2022

Kita sampai di penghujung tahun! Selamat untuk yang sudah melalui tahun ini dengan menyenangkan! Tapi selamat yang lebih meriah lagi untuk yang tidak kehilangan harapan untuk besok hari meskipun melalui segalanya sampai detik ini dengan penuh luka.

Selamat yang sangat meriah untuk saya!

Karena luka saya memang cukup banyak tahun ini. Biru-biru!

Untuk pertama kalinya saya merasakan kalau sakit psikis bisa terbawa jadi sakit fisik. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama saya menangis tanpa malu-malu di depan orang dan saya ingin berteriak yang sangat kencang lebih dari apapun di dunia ini.

Sejak awal tahun, di setiap doa saya saya selalu bilang: Ya Allah, mudah-mudahan saya bisa berangkat s3 tahun ini. Tahun lalu saya sudah sekali gagal mendaftar beasiswa s3, dan sekali membuang kesempatan berharga lainnya. Saya belum tertaut pada pekerjaan tetap apa-apa karena saya ingin konsentrasi menemukan sekolah lagi. Sampai beberapa hari menjelang berakhirnya tahun ini, saya belum jadi mahasiswa s3 mana-mana.

Saya gagal di tiga seleksi beasiswa dan satu lamaran pekerjaan penting yang prosesnya memakan waktu hampir sepanjang tahun. Semuanya memuncak pada bulan November lalu, di mana saya harus menjalani dua wawancara dan menerima dua pengumuman tidak lolos dalam waktu dua minggu. Setelah itu, keoptimisan saya runtuh, tenaga saya habis.

Setelah master, masuk ke program doktoral nampak sangat alami, seperti dari SMP ke SMA, tapi proses itu panjang dan rumit sekali untuk saya. Itu menyedihkan bukan karena saya iri dengan jalan-jalan orang lain yang nampaknya lebih mulus. Saya tidak suka membanding-bandingkan hal-hal dengan konteks berbeda. Tetapi saya bukan orang yang malas dan mudah menyerah, saya tidak berhenti di kali pertama kedua gagal, tetapi mengapa setelah mencoba sejauh ini, setelah saya selelah ini, usaha saya belum juga berbuah. Sepertinya pertanyaan atau gugatan ini adalah sebuah kesombongan, tetapi saya hanya berusaha jujur soal apa yang saya rasakan. Saya bukan orang yang mudah iri, tapi mungkin memang cenderung sombong dan keras kepala.

Kegagalan yang beruntun itu membuat saya mempertanykan pilihan hidup saya. Apakah mungkin keputusan untuk memilih jalan ini adalah sebuah kesalahan? Apakah mungkin pilihan hidup yang saya hindari adalah sebenarnya hidup yang lebih baik? Bagaimana kalau saya memang tidak memiliki kapasitas untuk hidup di dunia akademik? Apakah semua hal baik yang selama ini memotivasi saya untuk menjadi peneliti adalah sekedar romantisasi?

Kekecewaan, ditambah pertanyaan-pertanyaan itu, ditambah beberapa masalah kecil lain sesepele baju kesayangan yang hilang di laundry membuat November saya begitu kelabu. Saya butuh banyak waktu untuk memproses itu, juga sebuah periode sakit yang cukup panjang. Ini yang saya bilang sakit psikis jadi sakit fisik.

Ketika saya sudah cukup pulih, saya memikirkan tentang sesuatu untuk dilakukan sebagai setidaknya pengalihan, karena saya tidak terlalu berharap akan penghiburan. Retail theraphy dan makan-makan sudah tidak bekerja samasekali. Saya mengambil beberapa waktu untuk merenung sendiri hingga akhirnya memutuskan untuk kembali menggambar.

Waktu sekolah, saya dikenal sebagai tukang gambar. Tidak selalu merupakan orang dengan gambar terbaik, tetapi saya selalu puas pada apa yang saya selesaikan. Waktu hendak kuliah, sebetulnya seni dan humaniora adalah pilihan yang sulit. Tetapi karena saya menyukai keduanya, sejak kuliah sejarah kebutuhan atas aktivitas asah otak dan otot yang saya senangi terpenuhi dan saya jadi jarang menggambar. Sejak 2013, saya tidak pernah membuat lebih dari lima gambar serius setiap tahunnya.

