Mengakhiri sebuah Dekade
Just in
case, ungkapan mendasar untuk menjadi anak gaul ibukota yang
keminggris. Artinya sederhana saja, untuk jaga-jaga. Kalau mau lawas lagi, bisa
kita pakai “untuk jaga-jaga kalau-kalau” atau “untuk jaga-jaga bila mana”. Ah saya
rindu berbahasa Indonesia betulan, menggunakan kata-kata dan frasa –frasa balai
pustaka, lalu merasa romantis seketika.
Tuh kan, saya jadi lupa kenapa saya sebut just in case. Ini nih, yang bikin paper
saya di remidi. Nggak fokus, kebanyakan ngelantur. Buku referensi yang kalau
ditumpuk sudah setinggi rumah rayap raksasa di tengah hutan yang sudah digauli
dua-tiga bulan terakhir pun runtuh begitu saja. Berkat kabar remidi itu, binar-binar
liburan redup redam, blawur, dan pias. Lain lagu-lagu Natal Michael Buble atau
Mariah Carey, yang bergema-gema di kepala jadi sepotong puisi Chairil Anwar
yang paling nggak romantis, “Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa.”
Jadi just in case,
atau untuk jaga-jaga-nya adalah untuk jaga-jaga kalau-kalau saya terkubur
demikian dalam oleh deadline-deadline sampai dekade yang tinggal duabelas hari
ini habis tak bersisa, saya menulis review saya hari ini saja. Bagaimanapun saya
tidak bisa melewatkan ini, melewatkan menulis kilas balik dan penutup untuk
dekade yang mungkin akan jadi dekade favorit saya seumur hidup.
Dua kata yang paling kuasa mendeskripsikan dekade ini untuk
saya adalah tumbuh dan mimpi. Secara ukuran, mental, dan pikiran, saya
mengalami jungkir balik pertumbuhan yang drastis. 2010 lalu saya masih bocah kelas
tiga SMP yang ngebet pengen lulus gara-gara sekelas sama anak populer sementara
sayanya nerd. Waktu itu menjelang Ujian Nasional untuk lulus SMP, tapi saya
sering pulang sekolah nggak langsung pulang, buat main, menggambar, dan ngobrol
sama teman-teman segeng Tjoeploek-ku tercinta yang beda-beda kelas. Jujur,
waktu itu saya iri berat sama Rere, Febi, Erlin, Arief, dan Marshella yang bisa
sekelas di 9.8. Mereka berkumpul berbanyak, sementara saya, Yaya, Nurina, Izam,
dan Tama terberai-berai di tiga kelas lainnya. Wali kelas 9.8 juga Bu Susi, wali
kelas kelas 7 kesayangan kami yang mempertemukan kami semua, bu guru bahasa
Indonesia yang bersedia membaca novel kacau saya waktu itu. Untung beberapa guru mata pelajaran masih
sama, jadi kami sering dapat tugas sama, dan waktu pulang sekolah itulah yang
kami gunakan untuk mengerjakannya secara berjamaah.
Berkat itu, ibu ratu dirumah sering memarahi saya. Ibu ratu
tidak pernah ambil enteng soal apapun yang ada bau-bau ujiannya, apalagi ujian
nasional. Ujian menulis tegak bersambung dapat 7 saja saya diomeli
habis-habisan waktu SD. Menyalahkan pensil tumpul, penghapus wangi buah yang
ternyata hitam, dan kertas daur ulang murahan tiada daya menyelamatkan saya.
Jalan satu-satunya adalah berlatih lagi supaya dapat minimal delapan koma lima di
kesempatan berikutnya. Hasil pendisiplinan ibu ratu bukan main. Sampai
sekarang, hari di mana orang sudah lupa caranya menulis tangan, tulisan saya
masih tegak bersambung, tipis tebal, dan dibanding teman-teman seusia yang sudah
gandrung Microsoft word, indah bukan buatan. Berbagai jabatan pernah saya
duduki berkat ini, diantaranya penulis tetap amplop kondangan di rumah dan
penulis nama di berbagai sertifikat semasa berorganisasi di kampus. Saingan
saya perihal ini cuma satu, Benedecta Herlin Yoshe Hana, yang sepertinya
mengalami pendisiplinan ibu ratunya juga selama masa pelatihan menulis tegak
bersambung di sekolah dasar.
