Makan untuk Hidup atau Hidup untuk Makan?

Selamat malam atau selamat kapanpun anda membaca tulisan ini~

Lama sekali saya tak menyentuh blog ini. Ah, jangankan sebuah ruang dengan atmosfer dan tema baru seperti ini, kamar saya sendiri, blog pribadi yang usang dan berantakan di sebelah sana pun luput dari jangkauan beberapa waktu belakangan. Kalau boleh sedikit berbagi cerita sekedar untuk pembukaan, yang membedakan kuliah dan sekolah adalah panjang ekor tiap-tiap bidang studinya. Ketika sekolah, boleh jadi penderitaan baru berakhir jam 4 atau 5 sore, tapi buku pelajaran hanya narasi-narasi sederhana, soal hanya pengulangan dan pengulangan, evaluasi hanya soal kemampuan menghapalkan. Tidak ada buku, buku dan buku apalagi baca, baca dan baca. Apalagi sekarang  stratifikasi bacaan pun beragam, dari wajib, himbauan, saran, rekomendasi, hingga murni kecenderungan hasrat pribadi. Terdengar sederhana memang, tapi cukup membuat dua puluh empat jam bagai berlangsung lebih cepat dari semestinya. Untunglah dunia ini masih merupakan tempat dimana usaha selalu punya harga. Berkat pola baru ini, meski awalnya agak sulit diterima dan dijalani, sekarang saya mulai menikmati saat-saat membaca.

Di semester sebelumnya, mid semester selalu datang dengan tiba-tiba. Euforia rumah masih terasa, homesick masih parah, dan kuliah masih dalam porsi isi presens-mendengar ceramah, eh, tiba-tiba palang pintu rintangan pertama-sang midterm itu tadi- telah menyongsong di depan mata. Tapi perasaan dan kenyataan berbeda ada di semester ini. Sejak masih bergelut di semester dua, hantu bernama Metode dan Praktik Penelitian Sejarah I sudah menebarkan isu yang menggetarkan dinding nyali. Liburan pun diisi dengan putar otak kesana kemari, menarik napas dari udara yang sesejuk-sejuknya demi menangkap inspirasi illahi tentang tema-tema ajaib yang kiranya bisa meloloskan kami dari hantu ini dengan cara yang ringan dan menyenangkan.

Meski saya telah lebih dulu jatuh cinta pada tema kuliner, seperti ketika saya mulai membuat blog ini, segalanya sempat dan masih goyah. Tema-tema lain menggoda, keraguan-keraguan menakut-nakuti, dan hingga kini arah masih hilang dan semua masih bergerak tanpa orientasi. Tapi kabar bahagianya, ketika kemarin saya bermaksud mencari referensi untuk tugas teori, saya membaca sebuah tulisan menarik di sebuah buku. Yang menulis, sosok yang saya rindukan di kelas, sang profesor yang gaya mengajarnya luar biasa. Tulisannya tentang sejarah sosial Jakarta, yang notabene memiliki anak-anak tema yang telah lama menarik perhatian saya. Tak salah, tulisan ini benar-benar membuat saya terinspirasi. Pengertian soal segala hal bisa ditulis sebagai sejarah, sejarah milik semua orang, dan pilihan ada ditanganmu seketika kembali lengkap dengan semangat yang berapi-api. Terlebih lagi, untuk menggambarkan bagaimana prinsip sejarah sosial bisa memberi penggambaran mengenai aspek yang sangat luas dan beragam dari satu tema kecil, beliau mencontohkan kebiasaan makan. Saya tak mengutip secara penuh karena bukunya memang hanya pinjaman dan tak lagi ada pada saya, yang jelas disana beliau bilang kalau dari wacana mengenai kebiasaan makan, ada unsur tradisi, intervensi kebudayaan, ekonomi, dan pembagian kerja dalam keluarga yang kaitannya dengan studi gender. Ketika itu sekali lagi, saya jatuh dalam angan-angan akan surga rasa.

Dikarenakan oleh runtutan kisah diatas, pikiran saya akhir akhir ini mulai kembali berputar pada sebuah terminologi sederhana yakni 'food'. Secara historis, saya belum menyadari saya berada dekat sekali dengan terminologi ini setidaknya sampai di SMP. Saya sempat benci memasak terutama soal menggoreng yang beresiko menyakitkan. Saya sempat benci dapur terutama soal mencuci piring, peralatan tajam, dan mata pedih. Saya sempat memfonis beberapa sayuran tidak saya sukai dan tak sekalipun saya berkenan mencobanya. Tapi ketika SMP-SMA, ketika teman-teman sepermainan mulai memiliki kebiasaan menginap dan bereksperimen soal masakan. Dan tanpa sadar, di dapur siapapun kami berlaga, saya selalu berada di garda terdepan.

Suatu hari di hari kesekian kami berksperimen di dapur salah seorang teman, ibunya menjuluki saya si tukang masak. Ketika itu saya sadar, kalau tempat, suasana, dan orang di sekitar saya hanya berganti, tapi saya telah memulai kebiasaan seperti ini, untuk dekat dan bersatu dengan proses menciptakan hidangan dan makanan itu sendiri bahkan sejak kanak-kanak. Mencari tahu soal 'food' dari sudut pandang saintifik hampir seperti menelusuri masa lalu dengan kacamata yang berbeda.

Pangan adalah kebutuhan dasar manusia, satu dari trio primer yang diisinya bersama sandang dan papan. Namun dari ketiganya, pangan jelas yang paling mendasar dan pertama. Kalau papan kaitannya dengan mempertahankan eksistensi dan kebutuhan terhadap rasa aman, dan sandang kaitannya dengan kesehatan dan etika, kebutuhan dasar untuk hidup sebagai mahluk hidup yang butuh energi pada pangan muncul jauh lebih dulu. Bahkan, andaikata teori evolusi itu benar, pangan sudah dibutuhkan manusia sejak mereka masih berwujud primata berambut lebat dengan kerja otak sederhana.

Dengan kedudukan se-krusial ini, pangan telah menyertai kisah hidup manusia sejak manusia pertama. Perkembangan apa yang dimakan manusia bersama teknologi yang mendampinginya menjadi bukti tahapan kompleksitas pemikiran manusia dan rekaman sejarah tertua. Sebagai salah satu dari trio primer, kedudukan manusia terhadap pangan atau sebaliknya mungkin "Makan untuk Hidup". Manusia-manusia pertama, dengan teknologi dan pilihan pangan yang sederhana makan untuk mendapatkan energi agar dapat beraktivitas. Karena secara esensi, memang demikianlah sebab dan kerja tubuh ketika mengonsumsi sesuatu. Namun manusia memiliki akal budi yang kian berkembang. Persaingan antar manusia, keterbatasan varian dan kuantitas, ecenderungan untuk bosan dan keinginan untuk mendapatkan apa yang belum dimiliki, merasakan apa yang belum dirasakan membuat teknologi pangan berkembang baik dalam hal produksi maupun pengolahan.

Ketika struktur masyarakat yang semakin besar dan kompleks terbentuk, makna 'food' menjadi juga kian kompleks. Yang menjadi makanan pokok adalah yang produksinya paling banyak dan memungkinkan secara nutrisi. Pertanian membuat setiap wilayah memiliki spesialisasi komoditi, dan karenanya transaksi pun terjadi selain karena sebab-sebab besar yang selama ini selalu dinarasikan, juga karena selera masyarakat, keingintahuan mereka akan rasa baru. Perbendaharaan rasa mereka yang kian banyak membuat mereka memiliki beberapa daftar teratas sebagai favorit. Kemunculan masyarakat berselera membuktikan bahwa mereka memiliki akses yang baik terhadap pangan dan kemampuan untuk menonsumsi bukan hanya yang sekedar mereka butuhkan, melainkan yang mereka inginkan. Hal ini merubah struktur kalimat ungkapan tadi. Kalau dulunya manusia makan untuk hidup, sekarang sepertinya kebalikannya lah yang lebih benar.

Di belahan dunia manapun, perkembangan sejarah selalu dihiasi dengan pertempuran. Kemenangan dan kedudukan yang lebih superior atas yang lain menjadi yang dicari manusia. Brutalitas antar manusia demi kejayaan terus terjadi dari masa ke masa sampai humanisme diakui. Ketika sebuah masyarakat, kerajaan, atau kelompok tertentu mencatat sejarah dari masa pembentukan, kejayaan, hingga keruntuhannya, aspek-aspek yang menyertai selalu merupakan wacana-wacana besar seperti politik, ekonomi, dan militer, padahal mereka hanya sekumpulan manusia yang pada esensinya hanya perlu makan untuk hidup.



'Makan untuk Hidup' ada dalam warna yang sederhana. Manusia adalah makhluk hidup yang perlu energi untuk bekerja demi menghasilkan makanan yang bisa memberi energi lagi untuk kembali bekerja. Perputaran hidup hanya dua puluh empat jam, sejak matahari terbit hingga terbit lagi, dan perkembangan serta perubahan terjadi tapi dalam tempo yang sangat lambat. Dalam waktu-waktu setlahnya, setelah manusia semakin banyak, terbagi dalam kelompok kelompok dan mulai mengenal konflik dan saling menginginkan menjadi lebih dari yang lain, istilah 'makan untuk hidup' mencerminkan kekalahan, keterbatasan, dan  keterkekangan.

Sebaliknya, 'Hidup untuk Makan' mengindikasikan adanya kekuasaan sebagai pihak yang menang. Pertumpahan darah dan pengorbanan atas segala macam hal pada akhirnya berlabuh pada kekuasaan atas pihak yang lain, yang memberi akses tak terbatas, yang memberi perbendaharaan rasa lebih banyak, yang menyediakan padang ilalang luas bagi selera-selera untuk  berlarian bebas.

Selera, yang erat kaitannya dengan hasrat dan keinginan, adalah kebutuhan primer manusia di masa selanjutnya lebih daripada sekedar pangan secara esensi. Dalam selera ada kata menang dan kalah. Hidup akan menjadi baik bagi yang menang, karena ia akan memiliki akses yang lebih luas terhadap apapun dibanding yang kalah. Salah satu pihak akan menemui lawannya yang lain, mengalahkan atau dikalahkan, hidup untuk makan, atau makan untuk hidup.


Yuanita Wahyu Pratiwi
23 September 2014



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong