Menyantap MSG dan Ambiguitasnya
Kerap
bersanding dengan garam, gula, dan merica, kebanyakan masyarakat telah
mengkategorisasikan bahan ini ke dalam komposisi bumbu-bumbuan utama berbagai
jenis masakan. MSG amat mudah didapatkan, juga digunakan, tapi hasil yang
ditimbulkannya terhadap rasa masakan juga tak bisa dibilang biasa. Bagi yang
sudah biasa menggunakan MSG, akan sulit untuk mendekonstruksi definisi ‘masakan
enak’ kembali kepada ketika MSG belum marak digunakan. Terlebih lagi, meski
sebagian masyarakat telah memilih untuk tidak menggunakannya, sebagian lain
yang bahkan lebih besar jumlahnya, masih sangat setia kepada komposisi yang
satu ini.
Sejak
ditemukan di awal-awal abad 20, umami,
yang diklaim sebagai rasa kelima pada makanan oleh penemunya, Ikeda Kikunae,
telah banyak andil dalam menciptakan definisi tentang rasa enak yang baru. MSG adalah
garam natrium dari asam glutamat yang merupakan salah satu dari asam amino
non-esensial yang terbentuk secara alami dan jumlahnya berlimpah. Ikeda
menemukannya di dalam semacam ganggang atau rumput laut yang biasa disebut konbu (kombu) dan marak digunakan di
Jepang untuk membuat kaldu. Senyawa glutamat memang memiliki rasa yang khas.
Sebelum ia diekstraksi dan dibentuk bubuk seperti sekarang, bahan-bahan makanan
lain yang menggandung zat ini sudah sangat banyak digunakan. Di banyak tempat
di dunia, awalnya rasa khas glutamat lebih lumrah didapat dari penambahan saus
ikan. Budaya ini bahkan bisa ditelusuri hingga zaman Hellenis. Di Yunani dan
daerah lainnya di sekitar Mediterania pada masa itu, saus ikan menjadi komoditi
dagangan yang mobilitasnya sekelas dengan minyak zaitun dan anggur.
Ketika
sampel MSG temuan Ikeda diproduksi massal, ia menemui kesulitan dalam hal
pemasaran di tahun-tahun awalnya. Karena bentuk barunya yang asing, banyak
restoran yang menolak menggunakannya. Mereka lebih percaya pada pembuatan kaldu
tradisional dibanding bubuk glutamat yang ditawarkan Ikeda. Menyiasati hal
tersebut, Ikeda mengarahkan komoditinya ke target lain, yakni istri dari para
borjuis Meiji. Awal abad 20 bagi Jepang adalah masa rennaisans. Berbagai
lapisan masyarakat sangat terobsesi dengan ide-ide rasionalitas dan modernitas,
begitu juga dengan golongan ini. Mereka banyak meninggalkan cara memasak lama
dengan kaldu yang dianggap tidak modern dan kurang higienis. Sementara itu,
mereka banyak berinovasi di dapur mereka, mencoba resep-resep di buku masakan
dan kolom kuliner di koran, dan tentu menjadi target yang sempurna bagi MSG
yang berwarna putih bersih, dikemas dalam botol-botol kaca kecil serupa parfum,
dan dipasarkan dengan iklan yang visualisasinya secara khusus menembak golongan
ini sebagai sasaran.
Di
lain tempat, lain pula cerita yang dimiliki MSG. Di Taiwan yang ketika itu
dijajah jepang, MSG turun sebagai produk dari tanah para tuan. Setelah sukses
di Jepang, MSG di Taiwan sangat mudah diterima. Ia pertama merambah para
pengusaha kuliner dari kelas atas sampai kelas jalanan, lalu mulai masuk di
kelas rumah tangga. Kultur masakan Taiwan dan Cina pesisir yang lebih kaya akan
sup semakin membuat MSG mudah masuk karena mereka telah lebih akrab dengan
bumbu-bumbu tabur. Ketika diekspor ke Cina, MSG malah mendapat merk tiruan yang
menjadi tandingan kuat bagi merk pertama dan satu-satunya waktu itu: Ajinomoto.