Ngomong-ngomong soal kelas tiga SMP, saya punya beberapa
penyesalan. Saya akui, kegagalan saya mingle dengan teman sekelas 9.9 adalah
kesalahan saya. Saya terlalu fokus iri sama kelas 9.8. Sebetulnya friksi antara
saya, AS dan wali kelas yang cukup panas waktu itu cuma berasal dari keengganan
saya untuk meleburkan diri di jajaran kabinet kelas yang didominasi anak-anak
populer dari klub basket dan modern dance. Saya terpilih jadi sekertaris karena
waktu itu saya dipilih oleh teman-teman kelas 8 saya, yang bukan termasuk
jajaran anak populer. Tapi berhubung mayoritas suara datang dari partai
populer, maka 90 persen anggota kabinet lain adalah representatif mereka. Saya
yang keras kepala, suujonan, dan grumpy malah menyulut gesekan dengan
membikinkan jadwal piket kelas sebelah wkwk. Padahal selain imaji mereka yang
tidak ramah di mata saya (sebetulnya karena ekskul nerd kami tumbuh pesat dan
jadi saingan ketat sama ekskul mereka yang ‘penguasa lama’), saya nggak ada
masalah personal sama mereka. Presidennya sendiri, bahkan, adalah teman sejak
SD saya yang ganteng, AR, yang saya kira sudah memblacklist saya dan berkubu
dengan anak populer, tapi ternyata tetap baik luar biasa. Waktu acara
nangis-nangis kelulusan, dia menyalami saya dengan ramah. Sambil memasang
senyum di wajah gantengnya, dia yang demen bicara formal, bicara informal
kepada saya seolah pertemanan kami sejak SD selalu nyata adanya, “Selamet ya
wan! Semoga bisa satu sekolah lagi kita.”
Waw men…
AR bukan satu-satunya korban kesuujonan saya. Izam, Gian,
Desy Glorya, Yuki, Intan, dan Nugita juga. Mereka biasanya adalah temen
sekelompok saya. Ada tiga proyek besar yang saya garap selama kelas 9 ini, drama
the Swordsgirl, drama Proklamasi, dan modern dance. Dalam proyek-proyek itu,
saya selalu jadi pemasok ide utama, tapi saya nggak memikirkan mereka sama
sekali. Saya terlalu fokus sama kesedihan tidak bisa berkolaborasi sama
kolaborator-kolaborator favorit saya yang beda-beda kelas itu. Alhasil, proyek
itu tidak ada yang maksimal.
Yuan tahun 2010 memang seperti itu hehe. Dunianya sempit,
jadi pikirannya juga. Kalau punya mau, harusnya kejadian. Kalau terdapati
bersalah, maunya menyalahkan orang lain. Kalau keadaannya kurang mujur, maunya
lompat ke nasib orang lain yang mujur, bodo amat orang yang aslinya punya nasib
ketendang kemana. Ada banyak sekali yang bisa membuat Yuan marah dan sedih
waktu itu. Anime favoritnya tiba-tiba dicabut jam tayangnya dari spacetoon padahal
belum tamat, dia galau sehari semalam, sampai akhirnya bikin novel sendiri
karena hanya dengan cara demikian dirinya jadi satu-satunya orang yang punya
kuasa untuk menamatkan. Oiya, tahun 2010
juga tahun-tahun awal Yuan suka sama seseorang. Orangnya, hm, sebut saja A.
Berhubung Yuan keras kepala, ‘suka’nya ini juga berlangsung bertahun-tahun
lamanya. Tapi sayangnya, Yuan juga terlalu overthink, kebanyakan suujon, dan
jadinya, tetap keras kepala untuk tidak pernah berucap sepatah kata atau maju
selangkah pun soal ini.
2019 ini Yuan seperti apa? Traits gampang suujon dan keras
kepala nampaknya adalah bawaan orok yang lahir di bawah rasi bintang PDI, jadi
susah hilang. Tapi sekarang saya rasa, Yuan sudah lebih positif. Kemarin dia
baru saja senang-senang dimasakkan oleh salah seorang teman. Masakannya enak
bukan buatan. Pas makan, hapenya kedip. Pas dibuka, ternyata ada email dari
sang professor tercinta. Judulnya menggetarkan jiwa: your paper. Harusnya tidak perlu dibuka dulu, berhubung kari yang
gurih nan lembut masih menari-nari di atas lidah, tapi jempolnya meluncur
begitu saja menyentuh si pemberitahuan dua kali. Emailnya panjang, bikin sedih.
Kata-kata seperti too descriptive, lack
of focus, improve your English secara imaginer membesar-besarkan diri,
mencolok mata. Kenikmatan si kari pun berkurang. Begitu acara makan usai,
teman-temannya punya acara menyenangkan lagi untuk dilakukan, tapi Yuan pulang.
