baik dari yang lalu. Aku bukan pindah karena punya masalah,
atau setidaknya, masalah itu hadir diluar diriku. Sejak awal semester lalu para
penghuni kos sering sekali kehilangan barang. Yang hilang adalah smartphone,
uang, bahkan laptop, bukan kaus kaki, sepatu, atau pakaian dalam. Barang-barang
berharga ini jelas mengindikasikan kriminalitas, bukan sekedar kelainan
psikologis seperti yang kerap dialibikan orang. Aku sendiri yang cukup
berhati-hati soal barang-barangku pernah kehilangan isi dompet yang kutinggal
sebentar di rak sepatu ketika sedang ke toilet. Jika sampai lulus aku tetap
tinggal di sana, aku bisa jatuh miskin.
Akan
seperti apapun nantinya, tetap sulit untuk langsung optimis pada kos baru ini.
Kamarku yang kedua dari pojok di lantai dua. Fasilitasnya kamar mandi dalam dan
sebuah dapur umum. Yang membuatku lebih tak percaya lagi, sewanya hanya 75o
ribu per tiga bulan. Mungkin akan ada yang tidak beres juga disini, tapi
lagi-lagi karena aku percaya temanku, aku setuju dan pindah hari ini.
Bangunan
kos di sini menjadi satu dengan rumah sang pemilik. Sisi kirinya adalah rumah,
sedangkan sisi kanannya kamar kos. Karena itu, meski kos kerap kali sepi,
selalu ada suara-suara ramai dari sana. Terutama ketika mereka semua berkumpul
malam hari. Di pagi hari aku juga mulai terbiasa terbangun oleh aroma-aroma
masakan. Setelah itu mereka akan meributkan soal sarapan, berita televisi, juga
obrolan-obrolan pagi hari keluarga lainnya sebelum berangkat ke sekolah atau
tempat kerja masing-masing, dan bangunan ini kembali sepi.
Bau
masakan yang menguar hingga ke kamarku biasanya datang dari jadwal masak rutin
rumah tangga pada umumnya, yakni pagi dan sore hari. Akan tetapi hampir setiap
hari, selalu ada aroma lain yang datang di waktu-waktu tak menentu. Seringnya
pagi, sekitar sebelum jam 9 pagi, atau siang, setelah jam 1, yang merupakan
waktu-waktu ketika kos sedang sepi-sepinya. Sudah beberapa kali aku memergoki
ini. Tapi jika pulang ketika dapur kos yang terletak di pojok lantai 1 sedang
menguarkan harum masakan, terlebih parkiran cukup gelap, rumah pemilik kos
sedang sepi dan tak satupun kamar kos terbuka pintunya, aku lebih memilih untuk
naik lalu menenangkan diri. ‘Aku tak perlu tahu, apalagi jika itu hanya akan
membuatku terkejut’ batinku.
Atas
kejadian-kejadian itu, aku mulai berprasangka buruk kenapa kos di sini harganya
murah. Tapi semuanya menjadi terang benderang ketika aku kebetulan mendapati
seseorang yang ada dibalik aroma masakan itu ternyata adalah tetangga sebelah
kamarku. Ketika aku bilang padanya bahwa aku tidak menyangka kalau ini ulahnya
karena ketika bau harum ini tiba pintu kamarnya selalu tertutup, dia bilang,
‘jika dibuka, tikus atau kecoa bisa masuk, kamarku kayak tempat sampah’, lalu
kami tertawa bersama.
Semenjak
itu, aku semakin sering memergokinya bereksperimen. Kalau kuterka-terka,
levelnya sudah tidak main-main. Yang diolah bukan hanya mi instan sebagaimana
anak kos pada umumnya, tapi juga ayam, tuna, udang, kerang, jantung pisang,
kucai, belimbing sayur, dan banyak bahan-bahan lain yang bahkan kadang diluar
bayanganku. Koleksi bumbunya juga bukan sekedar cabai bawang, tapi juga
beberapa jenis rempah yang tak semua bisa kuidentifikasi. Kalaupun masak telur,
levelnya jauh dari sekedar dadar atau ceplok biasa. Bahan utamanya mungkin cuma
telur, tapi dalam sepuluh menit saja ia bisa menggabungkannya dengan komposisi
lain yang setelah jadi tak terlihat seperti masakan dari telur. Beberapa kali
aku diberi kesempatan spesial untuk ikut mengicipi. Dan seperti jam terbangnya,
rasanya juga tidak main-main.
Yang
turut mengagetkanku juga, dia cukup sering memasak sebelum kuliah. Bahkan
sebelum kuliah lapangan yang dimulai jam 7 pagi. Sempat atau tidak sempat
menyuap sarapan, dia akan membungkus sekotak bekal dari masakannya pagi itu.
