Periodisasi hidup beberapa tahun belakangan
Bagaimana bisa rumus-rumus hidup klise yang kudengar sepanjang hidupku mulai masuk akal. Aku mulai melihat hidup ini sebagai sebuah perjalanan. Aku mulai membaca diriku seperti sebuah buku. Buku sulit yang ternyata meski kumiliki sejak lahir, belum pernah benar-benar aku mengerti. Ia rumit dan butuh berlapis-lapis tafsir. Alat tafsir itu, segala persenjataan metodologis untuk membaca diriku sendiri belum pernah kumiliki. Sehingga apa yang terlihat selama ini dan saat ini begitu berbeda. Sekian banyak amunisi metodologis yang telah mengekspos bentuk-bentuk asing diriku kepadaku, kutebak baru sedikit dari yang sebetulnya ada. Alat-alat itu tidak kudapatkan di toko, pun melalui pemberian orang, terlebih lagi lewat tips dan trik. Ia muncul seperti letupan gelembung hadiah hiburan dalam game ketika satu level telah aku selesaikan. Aku tidak pernah mengira hal selain koin-koin hadiah yang sengaja kukumpulkan, yang jumlah spesifiknya sudah disebut di kontrak awal sejak misi ditawarkan, berguna. Rupa-rupanya alat-alat aneh dalam gelembung itu berguna, sangat berguna, untuk menyelami sebuah lautan dalam dalam diriku.
Ketika remaja, usia
belasaan menengah sampai akhir, seluruh dunia seperti musuh jika memiliki visi
berbeda denganku dan saingan jika visinya sama. Karena kehidupan sosial seperti
piramida tinggi yang curam, dan karena aku sadar aku mudah kehabisan napas dan
tidak punya terlalu banyak stok rasa percaya diri, aku fokus menemukan titik
ternyamanku dan bertahan di gua itu selama mungkin. Aku tidak peduli soal
piramida yang meninggi atau melandai, soal apakah guaku sekarang naik ke atas
atau semakin di bawah. Aku menginventarisasi hal-hal yang bisa kukontrol dan
bersekutu dengan mereka. Aku bertahan dalam gua ini sangat lama. Bagian
dalamnya kubangun seperti sebuah kerajaan. Sesekali aku keluar untuk menemui penghuni
gua lainnya dan memandang rendah pada setiap orang yang menjalani hidup berbeda
denganku. Dari masa ini, aku mewarisi pengetahuan tentang rasa nyaman dan
kemampuan untuk melindungi diri.
Di usia 19-20 tahun
aku mulai lebih sering meninggalkan gua itu. Lebih tepatnya, banyak sekali
dipaksa untuk meninggalkan gua itu. Sebetulnya aku mulai jemu dengan gua dan
tertarik dengan kehidupan luar. Pelan-pelan aku menyusun rencana meninggalkan
gua, tetapi itu masih akan terjadi dalam waktu lama. Aku juga mulai kehilangan
koneksi dengan penghuni gua lain. Meski menjalani hidup yang mirip, kami
menghabiskan sebagian besar waktu sendiri. Dunia di kepala kami menjadi begitu
besar dan begitu rumit untuk dikeluarkan. Ketidak mampuan mengeluarkan isi
kepala itu mengenalkanku pada kesepian dan keinginan untuk berkoneksi dengan
orang lain. Untuk pertama kalinya, aku mengizinkan beberapa orang asing, setelah
kuseleksi sedemikian rupa, yang beberapa tidak punya samasekali latarbelakang
penghuni gua, untuk melihat sisi lemahku. Aku mengakui aku tidak tahu banyak tentang
hal yang mereka bicarakan. Dulunya, hal seperti ini terlihat seperti bahan
olok-olok. Karena aku adalah satu-satunya orang yang tidak tahu diantara banyak
sekali orang yang tahu. Sekarang, aku melihat mantan penghuni gua yang sangat
bervariasi. Beberapa diantaranya samasekali tidak terlihat seperti bekas penghuni
gua. Yang para mantan penghuni gua ini pelajari adalah empati dan kerendahan
hati. Kami semua takjub pada perbedaan yang ada diantara kami, sehingga sangat merayakan
kecocokan-kecocokan kecil. Di usia-usia ini, untuk kali pertama sepertinnya aku
menemukan teman-teman yang tidak berhobi sama. Aku belajar pertama kali bahwa kita
bisa berbagi soal pengalaman, soal luka, soal kesulitan. Dan bahwa ternyata itu
sama melegakan dan menguatkannya, sama terasa baiknya dengan berbagi tawa dan
kebahagiaan seperti biasanya. Beberapa teman lamaku sesama penghuni gua dari
masa sebelumnya berevolusi ke fase ini bersamaku.