Sampai di kamar, kamarnya berantakan, rencana liburannya diambang keruntuhan,
cuciannya seminggu setengah belum dicuci, tapi dia tidak menangis atau
menyalahkan lain-lain pihak. Agak denial dan takut-takut membuka ulang email
profesornya, juga agak menunda-nunda, tapi dia tetap berdiri. Teman-teman dan
keluarganya memberinya support dengan berbagai cara. Egonya yang selalu tinggi
jatuh, tapi dia baik-baik saja. Dia ingat nasihat bu Mutiah ketika dia
berpamitan mau ke Belanda. Tahu betul muridnya ini bakal harus berjuang 45,
beliau bilang, “Pintar atau tidak itu urusan belakangan, yang penting tidak
berhenti berusaha.”
Di tahun 2010, mimpi itu istana di atas awan. Kita bebas
bermimpi setinggi tinggi gunung, seindah-indah permata karena itu mudah,
gratis, dan tidak punya implikasi apa-apa selain membuat kita kerap bengong di
siang bolong. Dulu saya ingin banyak, ingin jadi fashion desainer dan penulis
novel. Fashion desainer itu kerjanya kayak apa, apakah dia gambar doang atau
jahit juga, atau jualan juga, bodo amat. Caranya nerbitin novel itu gimana,
juga bodo amat. Yang penting saya suka gambar baju dan mengarang, titik. Dari
novel-novel, komik-komik, majalah, RPUL, dan acara televisi yang terlalu banyak
mengokupasi hidup saya waktu itu, dapat lah saya informasi patah-patah soal
sekolah desain itu katanya yang bagus di Paris, soal Eropa itu pusat pendidikan
dunia dan sebagainya dan sebagainya. Jadi main saya cantolkanlah itu mimpi di
pucuk menara Eiffel yang bentukannya nggak jauh beda dari sutet di pinggir
tanggul.
Saya biasa melihat langit lekat-lekat sepulang sekolah.
Langit terik Cikarang di tengah-tengah musim kemarau. Warnanya biru cerah, awan
hampir tiada kecuali semburat-burat sirus yang tidak signifikan. Anginnya
kencang, menerbitkan debu, merontokkan daun-daun randu. Di momen magis itu,
saya bertanya-tanya, langit kan hanya satu, jadi di Eropa sana langitnya juga
seperti ini? Kalau saya terbang tinggi-tinggi, lalu turun lagi, bisakah saya
mendarat di atap kastil abad pertengahan di Jerman, atau istana barok di
Austria?
Dari hanya komunikasi setengah gila dengan langit, dialog
saya dengan mimpi berangsur-angsur mewaras. Saya datang dari antah berantah,
dari kota kecil markas buruh di Jawa Barat. SD saya selalu kalah calistung
dengan SD-SD swasta setempat yang bak perkebunan swasta semasa ekonomi liberal,
super anomali! Sekolah lain gratis, dia bayar, mahal pula. Murid-muridnya dari keluarga
rantau yang white colar. Sekolahnya dari pagi sampai sore, dapat makanan
bergizi, tidak kenal jajanan minyak hitam dan saos rhodamin b. Dari situ saya
ndelalah masuk SMP yang mempertemukan saya dengan saingan-saingan calistung
semasa SD saya, yang lain merah, rok atau celananya biru, hijau, ungu, atau kuning,
suka-suka kepala yayasannya. SMP ke SMA, tak dinyana beberapa dari mereka
justru jadi teman akrab saya. Dari SMA ke universitas, lebih tak dinyana lagi,
saya bertemu berupa-rupa manusia. Dunia tidak lagi hitam atau putih, bukan Cuma
persaingan antara anak SD negeri tukang jajan gorengan dengan anak SD swasta
mahal, melainkan berbagai jenis anak yang rangenya terbentang dari anak paling
beruntung yang pernah saya ketahui cerita hidupnya, sampai anak yang paling
saya kagumi perjuangannya.
Dari perjalanan itu, satu-satu pertanyaan terbongkar,
menjembatani jalan menuju mimpi dengan bilah demi bilah papan. Dulu, setiap
nonton Melawan Lupa di Metro TV, atau acara debat di TV One, hati ini
berdesir-desir menyimak orang pintar omong yang dibawah namanya yang tertampil
di monitor dilabeli julukan seperti “sejarawan”, “ekonom” atau “pakar
telematika”. Saya ingin jadi seperti itu, dan bertanya tanya gimana caranya.