Kan jelas sekali kalau ada orang penting dibalik kotak-kotak bekalnya itu.
Maksudku, yah, ah, dasar perempuan. Kalau sudah berurusan dengan yang semacam
itu, orang spesial begitu, bersusah-susah seperti apapun mereka rela.
Sebetulnya
pendapat semacam ini tak datang dari spekulasi asal-asalan. Semakin lama aku
tinggal di kos ini, semakin sering juga tanpa sengaja aku melihat dia memasak.
Jika sudah begitu, ia akan tersenyum, minta maaf karena sudah membuat ruangan
di sekitar dapur jadi sesak oleh aroma cabai yang menggelitik hidung, lalu
menawariku mengicipi. Ketika itu, aku mendekat untuk mengicipi, tak jarang aku
mendapati jari-jari tangannya yang memegang mangkok kuning oleh kunyit,
kuku-kukunya terkikis, matanya nanar memerah, dan dia, di laboratorium
kesukaannya sendiri ini terbatuk-batuk oleh eksperimen yang juga ia ciptakan
sendiri. Memasak bukan pekerjaan mudah, dan sudah pasti ada motif kuat dibalik
itu.
Kenyataan
itu membuatku penasaran sekaligus sok tahu. Entah sudah berapa kali aku
tersedak oleh pertanyaan yang terlalu ingin meluncur keluar setiap aku
mengicipi masakannya. Sederhana saja, aku cuma ingin tanya, ‘Sebenarnya kamu masak
untuk siapa?’ Pertanyaan yang sama juga pasti akan muncul dari orang lain kan?
Dari penghuni-penghuni kamar kos lain jika mereka mendapatimu memasak sesering
diriku, dari ibu kos andai dia ada di rumah di siang hari ketika kau biasanya
memasak, dari siapapun. Tapi entah mengapa pertanyaan itu selalu terurung.
Meski sepertinya sudah menjulur, ia akan tertelan lagi dalam-dalam. Ketika itu
terjadi aku akan memupuk sebentuk sesal yang muncul dengan meyakinkan diri
bahwa ya, sudah jelas kan kalau ia memasak untuk ‘seseorang’?
Setelah
sampai di kamar lagi, aku biasanya akan berbaring, lalu bertanya-tanya pada
diriku sendiri, apa aku betul-betul penasaran? Lantas kenapa pertanyaan itu tak
pernah berhasil terujar? Aku sudah yakin jawabannya apa, atau aku justru tidak
mau tau jawabannya karena... Ah, entahlah. Ayolah, dia kan cuma tetangga kos
ku.
***
“Aku
nggak terlalu kenal sih. Tapi diantara anak cewek, emang dia yang paling sering
pake dapur.” Eko, anak kos bawah yang kebetulan bertemu denganku di parkiran
fakultas yang akhirnya justru kutanyai soal si Penunggu Dapur.
“Kalian
nggak keberatan? Kan patungan gasnya sama.”
“Yaelah
pelit amat sih, yo. Gakpapa kali. Lagian lu tau alat masak itu punya siapa?
Yang baru-baru hampir punya dia semua. Udah gitu dapur juga bersih terus kalo
sama dia.”
“Tapi
gile ya, rajin dia.”
“Yaelah
cewek mah biasa, yo. Kaya nggak pernah dimasakin cewek aja.”
Well,
sepertinya aku memang tidak perlu tanya. Itu urusanmu yang mungkin terlampau
pribadi. Siapalah aku ini sampai berani-beraninya masuk demikian dalam ke
urusan motivasimu. Aku cuma anak kos
baru yang pindah karena sebelumnya bertetangga kos dengan maling. Dari sini
nampaknya aku memang harus mengambil langkah penuh perhitungan untuk mundur
perlahan. Entah kenapa, karena aroma masakanmu yang menyesakkan dari dekat tapi
harum luar biasa dari kamarku, karena rasa tingkat tinggi dari tiap sendok yang
kucicip, aku sudah terbawa melangkah terlalu dekat kepadamu.
***
Berhubung
ini hari sabtu, aku bangun agak siang. Ketiadaan jam kuliah membuatku merasa
jadi pengangguran tanpa beban. Pagi ini aku melewatkan harum kepulan dapur ibu
kos di pagi hari, seperti aku seringkali melewatkan kepulan dapur ibuku sendiri
dulu. Aku tak menyangka ketika sudah seperti ini, hal semacam itu jadi sangat mewah.
Rasa
lapar sekaligus rasa kehilangan momen wangi dapur membuatku mencari wangi dapur
lain. Setelah cuci muka, aku menuntun diri ke salah satu warung di dekat kos. Di
warung, tak biasanya kali itu aku bertemu si tetangga kos penunggu dapur. Dia
ke warung? Pasti ada yang salah. Aku menegurnya.
