Cinta yang Tidak Merah dan Tidak Putih
Dialektika panjang yang saya masuki semenjak juga memasuki
kelas-kelas di prodi ini ialah tentang nasionalisme. Suatu hal yang
selama belasan tahun lamanya kami berlayar dalam nadi-nadi sekolahan
ditasbihkan sebagai suatu roh yang merasuk ke jiwa, tapi kini harus kami
pandang sebagai objek dari studi kami, tanpa sentrisme, sekalipun ia
pernah menjiwai relung-relung hati kami. Ah jangankan sebuah paham,
agama pun, sila pertama dalam pedoman negara kita, petunjuk hidup yang
kaitannya dengan sang Maha Kuasa dipandang tak ada bedanya. Seakan
separuh saja dari keseluruhan kerja kita yang bernilai ketika kita tak
bisa melepaskan kacamata kita dalam memandang suatu objek kajian.
Berpedoman untuk adil dan dekat dengan objektivitas, demikianlah kiranya
semuanya mesti diusahakan.
Pertanyaan-pertanyaan yang sekian lama berputar-putar dalam kepala semasa kritisme teredam di sekolah kini mulai menemukan jawabannya satu persatu. Dulu saya kerap bertanya-tanya, kenapa orang pintar di negeri ini tak lagi kelihatan jejak kakinya. Katanya banyak, tapi begini-begini sajalah keadaan kita. Siapa pula memang yang tahu bagaimana keadaan kita yang sebenarnya lepas dari sentrisme media. Setidaknya kita selalu saja dengar ahli-ahli kita diberitakan mencetak emas di berbagai kompetisi, menyumbang suatu raihan dalam perkembangan ilmu pengetahuan termutakhir, tapi tak pernah sampai kami hirup barang bau penemuan itu.
Rupa-rupanya teori dan praktik adalah dua alam yang hanya bisa disatukan oleh gerbang paralel yang amat sulit dibuka. Suatu pengembangan sistem berdasarkan penelitian akan butuh waktu sangat lama, sementara politik selalu bergerak dengan segera. Tinggalah teori teori itu di alam berbeda, menggelinding jauh di belakang politik, kekinian, dan masalah-masalah yang menyertai hidup kita sekarang.
Di kekinian yang kering ini, dulu saya kerap berpikiran soal sesuatu yang utopis. Celakanya, alam utopia menggelinding jauh lebih lambat, berjarak amat sangat jauh di belakang sang teori dan nyaris tak terjangkau. Saya pikir, keadaan negeri yang begini-begini saja sejak lama, yang rindu akan kegemilangan, yang penghuninya hampir lupa kalau mereka punya negara bisa hijau jaya lestari dengan satu siraman mantera: Nasionalisme. Sayangnya utopia tak bersedia menjadi jawaban.
Ketika secara bertahap saya mulai bisa ikhlas untuk meletakkan nasionalisme di cawan preparat, saya mulai belajar melihatnya dari sisi yang lain. Bagaimana ia adalah sebuah sistem ciptaan manusia dengan segala kekurangan dibalik kelebihan yang selama ini saya percayai. Apa yang kita percayai? Negara kah? Bagaimana kita melihat negara saat ini? Orang tak lagi berburu nyawa para martir dengan seragam militer berbeda, tak lagi dengan vulgar mempertontonkan taring dan rauman demi daging segar koloni, tak lagi terbuka hanya pada satu sistem yang mereka percayai sepenuh jiwa dan menghakimi yang lain. Kita manusia segala bangsa telah melalui sejarah yang panjang untuk bertemu dengan inventori-inventori maha penting, lebih dari sekedar mesin uap atau mesin cetak, yakni humanisme dan toleransi.
Bertambahnya jumlah manusia, semakin padatnya dunia dan semakin tinggi persaingan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang tak berhujung membuat manusia sadar, saling membunuh tak akan menjamin kebahagiaan keturunan dari trahnya. Satu peperangan melahirkan jutaan dendam, dan satu dendam melahirkan jutaan peperangan. Monster bernama keinginan tak berhujunglah yang akhirnya harus ditundukkan. Setiap individu adalah critical counting unit yang memiliki hak sama satu dengan yang lain dan wajib menaruh hormat atas itu.