Pada babakan
setelahnya, sekitar usia 20-24 musuh utamaku adalah diri sendiri. Masa-masa
eksplorasi mulai beralih ke masa-masa penuh pertanggung jawaban. Aku mulai
mengecilkan suaraku, lebih banyak diam dan berpikir daripada main-main. Pada
masa ini aku menyadari bahwa bukan dunia yang selama ini jadi musuhku, tetapi
diriku sendiri. Koneksi baru dengan para mantan penghuni gua telah membuaiku
dengan dunia main-main. Seketika aku belajar banyak cara menikmati hidup dari
yang sebelumnya aku tahu. Berkat skill dari masa ini aku mulai bisa membangun
hubungan baik dengan orang-orang di dunia professional. Aku mulai berpikir soal
itu, soal hal paling serius yang bisa kupetakan dari masa depanku: karir! Tapi
ia tak hanya butuh keberanian, bahkan tidak hanya butuh takdir seperti yang
dulunya kupercaya. Oh bayangkan, selama jadi katak dalam tempurung gua itu aku
hanya menanti takdir seperti ia akan datang tanpa kujemput lalu menghadiahiku
dengan segala berkat dalam hidup meski tanpa ditebus usaha. Mungkin banyak
orang masih berpikir demikian soal takdir, mungkin sebagian dari dirku juga
masih melakukannya. Tidak sepenuhnya salah. Tetapi, pemahaman fatalistik seperti
ini tentang takdir akan menghasilkan dunia yang hitam-putih dan tidak adil.
Kita akan merasa menang ketika nasib kita baik, lalu terpuruk jika sebaliknya,
tanpa jalan keluar apapun. Pada masa ini, aku mencoba menyeimbangkan keberanian
dan usaha yang konsisten. Aku telah belajar bahwa aku tidak istimewa, aku tidak
memiliki takdir yang lebih baik dari yang lain, bahkan bahwa takdir yang lebih
baik itu tidak ada. Ketika semua sekuritas itu direnggut, aku hanya punya
diriku. Aku bahkan tidak percaya diri bahwa aku punya kualitas seperti ramah,
baik, dan menyenangkan. Masa-masa ini banyak mengenalkanku pada titik-titik terendah
dalam hidup yang harus kualami ketika betul-betul sendirian. Jika tidak punya
apapun dan siapapun, juga garansi takdir yang baik, bahkan umur yang belum
tentu panjang, yang aku punya hanya hari ini, diriku, dan keberanianku untuk
mencoba. Masa-masa ini mengajarkanku tentang buah kerja keras dan konsistensi,
juga tentang takdir yang bisa dibentuk, meski dengan demikian “Impian berarti
bekerja” katanya Paulo Coelho.
Masa masa itu mengajariku
tentang aspek rasional dari mimpi. Di akhir periode ini, secara tiba-tiba dan
bertubi-tubi, aku disuguhi semeja penuh hidangan mimpi masa remajaku: Eropa, pendidikan
master di universitas terbaik yang sudah berdiri sejak abad pertengahan,
kesempatan kickstart karier peneliti yang aku impikan, bahkan detil-detil
menakjubkan seperti perjalanan ke kota-kota kecil di Prancis, menyelami satu
toko loak ke toko loak lain, dan jatuh cinta untuk pertama kalinya pada perwujudan
paling utuh dari tokoh utama laki-laki di novel yang kukarang sepanjang usia
belasan. Diantara aku dan suguhan itu, yang awalnya menghalangi hanyalah tirai
tipis ‘ya’ dan ‘tidak’ dari pertanyaan ‘apakah aku sanggup memberi diriku
kesempatan untuk mengalami semua ini?’
Sekarang aku ada di
masa baru yang dimulai sejak aku meninggalkan Eropa. Aku tidak tahu betul masa
ini soal apa karena sepertinya aku masih cukup jauh dari menyelesaikannya. Data-data
yang aku punya sebetulnya belum cukup banyak untuk berefleksi. Penanda yang
cukup mudah adalah, setelah 7 tahun tinggal sendiri, sejak aku berusia 24 tahun
sampai sekarang, berarti sudah 3 tahun, aku selalu tinggal bersama orang lain.
