Love in a time of Corona


Novel terakhir yang saya tamatkan sebelum berangkat ke sini tahun lalu adalah Love in A Time of Cholera. Padahal, waktu itu saya punya beberapa novel lain kayak Aruna dan Lidahnya dan Eye of a Needlenya Ken Follet. Menamatkan Love in A Time of Cholera juga bukan pilihan yang mudah. Novel itu tebal dan berhubung ditulis pada abad 19, diksi dan plotnya tidak se formulated novel-novel masa kini. Tapi, berhubung saya punya sejarah sama cerita itu, pernah terobsesi pada filmnya pas jaman SMP dan karenanya familiar dengan karakter karakternya, saya memilih dia daripada yang lain. Lepas dari cerita tentang epidemi yang dibuat judul itu ternyata tipis-tipis saja, saya tidak pernah membayangkan bahwa kedepannya hal seperti ini, musibah berupa wabah akan terjadi lagi di tengah sistem pengobatan dan pelayanan kesehatan kita yang sudah jauh berkembang sejak itu. Lebih tidak terbayangkan lagi, saya ada di Eropa, di wilayah dengan kasus paling banyak hari ini.




Dari SMP saya kepengen belajar di Eropa. Kepengenan ini dimulai dari khayalan sembrono ingin mencicipi hidup di pusat dunia yang katanya segalanya lebih baik. Makin tua, makin waras, ternyata kepengenan itu masih ada. Entah mengapa pilihan hidup saya jaring berjaring membawa saya ke keadaan yang paling dekat dengan kemungkinan berangkat studi di Eropa tahun lalu. Ketika berangkat saya sedih, tapi saya nggak nangis sama sekali. Ada antusiasme hebat yang mengalahkan semua kekhawatiran akan kesepian dan perpisahan-perpisahan nggak terduga. Sampai awal tahun ini, saya hampir nggak pernah homesick. Sekali-kali mental kendor lalu suasana hati biru gara-gara satu dua masalah akademik, tapi saya bisa melewati satu semester yang di awal terlihat sangat tidak mungkin dengan hasil yang lumayan. Semester ini, saya rasa mental saya dalam belajar sudah lebih baik. Hasil jungkir balik di semester pertama kemarin juga memberi bekal yang lumayan. Semester ini saya optimis studi saya bakal lebih baik. Topik tesis saya sudah disetujui dan saya optimis bisa menaikkan rata-rata nilai.

Ketika awal kuliah S1 saya nggak pernah menjadikan kemewahan jadi akademisi dan kesempatan belajar di luar negeri sebagai tujuan. Nggak berani. Saya pikir, saya bakal jadi professional saja, pendidikan S1 cukup, jadi jurnalis atau editor di media ilmiah populer, jadi PNS analis boleh juga, asalkan saya punya kerjaan yang masih memberi saya kelegaan berpikir diantara tugas-tugas yang sifatnya administratif. Tapi ternyata Tuhan nggak pernah menganggap remeh doa-doa kita. Against all the odds, banyak pihak yang membukakan saya jalan. Icip-icip dunia akademis lewat jadi panitia seminar satu ke seminar lain, kolektor data penelitian satu ke penelitian lain, saya akhirnya semakin berani memasang mimpi lama saya lagi. Kesempatan itu nggak pernah sedekat ini dengan saya, jadi sejak skripsian saya kerja keras, ngerjain tiga hal sekaligus, skripsi, partime buat nabung, dan kursus bahasa inggris. Begitu lulus saya masih bertahan di Jogja, ngenger dengan masih bantu penelitian-penelitian, jadi panitia seminar-seminar, belajar bikin-bikin artikel dan ikut konferensi, persiapan IELTS dan masih partime juga. Waktu itu saya nonton La La Land, terus langsung merasa senasib sama Sophie, nonton Bohemian Rhapsody lalu merasa senasib sama Freddie. Banyak orang di dunia ini, yang bekerja untuk mewujudkan mimpi bekerja di bidang yang ia inginkan. Sophie bertahan 8 tahun menjajal peruntungan dari satu audisi ke audisi lainnya di LA, sambil menghidupi diri dengan jadi pelayan kedai kopi. Sebelum ngeband di Queen, Freddie kerja jadi porter di bandara. Saya pikir ini pekerjaan mulia sekali. Saya menghidupi mimpi saya. Dalam periode yang nggak tahu kapan akan berakhirnya itu, bisa jadi satu dua tahun, atau 8 tahun seperti Sophie, bertahan dengan banyak kerjaan serabutan sambil mencoba peruntungan daftar beasiswa, saya pikir akhirnya bisa berangkat betulan adalah akhir yang sangat bahagia.

Di masa-masa sulit itu, ketika banyak teman kuliah mulai meninggalkan Jogja merantau ke luar daerah, lingkaran saya mengecil dan lebih banyak waktu saya habiskan sendirian. Bayangan saya tentang kuliah di luar negeri adalah akhirnya punya teman lagi, akhirnya bisa belajar lagi dengan fasilitas dan metode yang super, akhirnya punya rutinitas lagi, akhirnya merasakan hidup di negara maju, akhirnya mudah traveling ke negara-negara tetangga, akhirnya bisa lihat lukisan-lukisan legendaris yang selama ini bisa dilihat Cuma di buku. Semua itu terwujud, dan itulah kenapa, lepas dari satu dua rintangan, antusiasme saya begitu tinggi sampai saat ini. I am living my dream!

Beberapa hari yang lalu saya dan teman-teman masih ngobrol di depan perpustakaan selepas kelas, merencanakan mau makan malam apa dan mau coba travelling ke mana musim panas nanti. Setelah menyaksikan monument masa remaja saya si Eiffel, saya sangat antusias untuk mengunjungi negara selanjutnya, Austria, Italia, Spanyol, Jerman, dan countryside France masuk bucketlist saya. Waktu itu kasus di Eropa baru sedikit sekali. Baru ada beberapa kasus awal di Prancis dan UK. Kami tidak memperkirakan apa-apa.