Meski utopia yang telah diteorisasi dan hendak dijangkau itu akhirnya menjauh lagi.
Bagaimanapun, lihatlah, ketika individu adalah sama, semua orang tak memiliki batas menjelajah dunia kecuali kesanggupannya, setiap negara mematuhi kode etik pasca perang dan melindungi semua orang baik dari warganegaranya maupun asing, apa lagi yang kita lihat dari negara? Sebuah institusi dimana kita dimiliki secara tertulis kah? Tak bisa lagi saya melihat pandangan merindu pada negara sebagaimana masa PD II saat ini. Saya sadar ada puluhan tahun terbentang diantaranya, tapi beginikah memang sesuatu harus terjadi?
Negara ini mengecap dua rezim terlama, dibawah Bapak Bangsa dan Bapak Pembangunan. Mereka memiliki pendukung lintas zaman masing-masing. Ada yang mencintai salah satu dan membenci yang lain, ada yang terkenang, ada yang mengidolakan keduanya dan ada pula yang membenci keduanya, tapi lihatlah betapa dalam mereka masuk ke sanubari rakyat. Betapapun rezim mereka diwarnai pertumpahan darah, intrik, dan polemik yang redam oleh terkunci paksanya jutaan lisan, jenazah mereka diantar jutaan mata berkaca-kaca ke peristirahatan yang terakhir. Cinta tak selalu indah, tak selalu manis, dan air mata itu mengisahkan segalanya.
Saya membayangkan berada dalam posisi mereka, ketika redam perang dunia masih semu, ketika sesuatu yang dinamakan dingin sesungguhnya membara dan ketika kebebasan masih terlalu bersyarat, wilayah luas yang terdiri dari ribuan pulau dan laut yang luas serta jutaan rakyat didalamnya ditunjuk oleh takdir untuk berada di bawah pimpinan mereka. Dalam kekacauan segala hal selalu sulit dikendalikan, dan kadang suatu kebaikan adalah pengorbanan di sisi lain. Saya tak tau pedalaman kisah dan hati mereka. Hanya Tuhan yang Maha Tahu atas segalanya. Tapi mereka manusia biasa. Sungguh sulit untuk percaya kalau mereka memutus suatu perkara atas kepentingan pribadi atau benar berlaku sejahat tuduhan-tuduhan yang diluncurkan. Benarkah setelah pertemuan dengan humanisme dan toleransi, manusia masih bisa meletakkan masa depan jutaan kepala diatas meja taruhan demi kepentingan pribadi?
Suka tidak sukanya orang lain itu tak bisa dihindari. Seorang pemimpin adalah pucuk menara yang dipandang sepanjang waktu dari segala arah. Ia bisa saja terlihat gagah di satu sisi dan payah di sisi yang lain, bermurah di satu sisi dan membuat kecewa di sisi satunya, yang jelas mustahil baginya untuk selalu baik dan prima di segala sisi dalam segala waktu. Tapi hampa betul rasanya melihat seorang pemimpin dipandang apatis sejak awal.
Tapi ketika negara pudar, pemimpinnya pun akan demikian adanya, dan begitu pula saya kira sebaliknya. Ketika hukum adalah hukum dunia, kepentingan utama adalah atas nama pribadi dan golongan, bukankah ikatan ini akan sampai pada akhir masa fungsinya dan akan digantikan oleh yang lain hingga kita akan mulai dari awal lagi? Atau sebetulnya nasionalisme memang hanya sekolah yang membantu sebuah negara melalui waktu-waktu kritis di masa remajanya?
Baik atau buruk, tidak lagi saya bisa menjatuhkan nilai. Yang jelas saya rindu negara dengan cinta seperti dulu, tapi rindu bukan untuk memaksanya kembali. Ini hanyalah cinta yang tak merah dan tak putih, tak menuntut dan tak rela, biarlah ia meraja pada waktunya, dan mari berbuat sebaik yang kita dapat untuk waktu yang akan datang.