Karena lama tidak menggambar, ketika akan memulai saya sempat khawatir saya sudah lupa caranya. Saya memulai dengan menggambar original character saya dalam sebuah pose mudah dengan hujanan unsur-unsur favorit saya yakni bunga-bunga, Paris, dan detail fashion. Saya juga bereksperimen dengan alat gambar digital dan fusi dengan latar belakang foto. Hasilnya diluar dugaan sangat memuaskan. Itu gambar terbaik saya sampai hari itu. Keesokan harinya saya menggambar lagi, karakter lain dengan teknik serupa dan hasilnya bahkan lebih halus lagi. Beberapa hari kemudian, meski sudah waktunya saya kembali bekerja, saya tetap mencuri-curi waktu untuk membuat gambar ketiga. Tiga gambar hanya dalam waktu sekitar seminggu! Bandingkan dengan hanya tiga sepanjang tahun lalu. Saya mempostingnya di Instagram dan saya untuk sejenak merasakan kembali kepuasan ketika menjadi si tukang gambar dulu.

Menggambar mengembalikan kepercayaan diri saya. Itu membuka mata saya tentang betapa skill yang bertahun-tahun diasah akan menempel dengan cara yang tidak terbayangkan kuatnya pada diri kita. Jika saya bisa begini dengan menggambar, berarti mungkin skill set meneliti yang sudah saya kembangkan beberapa tahun belakangan juga tidak akan hilang begitu saja. Lebih dari itu, pilihan hidup sepertinya tidak ada salah benarnya. Berpikir bahwa pilihan selama ini adalah kesalahan hanya karena beberapa kegagalan adalah kesalahan yang sebenarnya. Tiga gambar itu memperkuat saya melalui cara yang tak terbayangkan. Lagipula setelah berkali-kali melihat pengumuman gagal, ia juga jadi hantu yang tidak terlalu menyeramkan lagi. Sepertinya di atas semuanya, saya jadi orang yang jauh lebih kuat tahun ini.

Tahun ini, saya juga mendapat beberapa pertanyaan sulit. Bukan kapan menikah, bukan. Itu bukan lagi pertanyaan sulit. Pertanyaan yang berhasil menggantung di kepala saya cukup lama itu adalah “cita-cita mu sekarang apa?” dan “kamu ini sebenarnya siapa?”

Cita-cita. Seperti sebuah kata dari bahasa yang sudah mati saking lama tidak mendengarnya. Teman saya yang menanyakannya bilang, meski cukup melenceng dari yang ia bayangkan dulu, ia masih memegang cita-citanya untuk menolong orang, dan dia punya alasan yang sangat spesifik dan menyejukkan soal itu. Saya juga pernah dengar orang lain bicara tentang cita-cita menolong orang, sehingga ia terdengar seperti cita-cita cadangan yang mudah diucapkan. Lagipula, bukankah semua pekerjaan memang memiliki elemen menolong orang? Saya tidak tahu apakah orang kedua ini benar-benar tulus soal mengatakan bahwa cita-citanya sekarang adalah menolong orang. Saya tidak begitu mengenalnya. Tetapi, bagi saya berat untuk membuka mulut dan bilang bahwa cita-cita saya juga untuk menolong orang. Saya belum bisa mengucap itu sejujur dan setulus teman saya.

Saya diam sejenak, tidak lantas menjawab kata-kata itu. Kenapa saya harus s3, atau dapat posisi yang mapan jadi akademisi atau peneliti tetap di sebuah institusi? Saya bertanya-tanya. Selama ini itu selalu terdengar sangat alami, seperti yang saya bilang, seperti dari masuk smp ke masuk sma. Lalu terpikir oleh saya sebuah jawaban: Saya ingin hidup di jalan yang saya inginkan, tapi itu terdengar sangat egois. Akhirnya saya berucap bahwa saya ingin dunia yang lebih baik dan ingin memperjuangkannya melalui jalan yang saya pilih. Sepertinya itu adalah jawaban terbaik yang bisa saya ucapkan.

