2021
Apa yang menyemangati anak-anak untuk belajar dan membuat remaja tidak menyerah untuk hidup? Saya kira jawabannya adalah janji-janji manis usia dewasa. Masa kanak-kanak adalah soal distraksi, soal ketiadaan batasan antara benar dan salah, lalu masa remaja adalah masa penuh perubahan drastis yang mengguncang. Keduanya berat, tapi kita selalu punya masa dewasa untuk dinantikan. Bagi anak-anak, masa dewasa adalah masa penuh kebebasan. Bagi remaja masa dewasa adalah masa pengakuan Sayangnya, bagi orang dewasa tidak demikian.
Menamatkan usia belasan beberapa tahun yang lalu, saya
sangat siap untuk menyongsong keindahan yang selama ini orang bicarakan. Begitu
masuk dalam apa yang masyarakat kategorikan sebagai dewasa, sisi kelam
kehidupan yang tidak pernah diceritakan pada saya ketika lebih muda justru
muncul lebih dulu. Dua tiga tahun belakangan ada banyak sekali kematian, ada
bencana, ada masalah dan ada kekalutan. Dalam semua itu, saya tidak lagi bisa
memalingkan wajah, angkat tangan, dan berlari menghindar seperti
sebelum-sebelumnya. Optimisme saya digempur habis. Saya melangkah ke depan
melanjutkan hidup dalam perasaan takut. Takut tahu semakin dalamnya saya telah
ditipu oleh doktrin-doktrin kedewasaan ketika saya kanak-kanak. Takut sakit,
jatuh, dan terluka sebenar-benarnya lebih dan lebih lagi.
Tapi di saat saya disandera perasaan takut, saya
dibawa dalam perjalanan paling memukau di dunia. Saya dibawa dalam tur
mimpi-mimpi masa kecil saya dalam wujud yang paling nyata, yang aromanya bisa
saya hela, yang wujudnya bisa saya dekap. Semua perasaan yang baik dan buruk
kadang menyergap tiba-tiba. Ketika beberapa aspek dalam hidup bisa direncanakan,
apa yang saya rasakan tidak.
Selama dua belas tahun sekolah, perasaan-perasaan
muncul taat jadwal. Semester baru selalu disinari antusiame dan akhir semester
selalu digantungi perasaan sesal tentang belajar yang tidak maksimal dan rasa
khawatir pada nasib ketika ujian. Kekhawatiran itu akan berlangsung cukup lama,
sampai bagi rapot, momen ketika takdir terbelah dua dan bisa berbalik-balik
semudah telapak tangan. Jika hasil memuaskan, kebahagiaan panjang akan mendekap
sampai libur berakhir. Jikalau tidak memuaskan, kesedihan akan menghantui
sampai kita lupa. Tumbuh dengan pola seperti itu, wajar kalau saya pikir masa
dewasa adalah jadwalnya berbahagia. Terlebih setelah crush-crush tak terucap,
penerimaan diri yang buruk, dan nilai-nilai jelek di masa remaja.
Bagi saya tahun-tahun 2018 sampai 2020 adalah ketika
saya belajar soal kekecewaan terhadap the jolly adulthood people used to talk
about. Pada 2021, sebaliknya, saya mulai dapat ide soal betapa the miserable
adulthood sama fiktifnya dengan the jolly one. Kebahagiaan tidak bisa
direncanakan.
In a nutshell, or if only I still think like my
teenage self, saya memulai 2021 dengan sebuah kemenangan besar. Saya
menyelesaikan tesis yang beberapa bulan sebelumnya terlihat mustahil, lulus,
dan dapat letter of acceptance untuk program phd. Tapi careerwise, semuanya
tidak terlalu cerah di bulan-bulan berikutnya. Saya melewatkan beberapa peluang
phd prestisius dan gagal pada satu yang akhirnya saya lamar. Saya juga gagal
dalam dua upaya melamar pekerjaan dan melewatkan beberapa lainnya. Di
pertengahan tahun, bapak saya kena covid parah ketika saya dan adik saya justru
terjebak di Jogja. Adik saya waktu itu juga mengalami banyak sekali kegagalan
ujian masuk universitas. Ada masanya saya kehabisan uang, karena gaji sebagai freelancer
tidak menentu sampainya. Tapi 2021 bukan tahun yang buruk.