***
Jika saya diizinkan memakai kacamata ini lagi, betapapun baik dan buruknya, betapapun sepelenya kenyataan bahwa yang mempersatukan kita hanyalah kesamaan nasib sebagai yang sesama dijajah, kita telah bersama-sama selama ini, dan jujur, saya ingin negeri ini penuh cinta untuk waktu yang lebih lama dan lama lagi.
Pertanyaan-pertanyaan yang sekian lama berputar-putar dalam kepala semasa kritisme teredam di sekolah kini mulai menemukan jawabannya satu persatu. Dulu saya kerap bertanya-tanya, kenapa orang pintar di negeri ini tak lagi kelihatan jejak kakinya. Katanya banyak, tapi begini-begini sajalah keadaan kita. Siapa pula memang yang tahu bagaimana keadaan kita yang sebenarnya lepas dari sentrisme media. Setidaknya kita selalu saja dengar ahli-ahli kita diberitakan mencetak emas di berbagai kompetisi, menyumbang suatu raihan dalam perkembangan ilmu pengetahuan termutakhir, tapi tak pernah sampai kami hirup barang bau penemuan itu.
Rupa-rupanya teori dan praktik adalah dua alam yang hanya bisa disatukan oleh gerbang paralel yang amat sulit dibuka. Suatu pengembangan sistem berdasarkan penelitian akan butuh waktu sangat lama, sementara politik selalu bergerak dengan segera. Tinggalah teori teori itu di alam berbeda, menggelinding jauh di belakang politik, kekinian, dan masalah-masalah yang menyertai hidup kita sekarang.
Di kekinian yang kering ini, dulu saya kerap berpikiran soal sesuatu yang utopis. Celakanya, alam utopia menggelinding jauh lebih lambat, berjarak amat sangat jauh di belakang sang teori dan nyaris tak terjangkau. Saya pikir, keadaan negeri yang begini-begini saja sejak lama, yang rindu akan kegemilangan, yang penghuninya hampir lupa kalau mereka punya negara bisa hijau jaya lestari dengan satu siraman mantera: Nasionalisme. Sayangnya utopia tak bersedia menjadi jawaban.
Ketika secara bertahap saya mulai bisa ikhlas untuk meletakkan nasionalisme di cawan preparat, saya mulai belajar melihatnya dari sisi yang lain. Bagaimana ia adalah sebuah sistem ciptaan manusia dengan segala kekurangan dibalik kelebihan yang selama ini saya percayai. Apa yang kita percayai? Negara kah? Bagaimana kita melihat negara saat ini? Orang tak lagi berburu nyawa para martir dengan seragam militer berbeda, tak lagi dengan vulgar mempertontonkan taring dan rauman demi daging segar koloni, tak lagi terbuka hanya pada satu sistem yang mereka percayai sepenuh jiwa dan menghakimi yang lain. Kita manusia segala bangsa telah melalui sejarah yang panjang untuk bertemu dengan inventori-inventori maha penting, lebih dari sekedar mesin uap atau mesin cetak, yakni humanisme dan toleransi.
Bertambahnya jumlah manusia, semakin padatnya dunia dan semakin tinggi persaingan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dan keinginan yang tak berhujung membuat manusia sadar, saling membunuh tak akan menjamin kebahagiaan keturunan dari trahnya. Satu peperangan melahirkan jutaan dendam, dan satu dendam melahirkan jutaan peperangan. Monster bernama keinginan tak berhujunglah yang akhirnya harus ditundukkan. Setiap individu adalah critical counting unit yang memiliki hak sama satu dengan yang lain dan wajib menaruh hormat atas itu.
Meski utopia yang telah diteorisasi dan hendak dijangkau itu akhirnya menjauh lagi.
