Semuanya Sejak 2009

Sebelum tahun 2010, dunia yang serba customizable seperti sekarang hanya surga. Waktu itu kiblat tren kurang lebih masih tunggal, kiblat peradaban masih hanya negara maju, wabil khusus Amerika Serikat. Dunia ini berpusat pada segolongan superior semacam geng Mean Girls dan yang lain hanya figuran, periphery kalau kata Karl Polanyi. Kita mengenal Barbie, Ken, dan teman-teman Barbie. Segelintir orang adalah Barbie, mayoritas hanya teman-teman Barbie. Berbagai 'aesthetic' punya komunitasnya sendiri dalam waktu bersamaan, dalam artian selera dan aspirasimu diakomodasi tanpa judgement? Oh betul-betul mimpi! Apalagi ketika ekspresi itu menyebrang dari sekedar ekspresi akun anonimus di dunia maya jadi ekspresi di dunia nyata. Dalam segerombol kelompok ada orang yang pakai boots doctor marteens dan pakaian serba hitam, ada yang berkerudung panjang, ada yang pakai rok tule, ada yang pakai hoodie dan tas laptop, dan crop top dengan banyak piercing? Tidak di semua tempat fenomena seperti ini bisa ditemukan tentu saja, tetapi di area kumpul-kumpul anak muda di kota besar ini sudah jadi sangat lumrah. Rasanya seperti melihat forum internet sebelum tahun 2010 bercampur baur secara langsung.

Waktu SMA mulai tahun 2011, saya mulai berani minggir dari sebuah tren yang terpusat ke satu kutub. Ketika semua orang pakai sneakers leher tinggi warna ungu Justin Bieber, saya memilih loafer kulit pada sebuah kesempatan membeli sepatu tahunan. Sepatu seperti itu, tidak seperti di tahun 2022 ini, dulu lebih banyak dipakai oleh guru-guru dan PNS. Modelnya pun masih sangat sederhana, tidak begitu beragam. Saya memilih yang paling sepi, yang paling tidak berbunga-bunga dan berpayet-payet. Warnanya black patent dan solnya tebal, mendongkrak tinggi saya beberapa sentimeter. Bersamaan dengan itu, di atas seragam putih abu-abu, ketika orang-orang mengenakan sweater warna hijau atau ungu, saya memakai rompi hitam yang cuttingnya super klasik warisan dari ibu saya. Sekembalinya dari liburan ke Salatiga, saya membawa pulang dari sebuah toko barang-barang unik di kota tersebut sebuah jam saku. Daripada jam tangan monol, saya memilih menggunakan jam saku. Tidak lupa, saya membuat sendiri pin untuk menautkan kerudung ke baju dari kancing warna hitam dengan gambar fleur de lis emas yang saya temukan di toko jahit di bagian belakang Pasar Cikarang. Untuk kerudung, saya juga tidak suka pakai bahan paris yang tidak mengilap dan lemas, saya suka pakai bahan yang agak transparan dan lebih kaku, sedikit mirip organza. Kalau disusun dari bawah ke atas, loafer black patent, kaus kaki putih pendek, seragam putih abu panjang, rompi hitam, jam saku, kerudung putih dan pin fleur de lis emas hitam. Demikianpun bukan lantas saya masuk geng dark academia. Saya hanya seorang aneh atau nyentrik di luar lingkaran.

Masa-masa SMP dan SMA rasanya seperti pertarungan melelahkan melawan hal-hal yang berada di luar kuasa kita. Waktu itu, saya merasa menyadari ketidak signifikanan dan kelemahan saya untuk pertama kalinya. Saya menyadari bahwa dunia penuh dengan kekuatan digdaya yang alih-alih bisa kita atur justru kuasa membolak balikkan nasib hidup kita. Semua di luar diri kita, orang tua, guru, teman-teman, anak-anak populer, crush, orang-orang dewasa, polisi, pemeirntah, negara, PBB, agama, dan takdir adalah otoritas yang menuntut dituruti dan ditaati. Saya merasakan tubuh saya membesar dalam belitan ikatan yang kencang sehingga rasanya luar biasa sakit. Terus sakit sampai saking besarnya, tali-tali belitan itu kemudian putus sendiri. Bagaimanapun, saya harus sakit dan sesak dalam waktu lama. 

Ketika dunia nyata begitu mengecewakan, saya sering lari ke dalam. Kebetulan, itu adalah the eve of the internet. Hiburan yang tadinya one way, top down, atau two way secara sangat tidak interaktif seperti buku, majalah, radio dan televisi, tiba-tiba jadi two way secara sangat interaktif. Internet adalah frontier tempat generasi yang sedang mencari tempat ini menemukan rumah. Sebagaimana frontier yang tidak berhukum, semua orang bebas menjadi amoral dan anarkis, pembunuh bayaran atau seorang psikopat. Karakter seperti itu banyak terefleksi dalam doujinshi dan fanfiction, sebuah alter ego produk hiburan kenamaan yang merupakan domain semua orang. Tapi tidak semua orang ingin begitu. Lebih banyak orang hanya ingin mengenakan pakaian yang ia suka, tinggal di idylic european village seperti yang ia selalu lihat di ilustrasi buku Peter Rabbit yang orang tuanya bacakan ketika kecil. Sebagian ingin jadi bajak laut, atau samurai, berkubang lama-lama di customized world mereka yang bersih dari segala otoritas menuntut. Ruang dan waktu begitu elastis. Pada masa sebelumnya, itu hanya ada di dalam imajinasi, tapi kemudian kita bisa membukanya pada lebih banyak orang di dunia yang bekerja sedikit berbeda dari dunia nyata kita. Dunia tanpa otoritas yang harus ditaati. Itulah teman teman, cikal bakal dari dunia yang betul-betul customizable di mana kita berada di dalamnya sekarang. Hanya saja, ketika beberapa batasan formal diterapkan secara hampir nihil lewat pop up "term and condition" yang tidak pernah betul-betul dibaca orang, dunia imajinasi ini telah masuk dieksploitasi oleh kekuatan lain oleh uang. Di satu sisi, uang memiliki kekuatan untuk betul-betul memboyong segala imajinasi itu ke dunia nyata sehingga hidup kita demikian customisable hari ini. Tapi di sisi lain, sihirnya hilang, sisi menyenangkan dan childlikenya lenyap. Internet hari ini adalah juga sarang otoritas yang menuntut dipatuhi dan medan perang lain yang menuntut dimenangkan. 

Saya berpikir untuk kembali pada cara lama, mencari ruang istirahat di dalam kepala saya sendiri.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong