Kerah Biru
Beberapa hari lalu aku bertemu teman lama yang jauh lebih muda dariku. Dia mampir setelah wawancara kerja. Perjalanan yang ia tempuh untuk ke kota ini tidak dekat. Selepas ini, ia masih harus mengejar kereta terakhir hari itu untuk pulang. Sebagaimana seseorang yang pulang dari wawancara kerja, dandanannya rapi. Bahkan riasannya bagus sekali. Ia lulusan sekolah kecantikan dan posisi yang ia lamar adalah karyawan klinik kecantikan.
Melihatnya waktu itu, perasaanku campur aduk. Di satu sisi,
aku tidak percaya anak yang lahir waktu aku sudah di pertengahan SD sudah
sebesar ini. Dia sudah memiliki beberapa pengalaman kerja di beberapa kota
berbekal keahlian yang dia dapat dari sekolahnya. Kali ini ia mencoba peruntungan
di sebuah kota yang asing dengan penuh keberanian. Aku juga tahu betul dia anak
yang begitu disayangi di keluarganya dan tumbuh dengan baik. Keluarga kami dekat,
jadi aku juga bisa merasakan kebanggan yang sama soal anak ini.
Di sisi yang lain, aku khawatir karena ia akan menjadi kelas
pekerja di kota ini, kota yang upah minimumnya kecil. Sebuah keanehan, karena mengingat
ini bukan kota industri, kebanyakan kegiatan ekonomi ada di sektor jasa, dan sektor
jasa melayani kelas menengah ke atas, tetapi mereka bersikukuh membayar rendah
pekerjanya. Bahkan di kota tempat anak ini bekerja sebelumnya, yang jelas-jelas
upah minimumnya lebih dari dua kali lipat kota ini, ia tetap dibayar di bawah
itu. Sepertinya hukum kesejahteraan pekerja belum menyentuh industri yang meski
skalanya menengah atau kecil ini, posisinya sedang begitu baik di ekonomi negeri
ini.
Aku merasa di kota ini, atau bahkan di negeri ini secara
keseluruhan, pekerja kerah biru dianggap tidak berhak dihormati. Aku menulis
ini di sebuah kafe baru yang cukup bagus. Tentu di kota yang sejak awal kita
bicarakan. Di pintu masuk, setiap pengunjung disambut oleh seorang greeter yang
kualitas kerjanya luar biasa. Harga kopinya memang sekitar dua kali lebih mahal
daripada di kafe swalayan. Jadi mungkin bayaran pekerja di sini memang cukup tinggi.
Tetapi tetap saja, bahkan setelah diberi pelayanan begini rupa, di tempat yang
setenang dan sekeren ini, ada saja pelanggan yang terdengar cukup rewel.
Ini membuatku mempertanyakan bagaimana sikapku kepada
pekerja kerah biru di setiap tempat yang aku datangi. Di dalam darahku sendiri,
tidak ada darah lain selain darah mereka. Mereka adalah orang tua dan orang-orangku
sendiri. Selama sepuluh tahun terakhir, aku telah bersekolah begitu lama, lalu
bekerja pada sektor-sektor kerah putih. Menerima keramahan dan kerja keras para
pekerja kerah biru, para greeter, pelayan, dan pramuniaga terdengar seperti
kerjasama transaksional biasa. Kita membayar jadi kita berhak atas itu. Mungkin
bagi banyak orang, berhak pula kita menuntut sebesar-besarnya setiap ujung dari
hak yang telah kita beli dengan menjadi begitu njelimet dan rewel, tanpa perlu sadar
kalau kita sedang mempersulit hidup orang yang juga punya seribu satu masalah sama
seperti kita.
Apakah semua persoalan hidup kita begitu sulit sampai kita merasa telah jauh melampaui mereka. Dalam sebuah keluarga kelas menengah ke atas, mungkin profesi kerah biru seperti dongeng. Tidak ada orang-orang yang cukup dekat dengan mereka yang mengalami menjadi fondasi terbawah ekonomi. Para kerah biru adalah orang-orang di-outsource untuk urusan remeh temeh mereka sehingga urusan penting mereka berjalan lancar. Jarak ini mempersempit ruang untuk berempati. Sebagian kemanusiaan kerah biru dianggap fiksi atau sketsa menarik yang bisa disimak sesekali tetapi bisa dilupakan untuk sebagian besar waktu.
Ide kerah biru sendiri sebetulnya mengerikan. Manusia dengan
segala kompleksitasnya direduksi menjadi skrup kecil mesin ekonomi raksasa yang
tidak punya ruang berkembang. Pekerjaan mereka mudah, oleh karena itu
bayarannya kecil, karena ketika mereka pergi, akan ada jutaan orang lain dalam
level ini yang mengantri untuk menggantikan. Naasnya dengan kita menerima jika upah
rendah, dengan kita menjadi terlalu rewel terhadap pekerjaan mereka, dengan
kita percaya bahwa para bawahan di seluruh negeri ini tidak berhak atas rasa
hormat, kita mengamini betul ide mengerikan tentang kerah biru tadi.
Mungkin sudah dalam waktu lama, ketika aku merantau ke kota
lain lalu menjadi bagian pekerja kerah putih, aku berhenti memikirkan ide ini
dan “take for granted” kontribusi setiap pekerja kerah biru di masyarakat. Tetapi
di hari itu, di hari teman lamaku berkunjung, aku tertohok benda tak kasat mata
tepat di dada. Aku lupa betapa sakit rasanya sebentar-bentar membenarkan baju
dan terus-terusan menunduk tak percaya diri ketika berada di tengah-tengah
masyarakat kelas atas sebagai kerah biru. Aku lupa betapa membingungkan dan menyesakkannya
menebak-nebak seberapa besar urusan dan masalah orang-orang dengan kelas sosial
lebih tinggi sehingga masalahku begitu kecil dan bisa dikesampingkan. Rasa
sakit itu sebetulnya tidak perlu, tetapi sepertinya masih terus-terusan dirasakan
banyak orang. Aku lupa rasanya ketika aku tidak mengenal banyak kerah biru di
kota ini. Tetapi semua perasaan kembali sore itu. Temanku, orang tuaku,
keluarga dan kerabatku, serta setiap kerah biru di dunia ini adalah orang-orang
yang disayangi dan dirayakan, yang tumbuh dengan mengesankan, dan menjalani
hidupnya dengan terhormat. Ah, semua orang yang menjalankan perannya dengan
sungguh sungguh berhak atas hidup terbaik di bumi ini!
Komentar
Posting Komentar