Kemunculan merk tiruan tersebut berkaitan dengan nasionalisme Cina, sehingga
penggunaan MSG meluas melalui merk ini sebagai bentuk loyalitas penduduk Cina
terhadap negaranya yang ketika itu menjadi koloni Jepang. Bukan hanya di tempat
asalnya, MSG produksi Cina yang diberi label Tian Chu itu juga digunakan secara
lebih luas di diaspora orang-orang Cina di seluruh dunia seperti di Hongkong,
Singapura, hingga Amerika. Respon awal dari tempat-tempat ini cukup baik.
Ketika Cina mengalami penjajahan Jepang, simpati seluruh dunia tertuju pada
mereka, sehingga Chinatown di berbagai negara ramai dikunjungi orang. Dengan
ramainya Chinatown, masakan Cina yang ber-MSG juga semakin banyak disantap.
Meski
awalnya menerima MSG cukup baik, resistensi terhadap produk ini muncul pertama
kali di Amerika. Sekitar awal 60-an, para peneliti mulai meributkan soal
kandungan-kandungan kimia pada makanan. Pertama sakarin yang dikenal sebagai
pemanis buatan yang paling banyak digunakan, dinilai berefek buruk bagi pengguna
jangka panjang. Selanjutnya, tentu MSG menemui gilirannya. Publikasi di
jurnal-jurnal penelitian ilmiah saat itu banyak menyatakan bahwa MSG memiliki
sifat karsinogenik, yakni berpotensi menimbulkan kanker, terutama kanker getah
bening. Resistensi kemudian juga muncul dari golongan pemerhati kuliner yang
menganggap MSG telah menyeragamkan rasa berbagai jenis masakan dan membunuh
kekhasan mereka.
Di
Indonesia sendiri, MSG juga sudah cukup lama digunakan. Sebagaimana di banyak negara,
MSG pertama kali dikenalkan oleh Ajinomoto. Pada tahun 90-an sampai awal 2000
an, sangat banyak acara memasak di televisi yang disponsori merk-merk MSG.
Media-media promosi semacam ini juga semakin memperluas penggunaan MSG. Saat
ini, sebagian besar masyarakat juga masih menggunakan MSG. Di Jepang, ketika
penggunaan MSG telah menjamur di kalangan rumah tangga, banyak dari
restoran-restoran kelas atas yang kemudian secara diam-diam ikut
menggunakannya. Meski mereka percaya diri dengan tenaga-tenaga ahli dan
kualitas prima bahan-bahan mereka, jauh sebelum masuk ke segala macam
kontroversi MSG, umami memanglah rasa
kelima, dan menganulirnya ketika masyarakat telah menyadari dan terlanjur
menyukainya juga membahayakan keberlangsungan bisnis mereka. Hal yang sama juga
terjadi di banyak bisnis kuliner di Indonesia.
Akhir-akhir
ini, di berbagai tempat di dunia, kampanye hidup sehat mulai digalakkan. Akibat
segala intervensi dan kesewenangan manusia, alam telah menjadi tak seramah dulu.
Gerakan menanam pohon untuk melawan polusi, tak berbeda dengan gerakan untuk
hidup sehat dengan sayuran organik dan masakan tanpa MSG, hanya berusaha untuk
mengembalikan keramahan alam kepada kita. Sadar telah hampir mencapai
puncaknya, manusia mulai berkontemplasi dan berusaha meredam api yang telah
dinyalakannya hingga demikian besar. Namun rasa adalah produk budaya dan bagaimanapun,
MSG telah menjadi candu bagi sebagian besar orang. Apapun yang kita lakukan, alam
tak pernah banyak bicara. Anda mau hidup yang seperti apa maka Andalah yang
menentukan, tentu dengan catatan Anda siap atas segala risiko yang
menyertainya.
their future: our present, our future |
Komentar
Posting Komentar