Ini seperti level selanjutnya tentang keterbukaan setelah pertama kali keluar
gua di usia 19-20. Aku bukan hanya harus menemui orang lain secara reguler,
tapi betul-betul berbagi ruang hidup dengan mereka. Dari tantangan baru ini aku
belajar banyak soal kompromi dan toleransi. Lalu aku bertemu beberapa orang
yang tinggal sendiri jauh lebih lama dariku, yang menjadi begitu kuat tetapi dingin
dan kaku, sehingga aku bersyukur aku memiliki kesempatan yang sebelumnya tidak
aku sukai ini. Level selanjutnya setelah terbiasa adalah ketergantungan. Di
tahun pertama aku selalu menantikan waktu-waktu ketika aku sendiri, tetapi
sekarang aku mulai lebih menyukai diriku yang sedang bersama orang-orang
kesukaanku. Meski masih kerap membuat gugup setengah mati, menemui orang-orang
baru menjadi tugas yang sedikit lebih mudah berkat fase berbagi ruang hidup
ini.
Tema besar misi ini menurutku
adalah fleksibilitas dan hubungan dengan manusia lain. Aku sudah tahu sejak
lama bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri. Tetapi sebatas teori. Saat ini ada
pemahaman level selanjutnya tentang itu. Terutama bahwa semakin aku membaca
diriku, aku mulai kehilangan sosok stabil dan bertanggung jawab dari fase
sebelumnya. Manusia ternyata adalah entitas yang begitu cair, yang identitasnya
berlapis-lapis dan tumpang tindih, yang hatinya mudah diputar balikkan setiap
waktu. Jadi masuk akal kalau kadang kita menjadi versi berbeda dari diri kita
dengan bantuan orang lain dan bisa jadi itu versi yang lebih baik atau lebih
kita sukai. Dalam berbagai aspek lainnya, kerelativan fase baru ini juga sangat
membingungkan. Untuk pertama kalinya aku betul-betul mengalami bahwa kegagalan bukan
hal yang buruk. Ia sesuatu yang mengecewakan, tetapi betul tidak menetukan
apapun. Kadang ia membuka pintu-pintu lain. Kegagalan juga bisa dikenakan
dengan bangga, seperti luka perang, sebuah penanda kalau kita tidak menyerah
pada kehidupan bagaimanapun beratnya ia menghadang kita.
Pada masa ini, aku
juga belajar, bahwa saking labilnya manusia, bertahan hidup saja sudah
merupakan prestasi. Hal-hal jauh dari masa lalu bisa menentukan bagaimana kita
bersikap dan menyikapi orang lain hari ini. Semua orang bukan hanya tidak sempurna,
tetapi penuh luka, dan kita membawa luka-luka itu kemanapun, ketika bertemu
dengan siapapun setiap hari. Kita mengembangkan berbagai mekanisme supaya luka
itu tidak terlalu nampak, supaya kita tidak terlihat terlalu menyedidhkan,
dengan menutupinya dengan sesuatu, dengan menghindari setiap tikungan tajam
yang melempar kita ke suatu masa yang pilu, atau memakai baju tebal
berlapis-lapis supaya tusukan apapun tidak akan melukai kita. Kita merancang
jalur hidup yang aman, hanya untuk dilempar-lempar lagi dan dipaksa belajar,
dipaksa lebih kuat, karena entah bagaimana kita selalu meremehkan kekuatan kita
sendiri. Karena semua orang punya kisah sedihnya sendiri, aku jadi lebih
percaya diri setiap melangkahkan kaki. Di saat-saat seperti ini, ketika melihat
anak-anak lebih muda yang peragu, yang jalan dengan langkah kecil-kecil, celingukan
dan sedikit-sedikit membetulkan baju, aku ingin bilang kalau mereka tidak melakukan
kesalahan apa-apa. Bahwa improvement tidak sama dengan repairment.
Ketika aku telah
merasa menjadi manusia paling bebas di antara anak-anak muda peragu, aku
bertemu sebait ajaib dalam lagu Haruka Kanata:
kokoro wo sotto hiraite
gyutto hiki yosetara
todoku yo kitto tsutau yo motto sa aa
Artinya kira-kira,
kalau kau mau membuka dirimu, perasaanmu akan sampai.