“Tumben
banget nemu kamu disini.”
“Eh
kak. Lagi males aja.” Waktu itu dia duduk di salah satu kursi sambil menyeruput
es teh, tapi tangannya sudah memegang plastik berisi bungkusan makanan.
“Yang
dimasakin lagi pulang kampung, ya?”
Wait,
ah sial.
Aku
kelepasan.
Bukankah
pertanyaan itu yang sudah kutimbang-timbang untuk selamanya kuurungkan kemarin?
“Eh,
siapa? Nggak kok.”
Dia
menyeruput estehnya lagi. Selepas itu dia menghela napas panjang. Aku salah
bicara, pasti salah bicara. Dia akan marah, bahkan mungkin akan menyiramku
dengan es tehnya.
“Pasti
deh, siapapun, kalo liat aku masak komentarnya sama. Emang harus gitu ya kalo
ada orang rajin masak?”
“Duh,
maaf deh kalo aku salah ngomong.”
“Nggak,
nggak papa. Udah biasa.” Dia memalingkan muka. Sial. Sudah kuduga dari awal
kalau ini ide buruk. Selepas ini, mungkin dia yang akan pindah kos, dan aku tak
akan pernah mencium aroma apapun lagi jika melewatkan jadwal dapur ibu kos.
Meski
menanyakan hal ini kuduga akan berdampak buruk, aku tetap tak menduga kalau
jawabannya tidak. Sebelumnya kukira dia cuma akan tak nyaman kalau kutanyai
urusan yang tergolong pribadi ini, atau nyaman-nyaman saja, lalu dengan wajah
agak tersipu dia bilang ‘iya, buat pacarku’, sehingga perasaanku yang tertohok
tak terkira. Jika memang bukan untuk siapa-siapa, lantas untuk apa? Perjuangan
sekelas itu, bangun pagi-pagi, kuku-kuku rusak, jari-jari kuning, bekas-bekas
luka teriris atau terciprat minyak, mata merah dan terbatuk-batuk, benarkah
jika bukan untuk siapa-siapa.
“Kak,
kalau aku masak, itu cuma buat aku sendiri.” terangnya, seperti baru saja
membaca pikiranku. “Aku nggak begitu cocok sama masakan sekitar sini, jadi aku
masak sendiri. Lagian masakan warung biasanya tiap hari gak pernah ganti menu,
aku gampang bosen orangnya.” Sekarang aku yang tercengang, jawaban macam apa
itu?
“Buat
kamu sendiri?”
“Iya.”
Dia tertawa. “Padahal aku egois, tapi orang banyak ngiranya aku tipikal yang
mengorbankan apa saja, lewat spekulasi macam yang kakak bilang tadi.”
“Yaampun,
aku kan udah minta maaf.”
“Nggak,
aku nggak maksud ngungkit. Toh bisa juga bener. Temenku sendiri kursus masak cuma
karena dia naksir cowok yang katanya suka cewek jago masak. Bayarnya mahal, 3 kali
seminggu, langsung pas pulang sekolah, dan temen kursusnya bule-bule.”
***
Dari
obrolan yang membuatku menghabiskan satu porsi nasi dengan cukup lambat tadi, aku
semakin terperangah dengan cerita-ceritanya. Baru kali itu kami banyak sekali
mengobrol. Setelah cerita soal temannya yang kursus masak tadi, aku jadi tahu
pandangannya yang cukup feminis. Secara jelas dia mengatakan kalau dia tidak
suka ketidak berdayaan semacam itu. Haruskah alasan ‘picisan’ semacam itu
mendasari sebuah usaha besar-besaran? Ia tak habis pikir usaha besar-besaran
macam apa yang cukup setara yang akan dilakukan orang yang ditaksir temannya
jika usaha temannya itu berhasil. Itulah kenapa ia cukup tersinggung tadi.
Kalau
tadi dia sempat bilang dirinya egois, aku membenarkan. Dari obrolan panjang
lebar tadi, ia tak segan memperlihatkan bahwa ia cukup keras kepala. Setiap
merespon umpanku, pendapat yang ia keluarkan pasti tidak akan bisa direvisi terlalu
banyak. Meski kebanyakan orang bilang masak itu merepotkan, ia justru sangat
mengerti kenikmatan dibaliknya. Bayangkan, hal yang paling membuatku tak habis
pikir pada awalnya, bahwa tidak ada orang lain yang menjadi motifnya, menjadi
sangat wajar ketika dia mengakui bahwa tangannya yang kuning dan kukunya yang
jadi jelek cipratan minyak dan goresan pisau itu semua untuk dirinya sendiri.
‘Menyantap hasil kerja keras itu manisnya tak terkira,’ katanya.