Pertanyaan kedua memantik refleksi yang jauh lebih panjang. Tingkat kesulitannya lebih tinggi. Selama ini, jika ditanya saya siapa, saya selalu menjawab dengan pekerjaan saya dan sekolah-sekolah tempat saya belajar. Lalu teman saya yang menanyakan pertanyaan kedua itu memperumit keadaan. Apakah masih ada Yuan yang bukan mahasiswa doktoral atau dosen universitas a? Singkatnya, apakah masih ada saya setelah semua deraan kegagalan ini? Apakah ada saya tanpa embel-embel semua hal yang selama ini saya sukai dan banggakan tentang diri saya? Bisakah orang mengenal saya tanpa dimensi professional saya?

Sepertinya tahun lalu, saya pernah mengobrol dengan satu grup teman yang lain. Kami membahas tentang jalan hidup yang macam-macam. Lalu saya bilang, “Sepertinya saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan saya. Itu yang membuat hidup saya berarti, satu-satunya yang saya bisa lakukan untuk membuat saya merasa berguna bagi orang lain.” Padahal, hidup terjadi terus-terusan dan dalam keadaan apa saja sampai giliran kita selesai, dengan atau tanpa pekerjaan kesukaan kita. Pertanyaan tersulit yang kedua ini ternyata menyimpan banyak pertanyaan terselubung dibaliknya: “Bagaimana mencintai diri sendiri ketika kita tidak lagi punya bagian favorit kita?”, “Bagaimana mencintai diri sendiri apa adanya?”, “Bagaimana caranya menjadi rumah yang nyaman dan menguatkan untuk diri sendiri yang kadang-kadang kembali dalam keadaan kalah dan menyedihkan?” Karena mudah untuk jatuh cinta pada keindahan, tetapi tidak sebaliknya. Sementara seperti bulan November tahun ini, hidup masih akan punya banyak momen-momen melumpuhkan semacam ini kedepannya. Di atas semua pertanyaan, sekarang ketika saya telah menyadari sepenuhnya bahwa hidup terdiri dari pahit sebanyak ia terdiri dari manis, “Bagaimana caranya bersemangat dan optimis untuk menghadapi semua pahit yang akan datang itu?”

Teman saya memberi bocoran jawaban. “Kalau aku,” katanya, “aku ternyata orang yang lucu.”

Tentu akan ada orang yang lebih lucu dari pada dia. Tentu akan ada saja orang yang tidak tertawa oleh leluconnya. Tetapi untuk saat itu, baginya, itu adalah predikat yang nyaman, yang membuat versi lebih baik dari dirinya keluar, yang menyelesaikan masalah terkininya. Hidupnya lebih baik daripada saat ia masih bertanya-tanya siapa dirinya beberapa waktu yang lalu.

Saya dapat pesannya. Ia semacam bilang bahwa kepribadian manusia terlalu kaya untuk direduksi menjadi sekedar sebuah profesi. Kepercayaan diri kita, apa yang kita tawarkan pada seseorang atau sekelompok orang yang hendak menerima kita, harusnya bukan sesuatu yang material. Seperti segalanya dalam hidup yang selalu berubah-ubah, seperti kelemahan yang bisa diperbaiki, kelebihan atau alasan kita mencintai diri yang non-material ini juga akan sangat mudah patah. Entah karena ditandingi orang lain, atau entah kenapa tiba-tiba kita kehilangannya. Lalu kita akan kembali berputar di lingkaran yang sama, “bagaimana caranya mencintai diri sendiri jika hal ini tidak lagi ada?” Meskipun begitu, saat ini saya cukup puas dengan jawaban bahwa Yuan adalah segumpal kreativitas. Setiap jalan hidup saya buntu, saya akan segera memikirkan jalan keluar yang lain dari pada yang lain, jujur, dan menyenangkan bagi saya. Itu kreativitas.

Lalu soal bagaimana menghadapi hidup yang akan selalu diwarnai oleh yang sedih-sedih kedepannya? Ada janji bahwa di setiap kesulitan ada dua kemudahan. Sepertinya maksudnya adalah hantu halaman web bertuliskan “MAAF ANDA TIDAK LOLOS SELEKSI…” yang tidak lagi semenyeramkan dulu. Seperti juga masalah-masalah besar semasa kecil yang jadi remeh ketika dewasa. Setiap satu kesulitan dilalui, sepertinya kita akan menjadi dua kali lebih kuat.



Selamat tahun baru 2023!

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong