Kenakalan Remaja
Belum lama, saya bertemu dengan seorang kawan lama. Sebagaimana dalam pertemuan kawan-kawan lama lainnya, kami segera teringat tentang kenakalan masa muda. Kenakalan-kenakalan dan sangsi yang kami terima akibatnya pernah begitu mengguncang di waktu yang lalu.
Saya pernah dua kali diusir dari kelas. Waktu SMP dari pelajaran matematika dan waktu SMA dari pelajaran fisika. Di kelas matematika SMP saya ketahuan mengarsir komik buatan saya di jam pelajaran, sesaat setelah guru matematika saya berpetuah bahwa "zaman sekarang kita harus mengerjakan apa yang kita suka." Saya tidak suka matematika dan saya menggambar. Tapi ketika saya menggambar di pelajaran matematika saya diusir.
Waktu SMA, peristiwa pengusiran terjadi ketika fisika kebagian jam pelajaran sore, sesudah istirahat makan siang. Waktu itu, saya yang sebetulnya bisa menggunakan waktu istirahat untuk menyalin PR teman-teman saya yang baik hati justru menggunakannya untuk menulis blogpost. Blogpost tentang tujuh tempat yang ingin saya kunjungi sebelum mati. Waktu mengumpulkan PR, saya mengumpulkan PR yang hanya diisi satu nomor, nomor satu, karena cuma itu yang saya bisa kerjakan sendiri. Sebagai hukuman saya kemudian diminta maju mengerjakan soal nomor empat di papan tulis. Dengan berani dan bodoh saya bilang, "Bu, saya nggak mengerjakan soal selain nomor 1 karena saya tidak bisa yang lain, gimana saya bisa ngerjain nomor 4 di sini?" Lalu saya diusir lagi.
Sekarang saya sadar. Sebetulnya untuk menyelamatkan harga diri waktu itu, saya cukup menurut kata-kata guru. Guru matematika saya waktu itu sedang membicarakan pilihan karir, bukan pemberontakan di jam pelajarannya. Guru fisika saya juga pasti hapal kalau saya tidak pintar fisika dan paham kalau seandainya jawaban saya lengkap, saya pasti mendapatkannya dari orang lain. Andai kata buku PR saya penuh waktu itu, mungkin saya akan dibimbing ketika mengerjakan soal nomor empat di depan. Jadi, sepulang sekolah, saya akan bisa mengerjakan nomor satu dan nomor empat. Setidaknya begitulah pendidikan di sekolah negeri pada tahun 2010an bekerja.
Sederhanapun, waktu itu peristiwa tersebut sempat membuat saya trauma. Saya khawatir akan masa depan yang penuh orang-orang yang akan menghukum saya karena saya memilih melakukan hal yang saya sukai ketimbang hal yang mereka minta.
Masalah hari ini, saya dan kawan saya sepakat, jauh lebih rumit. Terlalu banyak otoritas yang menuntut dituruti. Seingat kami dulu otoritas hanya orang tua dan guru kami. Sekarang kami terlalu banyak berbuat kesalahan di mata banyak pihak. Kami bingung yang mana yang harus dibenahi karena 24 jam ternyata tak cukup untuk membenahi semuanya.
Kami membayangkan tentang suatu waktu di depan ketika kami akan memahami masalah hari ini sebagai sesuatu yang sederhana, sebagaimana kami telah lebih paham tentang masalah-masalah kami waktu sekolah.
Segera setelah kami merasa ingin buru-buru sampai sana, kami melangkah mundur lagi.
Akan seburuk apa masalah yang kami anggap rumit waktu itu?
Suatu hari, bertahun-tahun setelah saya terusir dari kelas fisika karena menulis blogpost, saya sampai di Paris, di tempat pertama dalam daftar harus dikunjungi sebelum mati.
Alih-alih karena saya berani melawan guru untuk melakukan hal yang saya suka, saya pikir ini bisa terjadi karena saya mengerti dulu saya melakukan kesalahan. Saya selalu bisa datang ke ruang guru di jam istirahat, mengaku tidak bisa, lalu minta diajari. Saya juga bisa minta diajari teman saya. Saya juga bisa sekedar menyalin PR teman saya dan bilang bahwa saya melakukannya untuk menghormati beliau, tapi saya belum mengerti sepenuhnya. Saya selalu bisa menjelaskan situasi saya daripada memberontak tanpa aba-aba. Saya belajar tentang keterbukaan dari kesalahan-kesalahan itu, dan keterbukaan selalu menyelamatkan saya di waktu-waktu berikutnya.
11-11-2021
Komentar
Posting Komentar