Mbah putriku mengajariku tentang hidup di hari beliau berpulang
Usia 20anku puitis sekali. Di awal dekade ini, waktu umurku baru 23 tahun, aku mengalami duka yang dalam untuk pertama kali. Sahabatku, di usia yang baru 22 tahun, tanpa aba-aba, hanya beberapa minggu setelah kami main UNO hingga larut malam, pergi begitu saja. Sekarang, di usia 29 tahun, aku mengalami duka dalam yang kedua, yang merupakan 180 derajat kebalikannya. Simbah putriku, ibu dari ibuku, meninggal di usia yang hampir 90 tahun, oleh kelemahan usia tua, di antara anak-anaknya yang sedang berkumpul yang selama beberapa tahun belakangan sangat setia mendampingi beliau. Ketika sahabatku meninggal, aku menangis meraung-raung tiga hari. Rasanya dadaku seperti diinjak gajah. Kepergiannya seperti petir di siang bolong. Aku harus melepasnya pergi dalam situasi siap menagih sesi mengobrol, bercanda, dan menggila untuk puluhan tahun kedepan. Oleh karena itu, aku kira perihal simbahku ini duka yang mudah, duka yang melegakan, duka yang mengakhiri sebuah maraton panjang, duka yang di dalamn...