Saya bisa tetap bertahan hidup dengan uang sendiri. Awalnya
dari tabungan sisa beasiswa master, tapi kemudian ada banyak project-project
freelancing yang pendapatannya lumayan. Poin plusnya, beberapa diantaranya mengizinkan
saya untuk bekerja dari mana saja. Meski saya gagal diterima jadi dosen di
almamater, saya masih dipercaya dan dilibatkan dalam banyak pekerjaan di sana. Waktu
fleksibel jadi freelancer membuat saya bisa mulai belajar menulis genre ilmiah popular
dan kiriman pertama saya langsung terbit! Juga thanks to the flexible working
hours, I score one more international conference, one more national writing
championship, and a book chapter. Pekerjaan freelance ini juga saya dapat dari
kolega-kolega saya di Leiden, jadi meski digaji kelas asisten, karena dalam
euro, jumlahnya sudah sangat lumayan untuk hidup di Indonesia. Datangnya begitu
alami, jadi saya sangat bersyukur. Project pertama datang dari dua orang
mahasiswa Phd bimbingan second reader thesis saya, padahal saya dan beliau baru
berkomunikasi ketika menjelang deadline tesis saya. Project kedua datangnya
dari beliau langsung, juga atas rekomendasi mahasiswanya yang merasa kerja saya
bagus. Dari assistantship ini, saya bukan hanya dapat remunerasi material, tapi
juga kesempatan mengasah skill membaca dan mencari arsip. Pernah juga saya hampir
kehabisan uang, karena minusnya project lintas benua ini adalah birokrasi
panjang dan waktu transferan yang sampainya tidak terduga. Pada suatu hari
ketika saya hampir tidak bisa bayar kos, ndilalah saya kok dapet project kecil
yang bayarannya langsung ditransfer ketika pekerjaan selesai, dan jumlahnya
cukup untuk menyambung hidup satu bulan, persis sampai transferan gaji dari
Belanda sampai. For all of those things, I am totally grateful.
Bulan Juli Agustus punya posisi tersendiri karena
ujiannya luar biasa. Bapak saya kena covid dan punya Riwayat asthma, sementara
di rumah Cuma ada ibu saya. Di saat yang sama, adik saya yang sedang tinggal dikos
di Jogja Bersama saya dan sedang berada di tengah-tengah rangkaian ujian juga
menunjukkan gejala ringan. Saya menghabiskan waktu berdoa dan menangis di
tengah-tengah malam, berharap semuanya segera berlalu dan kami akan baik-baik
saja. Butuh waktu satu bulan sampai ayah saya pulih dan adik saya kehilangan
gejala-gejalanya, tapi ketika saya sampai di sana, kelegaan yang saya rasa luar
biasa.
Tapi kalau mau bilang ini adalah tahun yang buruk buat
keluarga saya, saya berbohong. Sakitnya ayah saya waktu itu membuat kami lebih
menghargai lagi keberadaan dan kasih sayang dari masing-masing dalam keluarga. Beberapa
bulan sebelumnya, bulan Maret, kami akhirnya roadtrip Bersama selama dua minggu
keliling Jawa setelah sekian lama. Pada roadtrip itu, kami mendaki gunung untuk
pertama kalinya. Berkat pekerjaan freelance, saya juga bisa menghabiskan banyak
waktu di rumah, terlebih ketika belakangan project saya berbasis di Jakarta.
Saya tentu ingin segera kembali ke sekolah untuk melanjutkan PhD dan mulai menyusun
keping-keping masa depan saya, tapi bisa menghabiskan waktu di rumah komplit
berempat juga doa saya tahun lalu, ketika dengar bahwa ibu saya kena covid dan tekanan
darahnya tinggi. Waktu itu, saya meminta pada Tuhan waktu untuk kembali bersama-sama
dengan keluarga saya. Saya juga berjanji untuk membahagiakan orang tua saya
menggunakan apa yang saya dapat dari jerih payah saya untuk mewujudkan kebahagiaan-kebahagiaan
yang pernah tertahan gara-gara saya. Saya kira tahun ini, doa itu terjawab betul.
Akhir tahun yang campur aduk ini, sayangnya harus ditutup
dengan matinya kucing-kucing kesayangan kami. Mereka pergi cepat sekali, karena
sakit yang katanya virus. Seminggu yang lalu itu membuat saya menangis tiap malam
membayangkan jiwa-jiwa kecil kesayangan saya sedang sekarat ketika saya tidur
nyenyak.
Kepergian mereka sepertinya juga cara Tuhan
menunjukkan bahwa hidup tidak bisa dijadwal, bahwa kebahagiaan dan kesedihan
datang silih berganti tanpa aturan. Waktu Pu sudah sangat lemah, saya berdoa
supaya ia lekas diambil. Saya berdoa supaya saya cepat-cepat tidak bisa bertemu
dengannya selama-lamanya lagi. Meski katanya kematian identic dengan kesedihan,
ketika Pu sudah tidak ada di pagi harinya saya justru lega. Ada masa ketika memaksa
seseorang tetap hidup untuk membela rasa kehilangan kita adalah keegoisan. Saya
merelakan Pu karena lebih penting bagi rasa sakitnya untuk hilang daripada
baginya untuk tetap hadir di hadapan mata saya.
Kebahagiaan dan kesedihan, atau mudahnya, hidup yang komplit, tidak datang ketika kita dewasa, tapi setiap hari. Kehidupan berlangsung setiap hari, membolak balikkan perasaan seperti telapak tangan, mau kita anak-anak atau dewasa, lajang atau menikah, sukses atau gagal, miskin atau kaya.
Tahun 2021 membuat kata-kata Mutiara overrated yang
tidak pernah saya percaya jadi masuk akal. 2021 adalah sosok tegas dengan
uluran tangan yang lembut. Ia mengajak saya melangkah bersama bukan dengan
tutur halus bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi bahwa ia percaya saya
mampu.
Untuk semuanya, terimakasih.
Oh God, I really adore your writing style. Big hug for you Yuan. Thank you for surviving 2021 ❤️❤️❤️🤗🤗🤗
BalasHapusThank you for the sweet words nis! Yass we survived another pandemic year 😊😊🤗🤗
Hapus