Kasus pertama Belanda muncul bersamaan dengan di Indonesia, sekitar tanggal 1 Maret. Sejak itu, jumlahnya naik ke angka seribu lebih dalam waktu dua minggu. Keputusan pertama bahwa segala kegiatan di kampus hari Jumat 13 Maret ditiadakan dibuat kamis sore, tanggal 12 Maret. Itu hanya untuk hari Jumat. Apa yang akan terjadi hari Senin kami tidak tahu samasekali. Beberapa jam kemudian diumumkan bahwa semua kegiatan kecuali ujian dibuat online. Jumatnya, kalau tidak salah, keputusan drastis bahwa kegiatan perkuliahan dibuat online sampai 29 Maret dikeluarkan. Sepertinya kemarin, 18 Maret, rentan perkuliahan online diperpanjang jadi sampai tanggal 6 April. Hari ini, keputusan mencengangkan kembali hadir, kegiatan perkuliahan dan segala macam asesemen dibuat online sampai akhir semester.

Siapa bilang living a dream adalah hal mudah. Dia thrilling, menantang, bikin bisa constantly enthusiast and passionate, tapi susah men! Senior-senior saya terdahulu, sebut saja Muhammad Hatta dan Irawan Soedjono kuliahnya terganjal Perang Dunia, dosen saya ada yang studinya putus di tengah jalan gara-gara isu politik. Saya juga pernah ikut penelitian dosen saya tentang dokter-dokter di masa Revolusi. Dalam beberapa hari, fakultas kedokteran di Salemba dikepung, dokter-dokternya ditawan, mahasiswanya buyar, ada yang jadi sopir ambulans PMI, ada yang pindah kuliah ke Surabaya, ada yang jadi gerilyawan. Beberapa dokter dan professor mendirikan kampus darurat di Sleman ketika situasi sudah mulai kondusif, tapi perang berkecamuk lagi. Bagaimanapun kacaunya situasi, banyak orang tetap menemukan jalannya di situasi ini. Ada yang terpaksa bekerja menangani pasien padahal masih mahasiswa tingkat menengah, tapi kemudian berhasil jadi ahli dan melanjutkan sekolah ke Amerika ketika perang usai. Ada yang lanjut sekolah lagi setelah berhenti empat tahun karena ikut perang. Dokter-dokter yang di’sekolahkan’ oleh perang ini banyak yang merupakan tokoh-tokoh pionir dunia kedokteran Indonesia. Posisi tertingginya beragam, dekan fakultas kedokteran, rektor, professor, sampai dokter kepresidenan.

Being Student in a time of Corona samasekali tidak masuk bayangan mimpi sempurna saya haha. Tentu saja lah. Siapa pula yang pengen. Tapi diingat-ingat betapa saya tersentuh, termotivasi, dan tergugah setelah membaca cerita-cerita di atas, saya sadar saya sedang menyaksikan sejarah dari jarak dekat. Meski kondisi mental saya rasa-rasanya kembali ke state paling tidak enak, karena jadi sering tidur tapi tiap tidur mimpi buruk dan bangun-bangun capek, saya berusaha tetap positif. Sejauh selera makan dan selera masak masih baik-baik saja, saya dalam kondisi prima! Ini seperti ada di situasi mendebarkan yang selalu say abaca di buku-buku sejarah. Saya merasa bisa melakukan hal-hal tidak mungkin. Tadi pagi saya kepikiran untuk bilang suka ke crush saya, haha. Well sebelum kami berpisah jauh tanpa tahu kapan lagi bisa ketemu ;)

Sekarang segala himbauan untuk tidak keluar rumah dan menerapkan social distancing ibarat ajakan maju perang. Tidak lebih mudah atau lebih sulit. Saya rindu kelas Rene dan kuis tebak-tebakan paleografinya Lennart. Sendirian di kamar di hantui segala macam berita yang alirannya masif selagi jauh dari orang-orang tersayang juga berbahaya buat kebaikan mental, tapi ini bukan tanpa hasil. Saya juga nggak akan menyerah. Saya sedang mempelajari bidang yang saya sukai. Saya tidak akan berhenti karena ini. Kalaupun harus ditunda, dibuat jarak jauh, diisi dengan sebagian belajar otodidak, saya harap Tuhan memberi saya kekuatan untuk tetap living my dream, menuntaskan janji, dan betulan bisa lulus lalu dengan kompetensi sesuai harapan nantinya.

Aah, sampai beberapa hari yang lalu, cuaca mendung atau badai tidak berpengaruh pada saya. Saya sangat menikmati tinggal di kastil dari abad 19, menata bunga potong yang dibeli di pasar di vas kaca untuk pengharum dan pencerah kamar, baca buku ditemani teh bunga dan segala kukis atau pastry Eropa yang bakal susah ditemui di tanah air. Sampai beberapa hari yang lalu saya masih sangat menikmati jalan di pertokoan lama, masuk ke gang-gang sempit yang penuh kejutan: taman tersembunyi, toko souvenir, dinding penuh rambatan mawar, rumah tua dengan fasad unik. Sampai beberapa hari yang lalu saya berjalan di tengah kota lewat tengah malam bersama teman saya, takjub betapa saya dipertemukan dengan orang-orang baik di sini, di depan latar yang indah dan nyaman. Saya punya banyak harapan ini akan berakhir. Sementara waktu kita memang butuh berani dan bersabar.

Semoga lekas berlalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di episode keberapa?

Stasiun Cikarang yang Lama dan Saya

Pada langkah pertama keluar gerbong