Pertemuan dengan
sebait lirik ini juga merupakan sebuah kebetulan yang indah. Dalam suatu sesi
telepon malam-malam dengan dua teman baikku, sebuah iklan konser band Asian
Kung-fu Generation muncul di timeline salah seorang diantara kami. Entah
dirasuki apa, tiket yang tidak murah itu tidak cukup membuat kami gentar menyambut
impulsivitas untuk menyerbu konser ini bertiga. Dalam banyak kesempatan, aku
selalu jadi si paling tidak impulsive. Cenderung si paling susah diajak
spontan. Tetapi kali ini, aku menyambut begitu saja. Aku melepaskan ikatan-ikatan
kencang di hatiku sekali saja, aku keluar dari hidup yang penuh kontrol sebentar
saja untuk bilang ‘ayo’. Karena si pengganjal bilang ayo, mungkin mereka jadi bersemangat.
Kami segera beli tiket malam itu juga.
Asian Kung-fu Generation bukan band paling favorit. Kalau boleh
memilih, aku lebih suka L’arc En Ciel atau Aqua Timez (yang sayangnya sudah
bubar). Beberapa minggu sebelumnya ada konser Flow, yang lagu-lagunya terang
lebih kukenal dan kusukai, tetapi aku tidak sebersemangat ini. Pada malam membeli
tiket ini aku dikuasai spontanitas, dan memiliki teman-teman hebat untuk
berbagi spontanitas adalah hal yang ajaib soal konser ini. Selain itu tentu, sebuah lagu mereka yang legendaris berjudul Haruka Kanata yang mampu menjadi satu-satunya alasan solid bagi kami untuk berangkat, dan rupa-rupanya adalah batu penting dalam perjalanan spiritualku memahami seni spontanitas. Kebetulan dalam renungan
telepon malam itu, kami juga sedang membahas keterbukaan dan spontanitas. Teman-temanku
sedang berusaha untuk tumbuh ke arah sana dengan pergi ke banyak tempat baru
dan tidak terlalu banyak berpikir sebelum bertindak.
Dalam kasusku, aku
bertemu dengan banyak hal secara tidak sengaja yang meneriakkan hal yang sama selama beberapa bulan belakangan: Cinta, spiritualitas, dan hidup yang penuh dan berarti bermuara pada satu titik: berserah diri. Tidak berselang lama dari konser itu, aku bertemu
dengan sebuah novel dari Paulo Coelho: Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis.
Waktu itu, kegiatan kampus sedang banyak-banyaknya. Aku tiba-tiba kepikiran
untuk melemaskan syaraf dengan membaca fiksi. Dalam satu weekend, aku
menghabiskan hampir tiga novel, salah satunya adalah ini, dan ini yang paling
berkesan. Novel pertama khas novel amerika yang menyajikan setting indah, plot
rapi dan menghibur, tetapi tidak meninggalkan kesan yang dalam. Novel kedua
novel Indonesia yang terlihat tidak begitu meyakinkan tapi secara mengejutkan sangat
berkesan. Tipe-tipe novel yang tumbuh bersama penulisnya yang juga membahas
tentang mencintai dan kepasrahan. Yang ketiga, tulisan Paulo Coelho ini, yang awalnya
kupilih karena judulnya begitu dramatis. Aku suka judul-judul melankolis seperti
ini, seperti Love in the Time of Cholera! Baru dengar judulnya saja
sudah bergetar. Tanpa diduga, lain dramatis, isi Sungai Piedra seperti sebuah cermin besar.
Pilar menceramahi dirinya sendiri sekaligus menceramahiku.
Haruka Kanata, novel Indonesia
itu, teman-temanku dan obrolan Tengah malamnya yang gila, dan Di Tepi Sungai
Piedra Aku Duduk dan Menangis, bahkan konverensi Sejarah Lingkungan yang kuhadiri
beberapa minggu sebelumnya yang berbicara berulang-ulang soal hidup penuh rencana kaku para kapitalis yang merusak bumi, seperti
cara Tuhan untuk memberi tahuku hal yang sama, untuk hidup dengan menyerahkan
diri sepenuhnya, dengan organik.
Apakah ini adalah misi
terpenting pada fase ini? Mari kita lihat! Bagaimanapun, aku antusias. Karena jika
ditanya apa yang aku inginkan sekarang, aku ingin belajar mencintai seperti
itu.
Komentar
Posting Komentar