Ternyata, setelah masuk UGM, orang-orang yang ngajar saya di kelas itu yang
sekali-sekali muncul di TV dengan sebutan “sejarawan”. Dari sebuah kota kecil di padang gurun Bekasi
yang konon cahaya matahari musim kemaraunya bisa mematangkan kerupuk, saya bisa
belajar di sebuah universitas negeri legenda. Universitas itu membuka akses
saya ke mana mana. Seketika teman-teman saya adalah orang-orang yang sudah
pernah membukukan dan menerbitkan tulisannya, seketika dosen-dosen saya adalah
sejarawan yang suka muncul di televisi, seketika dosen wali saya adalah guru
besar sejarah UGM, seketika saya dapat tugas untuk mewawancara wakil menteri,
seketika saya mengisi panel di konferensi nasional yang juga dihadiri artis-artis
sejarah macem JJ. Rizal, seketika saya jadi notulen atau kuli-kuli angkat di
forum ilmiah internasional yang dihadiri nama-nama yang biasanya saya Cuma liat
di cover-cover buku. Puncaknya, akhir tahun 2018, dosen saya memberi kesempatan
untuk mendaftar sebuah program master ‘spesial’ di Belanda, dan disinilah saya
sekarang, bergelut dengan masa penghabisan semester pertama yang sudah tinggal
kejamnya saja, untuk mempertanggung jawabkan semuanya, kepercayaan yang sudah diberikan
kepada saya dan mimpi-mimpi masa muda.
Salah saya yang sepuluh tahun lalu, seenak-enaknya membangun
istana mimpi di awan yang tinggi. Sekarang mampuslah. Tuhan telah sangat-sangat
berbaik hati, mengkonspirasi semesta untuk mewujudkan ingin-ingin saya, maka
terciptalah tangga itu utuh berderai-derai sampai ke awan tempat istana mimpi
saya berada. Lihat ke bawah, ke belakang, sama saja. Merindingnya sampai tidak
bisa turun lagi.
Tapi semuanya memang indah. Saya harus baca buku banyak
sekali, bahasa inggris. Menulis, presentasi, pun semuanya harus bahasa inggris,
sementara bahasa inggris saya masih menggelepar-gelepar. Dosen di sini tidak
tedeng aling-aling, kalau performa kita jelek, bilang mereka detik itu juga,
disertai tentunya dengan cara-cara memperbaiki untuk kesempatan berikutnya.
Tugas tak asal dikumpul lalu dikonfersi jadi angka nilai, tapi juga dibahas dan
direvisi berkali-kali seperti skripsi. Seluruh proses belajar terjadi dua arah.
Mereka juga betul-betul mempraktekan kesetaraan. Hubungan guru-murid yang
hirearkis dan penuh unggah ungguh a la asia mungkin bakal kalian rindukan.
Kelar kelas, dosen kami suka mentraktir makan atau minum, lalu bertukar cerita
soal apa saja dengan kami seperti kawan. Setelah kelas yang berat, saya suka
bersepeda keliling kota tanpa arah dan tujuan. Mencoba rute-rute baru,
mengunjungi kastil-kastil tua, sambil menyetel lagu lagu klasik Mozart, Bach,
dan Liszt yang sudah bercokol di playlist saya sejak Eropa masih menjadi mitos.
Anginnya yang sejuk, udaranya yang bersih, daun-daun yang menguning membuat
saya terenyuh haru. Hidup itu tidak ada titik akhirnya kecuali mati. Sampai di
satu titik hanya memberi kita waktu untuk ambil nafas satu dua hela. Setelah
itu, hidup berlanjut, makin tinggi dengan angin makin kuat, makin jauh dengan
ombak makin ganas. Hidup saya masih terus bergulir. Dalam sepuluh tahun dia
telah membawa saya dari Cikarang ke Leiden, yang sama sama kecil dan punya
banyak pabrik, tapi yang satu rusuh yang satu tenang, yang satu panas yang satu
dingin.
Kalau tidak ada aral melintang, saya akan menutup dekade ini
dengan ziarah ke monumen masa remaja saya, ke Eiffel. Teman-teman saya, yang
tidak menggunakan masa remajanya untuk membual tentang belajar ke Perancis
sudah banyak yang ke sana duluan. Bang Toh sudah berkali-kali berusaha
menghancurkan bayangan berbunga-bunga kami soal Paris dengan pengalaman
buruknya kecewa pada realita kota itu. Katanya Mbak Eka, sekarang di Paris juga
sedang banyak demo, keadaan kerap carut marut dan transportasi umum sering
alpa. Desember ke Januari juga berarti musim dingin, yang mana artinya saya
harus siap siap kehujanan, kesaljuan, keanginan, kedinginan, dan lain
sebagainya. Tapi saya tetap antusias. Ini perjalanan suci menunaikan janji pada
Yuan di tahun 2010 yang grumpy dan penuh buruk sangka pada kehidupan. Dia
harusnya lebih banyak tersenyum ketika difoto dan rajin pakai pelembab muka
yang dibelikan Ibu Ratu, soalnya Tuhan Maha Baik.
Leiden, The Netherlands. Fall, 2019. |
Komentar
Posting Komentar