Bagaimanapun, lihatlah, ketika individu adalah sama, semua orang tak memiliki batas menjelajah dunia kecuali kesanggupannya, setiap negara mematuhi kode etik pasca perang dan melindungi semua orang baik dari warganegaranya maupun asing, apa lagi yang kita lihat dari negara? Sebuah institusi dimana kita dimiliki secara tertulis kah? Tak bisa lagi saya melihat pandangan merindu pada negara sebagaimana masa PD II saat ini. Saya sadar ada puluhan tahun terbentang diantaranya, tapi beginikah memang sesuatu harus terjadi?
Negara ini mengecap dua rezim terlama, dibawah Bapak Bangsa dan Bapak Pembangunan. Mereka memiliki pendukung lintas zaman masing-masing. Ada yang mencintai salah satu dan membenci yang lain, ada yang terkenang, ada yang mengidolakan keduanya dan ada pula yang membenci keduanya, tapi lihatlah betapa dalam mereka masuk ke sanubari rakyat. Betapapun rezim mereka diwarnai pertumpahan darah, intrik, dan polemik yang redam oleh terkunci paksanya jutaan lisan, jenazah mereka diantar jutaan mata berkaca-kaca ke peristirahatan yang terakhir. Cinta tak selalu indah, tak selalu manis, dan air mata itu mengisahkan segalanya.
Saya membayangkan berada dalam posisi mereka, ketika redam perang dunia masih semu, ketika sesuatu yang dinamakan dingin sesungguhnya membara dan ketika kebebasan masih terlalu bersyarat, wilayah luas yang terdiri dari ribuan pulau dan laut yang luas serta jutaan rakyat didalamnya ditunjuk oleh takdir untuk berada di bawah pimpinan mereka. Dalam kekacauan segala hal selalu sulit dikendalikan, dan kadang suatu kebaikan adalah pengorbanan di sisi lain. Saya tak tau pedalaman kisah dan hati mereka. Hanya Tuhan yang Maha Tahu atas segalanya. Tapi mereka manusia biasa. Sungguh sulit untuk percaya kalau mereka memutus suatu perkara atas kepentingan pribadi atau benar berlaku sejahat tuduhan-tuduhan yang diluncurkan. Benarkah setelah pertemuan dengan humanisme dan toleransi, manusia masih bisa meletakkan masa depan jutaan kepala diatas meja taruhan demi kepentingan pribadi?
Suka tidak sukanya orang lain itu tak bisa dihindari. Seorang pemimpin adalah pucuk menara yang dipandang sepanjang waktu dari segala arah. Ia bisa saja terlihat gagah di satu sisi dan payah di sisi yang lain, bermurah di satu sisi dan membuat kecewa di sisi satunya, yang jelas mustahil baginya untuk selalu baik dan prima di segala sisi dalam segala waktu. Tapi hampa betul rasanya melihat seorang pemimpin dipandang apatis sejak awal.
Tapi ketika negara pudar, pemimpinnya pun akan demikian adanya, dan begitu pula saya kira sebaliknya. Ketika hukum adalah hukum dunia, kepentingan utama adalah atas nama pribadi dan golongan, bukankah ikatan ini akan sampai pada akhir masa fungsinya dan akan digantikan oleh yang lain hingga kita akan mulai dari awal lagi? Atau sebetulnya nasionalisme memang hanya sekolah yang membantu sebuah negara melalui waktu-waktu kritis di masa remajanya?
Baik atau buruk, tidak lagi saya bisa menjatuhkan nilai. Yang jelas saya rindu negara dengan cinta seperti dulu, tapi rindu bukan untuk memaksanya kembali. Ini hanyalah cinta yang tak merah dan tak putih, tak menuntut dan tak rela, biarlah ia meraja pada waktunya, dan mari berbuat sebaik yang kita dapat untuk waktu yang akan datang.
***
Jika saya diizinkan memakai kacamata ini lagi, betapapun baik dan buruknya, betapapun sepelenya kenyataan bahwa yang mempersatukan kita hanyalah kesamaan nasib sebagai yang sesama dijajah, kita telah bersama-sama selama ini, dan jujur, saya ingin negeri ini penuh cinta untuk waktu yang lebih lama dan lama lagi.
Komentar
Posting Komentar