‘Daripada
punya suami yang kupuja-puji, aku lebih suka punya rekan. Kan lebih baik kalau
kami sama-sama suka memasak lalu memasak bersama di hari libur daripada sekedar
memberinya sesaji masakan hangat setiap hari tanpa membuatnya tahu banyak hal
dibalik masakan itu, sehingga langsung jantungan kalau aku lapor harga
kebutuhan dapur naik semua. Beberapa kali kuceramahi pun temanku itu tak
bergeming soal keputusannya. Dia mendewakan laki-laki yang ia suka, padahal
manusia tidak mungkin menikahi dewa.’ Kata-kata itu terus membuatku tak bisa
menahan tawa jika mengingatnya. Pandangan soal dirinya sebagai perempuan dewi
dapur yang manis bubar. Mereka berloncatan kemana-mana, beberapa diantaranya
bahkan terbang dan timbul-tenggelam di kegelapan, tapi dia banyak membuka
pikiranku.
Meski
kami jalan bersama ke kos, ia berhenti di ruang tengah dan mengobrol bersama
anak-anak kos lain sementara aku melanjutkan perjalanan ke kamar. Di kamar,
kata-katanya banyak terngiang lagi. Dasar, anak itu. Ternyata aku baru saja
mengenal orang paling aneh sepanjang hidupku. Selain soal teman-teman dan
pandangan hidupnya yang antikonservatif, ia juga bercerita banyak soal
keluarganya. Ketika ia membicarakan kebiasaan-kebiasaan mereka berkumpul di
dapur setiap minggu pagi, mengobrol dan memasak bersama sambil menyantap
kudapan, aku sadar ia baru saja menceritakan standar idealnya. Meski dari
argumen-argumennya ia terdengar seperti seorang feminis, ia cuma anak rumahan
yang sangat sayang keluarganya.
“Kalau ada orang dibalik motivasiku
memasak, mereka ibu dan ayahku, kak. Aku nggak bisa melupakan rasa masakan yang
membesarkanku selama ini dan berusaha mereplikasinya di sini. Itulah kenapa
dapur kos padat dengan eksperimenku.”
Iya,
dia masih anak-anak. Temannya yang kursus tadi juga hanya remaja polos yang
baru kenal cinta. Mereka belum tahu ada hal yang lebih gila dari sekedar usaha
belajar memasak mati-matian yang katanya tidak setara. Ibuku ditinggal ayah
kawin lagi ketika aku umur 6 tahun. Beliau perempuan yang sangat lembut tapi
tak sanggup menerima ada istri ayahku yang lain dirumah. Ia dicerai dan aku
dibawanya tinggal di kampungnya sejak itu. Selama sepuluh tahun lebih, ia
menopang hidup kami sendirian, menopang hidup seorang yang mewarisi darah
laki-laki yang sudah mengkhianatinya mentah-mentah, tapi ibuku tak pernah
mengungkit apapun. Ia bekerja, merawatku, dan menyayangiku dengan sejuta kata
hati tak terujar tanpa pernah melihat satu laki-lakipun, sementara istri baru
ayahku sudah beranak-pinak. Bukankah itu lebih gila dari sekedar kursus masak?
Ibuku bahkan menangisi foto ayahku sehabis sembahyang subuh. Setelah semua yang
dia lakukan, Ibuku masih mencintainya. Bukankah itu lebih gila? Tak segalanya
di dunia ini setara dan rasional seperti katamu, Penunggu Dapur. Tapi aku turut
mendoakan kalau kau mengimpikan hidup damai seperti di keluargamu.
Tiba-tiba
aroma tempe yang digoreng dengan bumbu sederhana berupa bawang putih dan garam
sampai di hidungku. Tempe seperti ini belum terlalu tua dan bentuknya pasti
sangat bagus, kakal dan tebal, dengan gurat-gurat pisau dan warna yang kuning
keemasan. Berikutnya, suara santan yang bergolak mendidih datang disusul aroma
lembutnya yang sudah bercampur aneka rempah. Perutku masih kenyang, tapi suara
ibuku tak henti memanggil-manggil. Aku memejamkan mata, dan sosok beliau dalam
balutan daster batik itu semakin jelas, tangannya turut memanggilku dengan
centong sayur yang digenggamnya.
“Gek ndang, jangane wes mateng.”
Ah
Mak, kalau dirimu sudah pergi sejauh sekarang, aku harus cari dimana sayur
nangka dan tempe gorengmu?
“Aku
kangen, Mak.” Aku mengujar, tapi suaramu malah memelan lalu hilang.
*****
ini fiksi non fiksi nih tokohnya? haha :D
BalasHapussukaa yu sama tulisanmu
Tokohnya mah fiksi semua mbak, latarnya doang yg non fiksi heheehe. Aa makaaasi mbak :* hehe
BalasHapus